Minggu, 23 Oktober 2022

Apakah Bisa Melakukan Korupsi di Metaverse?

Untuk memulai tulisan ini, saya ingin mengenang Gerak Acuan. Gerakan Anti Curang dalam Ujian adalah sebuah gerakan yang saya inisiasi pada tahun 2011, sebagai action plan dari program Sekolah Peradaban yang diadakan BEM ITS. Walaupun jumlah "aktivis" gerakan hanya sedikit, pun berasal dari organisasi kerohanian islam yang saya pimpin, namun saya masih bangga karena gerakan itu adalah bentuk eksistensi saya. Seperti kata Albert Camus, "I rebel, therefore i exist," Gerak Acuan merupakan pemberontakan saya terhadap segala kecurangan yang (saya lihat) terjadi pada saat ulangan/ujian yang dianggap wajar oleh banyak siswa. Meskipun ide Gerak Acuan itu muncul ketika saya menginjak kelas 3 SMA, kecurangan seperti menyontek, berbagi jawaban, atau ketidakjujuran lainnya sudah tidak pernah saya lakukan lagi setelah lulus SMP. Karena saya mendapatkan "pencerahan" bahwa ada nilai yang lebih berharga daripada (sekadar) nilai di atas kertas, yaitu kejujuran.

Kejujuran adalah hal dasar yang seharusnya melekat di dalam fitrah manusia, karena nilai itulah yang menunjukkan bahwa diri kita, secara sadar, adalah hamba Allah subhanahuwataala. Benar kan? Kejujuran itu akan muncul apabila kita merasa bahwa kita sedang diawasi oleh Yang Maha Melihat (perasaan Ihsan). Kejujuran juga identik dengan ibadah puasa. Puasa adalah ibadah yang ganjarannya langsung diberikan oleh Allah, karena hakikatnya ya hanya Allah dan kita yang tahu, kita sedang berpuasa atau tidak. Hal tersebut membutuhkan kejujuran, minimal jujur terhadap diri sendiri. Dan saya yakin, pembaca yang budiman memiliki banyak konsep dan penjelasan lebih bagus tentang apa itu kejujuran. Karena kembali lagi, kejujuran itu adalah fitrah manusia. 

Lawan dari kejujuran adalah kedustaan, kebohongan, kecurangan, -atau kalau boleh saya sebut- cikal bakal korupsi. Korupsi, yang berdasarkan KBBI berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain, tidak akan terjadi apabila tidak ada "panggilan" dari dalam hati. Mengutip ucapan Mahatma Gandhi, "Keep your values positive, because your values become your destiny," nilai-nilai yang positif akan mempengaruhi takdir kita. Lawan dari itu, apabila kita sudah terbiasa bertindak curang, maka di suatu hari nanti, kita akan melakukan hal yang buruk dan memberikan dampak negatif bagi orang lain. Ini adalah opini umum yang semua orang pasti sudah ketahui.

Jangan hanya melihat korupsi yang besar-besar, seperti yang dilakukan para pejabat di pemerintahan, karena kita semua pasti tahu kalau itu adalah tindakan yang tidak benar dan merugikan banyak orang. Tetapi kita juga harus melihat korupsi mulai dari skala terkecil. Apalagi kalau kita melihat arti korupsi berdasarkan Undang-undang, yaitu kegiatan melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain, menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara, penyuapan, penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, berkaitan dengan pemborongan, dan gratifikasi, kita pasti dapat mencari contoh "potensi" korupsi yang sesuai dengan level kita. Seberapa kecil pun level itu. Misalkan penyalahgunaan jabatan ketua karang taruna, melakukan markup proposal kepanitiaan agustus, mendapatkan hadiah dari vendor saat masih di level staf perusahaan, atau seperti yang saya sebutkan di awal tulisan, yaitu curang dalam ujian. Kita setuju, bahwa semua itu adalah contoh dari "korupsi". 

Semua orang berpotensi untuk melakukan tindak korupsi, hanya saja levelnya berbeda-beda. Korupsi waktu, korupsi di saat lapang atau sempit, korupsi seribu, korupsi milyaran, korupsi sejak dalam pikiran, korupsi-korupsi lainnya. Dan korupsi bukanlah produk modernisasi, korupsi itu sudah ada sejak dulu. Kalau kita melakukan pencarian di Google, dengan kata kunci "sejarah korupsi", pasti akan muncul banyak sekali cerita-cerita korupsi di masa lalu. Bahkan saat Indonesia masih berbentuk kerajaan. Cerita yang mulai naik ke permukaan, memenuhi ruang diskusi linimasa media sosial kita adalah cerita para raja kerajaan nusantara melakukan pungutan liar dan VOC bubar karena kegiatan korupsi para pejabatnya. Betapa kuno korupsi itu!

Kalau memang korupsi sudah ada sejak dulu, lalu kapankah korupsi itu akan hilang? Apakah era post-modern dan teknologi serba maju ini tidak dapat melenyapkan praktik-praktik korupsi? Pertanyaan ini mengingatkan saya atas gagasan Dave Eggers yang dimuat dalam fiksi, novelnya, yang berjudul The Circle. Ada satu segmen saat para pejabat senator diberi teknologi berupa kalung berkamera, sehingga rakyat dapat melihat seluruh aktivitas sang pejabat. Dengan adanya "pengawasan" tersebut, para pejabat tidak mungkin melakukan hal yang buruk, apalagi tindakan korupsi. Lalu apakah ide itu etis untuk dijalankan saat ini? Di kala teknologi IT sudah semakin mencapai Singularity, semua ide-ide konyol dan tidak masuk akal satu per satu menjadi kenyataan. Rasa-rasanya "masa depan" yang digambarkan pada novel dan film sudah dapat kita rasakan, salah satunya adalah ide dan gagasan tentang Metaverse.

Ketika kata "metaverse" menjadi trend 2 tahun ini, saya memiliki satu pertanyaan, kalau dunia virtual itu akhirnya benar-benar ada, seperti yang kita lihat dalam film Ready Player One, apakah orang-orang masih dapat melakukan korupsi di dalamnya?

Korupsi di metaverse

Apa itu Metaverse?

Istilah 'metaverse' bukanlah istilah baru di abad 21, bahkan kata ini sudah muncul 30 tahun yang lalu. Yaitu novel Snow Crash karya Neal Stephenson, diterbitkan pada tahun 1992, novel sci-fi yang pertama kali menggambarkan apa itu metaverse. Sebuah dunia virtual tempat tokoh utama melarikan diri dari kenyataan. Hari ini metaverse menjadi sangat trendy dan menjadi buzzword dibicarakan orang-orang FOMO, setelah Mark Zuckerberg mengumumkan bahwa Facebook sekarang menjadi Meta. Sang CEO menjelaskan bahwa Meta sangat berambisi untuk membangkitkan metaverse.

Selain karena pengumuman yang bombastis tentang Meta, metaverse menjadi amat "real" dewasa ini karena teknologinya sudah sangat mendukung, seperti Augmented/Virtual Reality, Mixed/Extended Reality, Cryptocurrency, Big Data, 5G Connecitivity, dan lain-lain. Katakanlah seperti VR Headset, sudah banyak orang yang memilikinya. Meta juga sudah meluncurkan Meta Quest. Lalu cryptocurrency, blockchain, decentralized asset, sudah menjamur. Sempat viral beberapa bulan yang lalu orang Indonesia yang mendadak kaya dengan berjualan NFT (Non-Fungible Token). Juga Big Data yang telah menjadi pembicaraan sehari-hari perusahaan negeri maupun swasta. Dan semuanya adalah komponen pendukung metaverse (dan juga sebagai pengayaan dari Virtual Reality).

Untuk menambah gambaran lebih jelas tentang metaverse, berdasarkan penjelasan Gartner, metaverse terdiri dari elemen-elemen berikut:

Elements of a Metaverse

Seperti yang dapat kita lihat dari komponen metaverse di atas, dapat dikelompokkan menjadi 3:

  1. Apa saja yang bisa dilakukan di metaverse? Online shopping (marketplace/digital commerce), working (at workplace), social interaction (social media), gaming, attending concerts, social and entertainment events
  2. Aset apa yang ada di dalam metaverse? Digital currency, NFT, digital assets 
  3. Apa fitur pendukung metaverse? Infrasctucture, digital humans, NLP

Gartner juga memprediksi pada 2026, 25% masyarakat akan menghabiskan waktu minimal satu jam di metaverse untuk berbelanja, bekerja, belajar, bersosialisasi. Baca lebih lengkapnya di sini.

McKinsey & Company juga, melalui laporannya, yang berjudul "Value creation in metaverse", merangkum bahwa investasi pada metaverse di tahun 2022 sudah lebih banyak dua kali lipat daripada tahun 2021, yaitu melebihi angka 120 miliar dolar. Pada 2030, nilai dari metaverse dapat mencapai 5 triliun dolar. Hampir mirip seperti analisa Gartner, McKinsey & Company menyebutkan para pengguna akan tertarik pada kegiatan sosial, hiburan, permainan, wisata, dan berbelanja. 

10 layers metaverse

Tentang "apa" itu metaverse, McKinsey menjelaskan setidaknya ada 10 layer komponen dari metaverse, yaitu:

  1. Payments and monezation
  2. Identity
  3. Security, privacy, and governance
  4. Infrastucture
  5. Devices, OS, and accessories
  6. Creators/3-D development platforms
  7. Access and discovery
  8. Virtual worlds
  9. Applications
  10. Content

Pembaca yang budiman dapat membaca laporan McKinsey & Company tentang "Value creation in metaverse" secara lengkap pada link berikut.

Sampai di sini, kita dapat mengambil informasi bahwa metaverse terdiri oleh banyak komponen teknologi, kebijakan, dan peran manusia. Komponen teknologi yang menjadi perhatian kita adalah infrastruktur, bagaimana metaverse itu ditopang, oleh teknologi jaringan dan pemrosesan data. Dari sini kita dapat melihat di masa depan, keamanan informasi (cyber security) juga akan semakin berkembang dalam menyiapkan diri guna menghadapi demand akan metaverse. 

Teknologi yang begitu hebat juga membutuhkan kebijakan-kebijakan yang mampu "membatasi" kegiatan-kegiatan di metaverse. Karena metaverse masih akan diisi oleh manusia, yang pada dasarnya memiliki sifat tak terkendali, hedonisme, juga sifat-sifat hewani. Contohnya kebijakan pembagian aset atau batas privasi atau pencegahan dari sexual harassment. Tentu saja potensi kejahatan masih tetap ada, apakah korupsi juga? Nanti saya akan memberikan opini di bagian selanjutnya.

Tapi bagaimanapun kebijakan-kebijakan (atau aturan atau hukum) itu dibuat, tetap peran manusia adalah poin terpenting dari metaverse. Mengutip Brian Solis, "What the metaverse is really all about is community. The value of belonging to this community. The role you can play as a user in this community so that you feel like a stakeholder and not as a ‘user.’” Metaverse sebenarnya adalah komunitas. Nilainya adalah rasa memiliki komunitas tersebut. Peran di dalam komunitas sebagai seorang stakeholder dan bukan hanya sebagai pengguna. Perasaan memiliki meteverse menjadi sangat penting. Seakan-akan berada di dalam metaverse itu nyata, dan itu adalah realitas yang kita masuki. Realitas virtual (Virtual Reality) yang kita "anggap" nyata.

Sebuah Realitas

Apa itu realitas? Kalau menanyakan definisi realitas mau tidak mau kita harus sedikit menggunakan pendekatan filsafat. Plato, filsuf yang sangat masyhur, membagi realitas menjadi dua bagian: dunia realitas dan dunia ide. Dunia realitas adalah segala sesuatu yang tampak dan ditangkap oleh indera manusia, sedangkan dunia ide adalah model atau konsep yang ditirukan oleh sesuatu di dunia realitas. Contoh dari dunia ide adalah 'gambaran' tentang dunia. Analogi yang paling populer untuk menjelaskan realitas adalah kisah Goa Plato. Secara singkat, Goa Plato adalah cerita tentang orang-orang yang semasa hidupnya tinggal di dalam goa dan hanya mendapatkan informasi tentang dunia dari bayangan-bayangan yang dibuat. Bayangan itulah "realitas" bagi mereka. Dan mereka tidak mempercayai apabila ada "realitas" yang lebih nyata di luar goa.

Lalu menurut Sang Hujjatul Islam, penulis kitab Tahafut Al-Falasifah/Kerancuan Filsafat, Imam Al-Ghazali, semua realitas yang ada ini, dari segi bentuknya, dapat dibagi dalam dua bagian yaitu: empirik atau alam indriawi (alam al-syahadah) dan metafisik atau alam tidak kasat mata (alam al-malakut atau alam al-ghaib). Di dalam risalah Al Ghazali, Raudhah at-Thâlibîn wa ‘Umdah as-Sâlikîn, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul "Hidup Di Dunia Apa Yang Kau Cari?" saya pernah membaca kalau diri manusia itu memiliki dua saluran, yang mengarah ke dunia/indrawi dan mengarah ke alam malakut/gaib, sehingga mana yang kita biarkan terbuka dan kita perkuat, itulah yang akan menentukan diri kita, secara sadar itulah realitas kita.

Dari dua gambaran di atas, realitas adalah apa yang dapat ditangkap oleh panca indera kita atau apa yang kita yakini sebagai sebuah kenyataan, baik itu hasil dari penglihatan/pendengaran maupun idea yang dihasilkan pikiran kita. Kalau kita kembalikan ke dalam topik terkait metaverse, dunia virtual tersebut juga adalah sebuah kenyataan yang dapat diproses oleh mata dan telinga kita bahkan otak kita. Semuanya menjadi benar-benar nyata. Lalu dengan eksistensi kita di dalam dunia virtual, apakah kita menjadi tidak ada di dunia nyata? Tentu saja tidak, maka dari itu, ketika memasuki metaverse, secara sadar kita berada di dalam dunia nyata dan dunia buatan.

Apakah sifat kemanusiaan kita masih ada? Tentu saja. Walaupun kita telah berpindah dari dunia nyata dengan bentuk kita sebagai manusia, ke dalam metaverse dengan berbagai bentuk karakter/avatar kita, masih ada sifat manusia, entah itu baik ataupun buruk. Apalagi jika menggunakan profil anonim, pasti lebih ngawur lagi. Hal inilah yang pada bagian sebelumnya dibutuhkan seperangkat kebijakan dan aturan untuk menjaga keharmonisan interaksi antar pengguna metaverse.

Teknologi juga menjadi penentu bagaimana mengendalikan sifat-sifat manusia di dalam metaverse. Saya membayangkan apabila cybersecurity sudah sangat siap menjawab tantangan metaverse dan terdapat logging atau history yang dapat diakses oleh pihak berwajib, katakanlah polisi siber, maka orang-orang akan semakin tertib di dalam berinteraksi dan berkegiatan di dalam dunia virtual. Karena semua aktivitas telah tercatat. Lalu, apa bedanya dengan dunia nyata? Kalau menggunakan pendekatan Al Ghazali, tentang alam malakut, yang ghaib, adanya Allah subhanahuwataala dan Malaikat (khususnya Raqib dan Atid), tentu kita juga sadar bahwa segala amal perbuatan kita telah tercatat dan akan dimintai pertanggungjawaban. Seperti yang disebutkan tadi, saat kita berada di dalam metaverse, kita "masih" berada di dalam dunia nyata. Aset digital kita, entah itu cryptocurrency, NFT, walaupun digital, saya yakin itupun akan tetap ada pertanggungjawabannya. Hal terpenting adalah apakah kita jujur atau tidak terhadap diri sendiri untuk mengakui hal tersebut.

Realitas


Apakah bisa melakukan korupsi di metaverse?

Di awal-awal tulisan, saya menyebutkan sikap Ihsan. Ihsan memiliki definisi yang sangat sempurna, poin terpenting dari ihsan ialah merasa selalu diawasi oleh Allah subhanahuwataala. Hal inilah yang menjadi salah satu solusi untuk muslim dalam berkegiatan, baik di dunia nyata dan dunia maya atau dunia virtual. 

(Tentunya ini adalah nasihat untuk diri saya sendiri)

Kemajuan teknologi tentu tidak akan dapat sepenuhnya menghilangkan kedustaan, kebohongan, kecurangan, cikal bakal korupsi. Serius, betapapun canggihnya teknologi itu. Keamanan siber pun masih harus terus meningkatkan sistemnya guna menangkal serangan para hacker. Sederhananya, realita masyarakat kita saja masih sangat permisif dengan tindakan kecurangan, selain contoh yang saya sebutkan di paragraf pembuka, yaitu kegiatan sontek-menyontek selama ujian, contoh korupsi dalam level kecil adalah saat bertransaksi menggunakan QRIS. Bagi pelaku usaha yang tidak terlalu 'awas' akan transaksi model baru tersebut, bisa-bisa menjadi sasaran penipuan orang-orang jahat. Ya, contohnya dengan menunjukkan hasil screenshoot atas transaksi QRIS yang lalu, alih-alih menunjukkan bukti transaksi yang sebenarnya.

Sehingga, apabila ditanya apakah kita bisa melakukan korupsi di dalam metaverse? Jawaban saya, mungkin. Mungkin bisa. Dari pembahasan metaverse di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa metaverse sebenarnya merupakan sebuah dunia yang berbeda, tetapi tetap akan diisi oleh orang-orang dengan tujuan yang sama, yaitu berinteraksi sosial, bermain, berbelanja, menghabiskan waktu, dan tentu saja, menghabiskan uang mereka. Melalui aset-aset digital, potensi hedonisme dan keserakahan masih akan tetap ada, dikarena sifat alami manusia itu juga akan masuk ke dalam metaverse. 

Lalu, apakah berarti korupsi tidak akan lenyap bahkan apabila teknologi sudah sangat maju dan kita sudah masuk ke dalam dunia metaverse? Tidak perlu menunggu sampai masa-masa itu datang, hari ini pun kita dapat menghentikan korupsi. Kuncinya adalah dengan meningkatkan kejujuran (secara sadar dan Ihsan). Kalau tidak bisa secara rasa, mengutip kata Gus Baha, latihlah menggunakan ilmu. Atau dengan cara para Samurai Jepang, dengan tujuh prinsip moral Bushido-nya, yaitu Gi (integritas), Yu (keberanian), Jin (kemurahan hati), Rei (menghormati), Makoto-shin (jujur-tulus), Meiyo (kehormatan), Chugo (loyalitas). 

Atau minimal, kejujuran dan anti-korupsi dilatih dengan cara sederhana, yaitu dengan berpuasa. Puasa adalah perisai, dengan berlatih menahan rasa lapar dan nafsu, kita tidak akan terpikir untuk melakukan segala macam jenis korupsi. Toh, buat apa korupsi untuk mencari kebahagiaan, karena sudah ada dua kebahagiaan bagi orang yang sedang berpuasa, yaitu kebahagiaan saat dia berbuka puasa, dan kebahagiaan saat bejumpa dengan Allah Subhanahuwataala, Rabb semesta alam.

0 comments:

Posting Komentar