Sabtu, 06 Juni 2020

Citizen Developer

Saat mengikuti webinar tentang PowerApps kemarin, pertama kalinya saya mengenal istilah “Citizen Developer”. Dilihat dari namanya saja sudah dapat ditebak apa makna dari istilah tersebut. Mengacu dari berbagai referensi, intinya, Citizen Developer adalah orang-orang ‘amatir’ (biasanya end-user) baik di dalam maupun di luar perusahaan yang dapat membangun sebuah aplikasi bisnis, tanpa harus mempunyai skill programming atau menguasai konsep arsitektur software. Pembuatan software dapat dilakukan dengan developer tools khusus yang menyediakan fitur drag-drop, low code building, model atau data-driven, atau apps generator. Bisa juga menggunakan SaaS (Software as a service) atau PaaS (Platform as a service) pada sistem cloud yang sekarang sudah banyak ditawarkan. Fungsi TI (Teknologi Informasi) bisa saja terlibat dalam penyediaan fasilitas untuk citizen development ini.

Fenomena Citizen Developer dalam kacamata pribadi saya, perkembangannya tidak akan bisa dicegah. Meskipun dengan berbagai kerugian, contohnya seperti akan ada banyak resource yang terbuang sia-sia untuk memfasilitasi end-user, apabila terdapat aplikasi-aplikasi identik. Belum lagi jika para citizen developer membuat aplikasi untuk coba-coba atau setengah jadi, sehingga membebani storage/memory pada sistem. Walaupun menggunakan layanan penyimpanan cloud, tetap memerlukan biaya tambahan untuk menyediakan kebutuhan storage tersebut.

Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa perkembangan Citizen Developer tidak bisa dicegah ialah karena kebutuhan akan aplikasi terus meningkat. Di era transformasi digital, orang-orang sudah amat sangat melek teknologi informasi. Tidak mungkin tidak tahu bagaimana menjalankan sebuah software atau perangkat lunak, minimal pada gawai/telepon genggam pintar. Kebutuhan akan ‘alat’ penunjang bisnis juga semakin mendukung fenomena ini. Alih-alih meminta kepada fungsi TI selaku penyedia aplikasi, end-user lebih memilih untuk membangun aplikasi sesuai kebutuhannya sendiri. Dan ini bisa menjadi sangat positif.

Kalau melihat ke belakang, sebenarnya konsep membangun aplikasi secara mandiri bukanlah hal baru. Tentu saja kita masih ingat tentang Macro pada Microsoft Excel. Fitur untuk dapat membuat formulir guna memudahkan proses input data ke sheet file excel itu sudah kita kenal sejak dulu. Dan tidak perlu menjadi ahli pemrograman untuk bisa memanfaatkannya.

Waktu kelas X SMA saya juga sudah berkenalan dengan fitur drag-drop dan low code pada pembuatan aplikasi video game. Kalau tidak salah tahun 2009. Hal ini jelas menunjukkan bahwa gagasan untuk memudahkan pembuatan aplikasi sudah ada sejak dulu. Dan gagasan tersebut juga saya imani. Bahwa suatu saat orang-orang akan bisa membuat aplikasi sendiri. Sama halnya dengan membuat worksheet pada Microsoft Excel. Dulu banyak sekali pelatihan pengoperasian Ms Excel, pelajarannya juga wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Orang sangat bangga apabila kemampuan Ms Excel dapat dimasukkan ke dalam CV (Curriculum Vitae). Namun sekarang kemampuan bekerja dengan Ms Excel menjadi kompetensi wajib bagi para pekerja.

Di negara-negara barat, programming skill (minimal kemampuan berpikir logis) sudah diajarkan pada anak usia dini. Pemrograman diajarkan melalui pembuatan gim permainan, contohnya menggunakan aplikasi Scratch atau Construct. Mungkin ke depannya membuat aplikasi komputer akan menjadi kemampuan atau skill yang biasa-biasa aja.

Jadi, sebenarnya Citizen Developer bisa menjadi sangat bermanfaat bagi suatu perusahaan apabila didukung regulasi yang tepat. Para pekerja dapat terus berinovasi untuk meningkatkan revenue perusahaan melalui aplikasi-aplikasi yang mereka bangun. Well, sama halnya dengan worksheet Excel tadi kan? Siapapun, kapanpun, dan dimanapun dapat membuat tools guna menyelesaikan permasalahan dalam pekerjaannya.

Dalam lingkup yang lebih luas dan humanis, semoga kedepannya Citizen Developer ini bisa memunculkan ide-ide kreatif untuk menyelesaikan berbagai problematika kemanusiaan dan lingkungan. Aamiin.

2 komentar: