Selasa, 19 Desember 2023

Seperti Menggarami Lautan


Garam. 
Garam dapat menjadi sebuah simbol perlawanan dan ikon perjuangan. Ialah Pawai Garam (Salt March), sebuah gerakan yang dilakukan oleh Mohandas Karamchand Gandhi, 93 tahun yang lalu, sebagai bentuk protes atas monopoli garam Inggris yang terjadi di India. 

Seperti yang saya baca dari History.com, Undang-Undang Garam Inggris tahun 1882 melarang orang India mengumpulkan atau menjual garam, yang merupakan makanan pokok mereka. Warga negara India mau tidak mau harus membeli mineral penting itu dari penguasa Inggris, yang tidak hanya menjalankan monopoli atas pembuatan dan penjualan garam, tetapi juga mengenakan pajak garam yang besar.

Karena kebutuhan atas garam itulah, Gandhi tergerak untuk dapat melakukan perjuangan. Tepatnya pada 12 Maret 1930, Gandhi bersama murid-muridnya memulai aksi, memulai perjalanan sekitar 347 km dari Sabermanti ke kota Dandi di pesisir Laut Arab. Dalam pawai itu, banyak masyarakat yang ikut bergabung. Sebab monopoli garam oleh pemerintahan Inggris menjadi momok tersendiri bagi warga India sejak lama.

Setelah berjalan selama 24 hari, akhirnya pada tanggal 5 April, Gandhi dan murid-muridnya sampai di kota Dandi. Sesampainya di sana, mereka melakukan aksi 'pemberontakan' dengan membuat garam dari air laut. Polisi tentu tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Gandhi dan pengikutnya terpaksa harus ditangkap.

Aksi bersejarah tersebut merupakan bagian dari perjuangan kemerdekaan India. Melalui garam, yang menjadi unsur terpenting dari masyarakat, sebuah revolusi dapat berjalan. Berbeda di India, berbeda juga dengan 'perjuangan' yang ingin saya sampaikan pada tulisan kali ini.

Seperti Menggarami Lautan

Seperti yang kita tahu bersama, garam berasal dari air laut (yang asin), meskipun ada juga garam yang diproduksi dari tambak garam. Tapi mayoritas di dunia, garam didapatkan dari laut. Jadi, apakah bisa kita menggarami lautan? Apakah menggarami lautan adalah sebuah bentuk perjuangan?

"Menggarami lautan" adalah sebuah peribahasa, bidal, ungkapan, pepatah, perumpamaan. Yang dalam bahasa jawa biasa disebut "nguyahi segara". Sebuah peribahasa (dan peribahasa lainnya) yang amat jarang lagi kita gunakan, seiring dengan kebutuhan akan kecepatan dan efektivitas komunikasi. Bayangkan saja, sekarang komunikasi bisa menjadi semakin sederhana, dapat diwakili oleh emoticon dan stiker di aplikasi chat. Sastra tak lagi digunakan. Apalagi dengan adanya chatbot, generative AI. Saya rasa robot atau mesin tidak mungkin dapat bersastra, tak yakin bisa menggunakan peribahasa. Maka itulah melalui tulisan ini, saya sebenarnya juga ingin menyampaikan pesan, supaya kemanusiaan kita tidak hilang, minimal kita harus kembali bersastra, seminimal-minimalnya, membiasakan peribahasa. Karena peribahasa memiliki keluhuran dan keindahan.

Baik, kembali kepada peribahasa "menggarami lautan". Apa arti dari pepatah tersebut? Dengan menggunakan akal sehat saja, kita pasti sudah bisa menebak maksudnya. Setidaknya ada dua pengertian. Pengertian pertama adalah melakukan sesuatu atau hal yang sisa-sia, tidak ada gunanya, mubazir. Dan yang kedua, ungkapan itu bermakna: memberi informasi atau pelajaran kepada orang yang ahli akan bidang yang diajarkan. Kalau boleh dianalogikan, seperti menuang air pada gelas yang sudah penuh. Ya, ujung-ujungnya juga melakukan hal yang tidak ada manfaatnya. Jadi, ada apa dengan proses menggarami lautan ini?

Perbuatan Sia-sia

L'existence précède l'essence, existence precedes essence, eksistensi mendahului esensi. Bagi filsuf eksistensialisme, Jean-Paul Sartre, manusia dikutuk untuk menjadi bebas. Penyebabnya adalah eksistensi kita ada bahkan sebelum mengetahui tujuan kita diciptakan untuk apa (esensi). Yang mungkin saja, karena itulah, manusia banyak melakukan perbuatan sia-sia, kita tidak tahu (secara pasti) harus melakukan apa. Apa yang baik bagi diri sendiri, masyarakat, perusahaan, negara, atau dunia.

Tapi sebagai seorang muslim, lebih-lebih sebagai orang yang beriman, kita tahu bahwa manusia itu diciptakan sebagai khalifah di Bumi, pengelola alam untuk dapat digunakan sebaik-baiknya. Supaya dapat beribadah kepada Rabb Semesta Alam, Allah subhanahu wa ta'ala. Jadi ya sebenarnya, baik menggunakan pendekatan filsafat maupun agama, manusia itu seharusnya tidak melakukan perbuatan yang sia-sia. Tidak menggarami lautan.

Bagi insan yang berpikir, kita seharusnya dapat menggunakan akal pikiran kita untuk menyelesaikan setiap permasalahan, apalagi yang terjadi di dalam pekerjaan sehari-hari. Namun, kenyataannya, manusia lebih suka tidak PD (percaya diri) dengan kemampuannya sendiri, contohnya lebih senang menggunakan chatbot (yang sedang ngetren), seperti chatGPT, Bard, Grok, dan lainnya. Kita, seharusnya dapat memaksimalkan kemampuan sendiri dalam melakukan analisa dan perhitungan profesional. Jangan sampai kita menyia-nyiakan akal budi, sebuah nikmat yang membedakan kita dengan (maaf) binatang.

Lalu, apakah setelah kita tidak menggarami lautan, dengan memaksimalkan penggunaan pikiran, semuanya akan menjadi beres? Tentu saja tidak. Kita masih berpotensi untuk melakukan kemubaziran selanjutnya.

Di dalam proses managemen, terdapat prosedur yang paling dasar yaitu PDCA (Plan, Do, Check, Act).  Lalu ada banyak standardisasi dan framework, katakanlah ISO dan SNI, yang bisa menjadi pedoman dalam melakukan pekerjaan. Belum lagi adanya perangkat-perangkat SOP dan governance standards di dalam perusahaan. 

Ya, intinya, di dalam pekerjaan, kita memiliki banyak tools dan resource untuk dapat melakukan kajian, analisa dan perhitungan yang matang, akses terhadap data dan informasi masih terbuka luas, tapi mengapa sepertinya banyak rekan kerja kita yang masih seperti menggarami lautan. Bahkan yang lebih ngeri keputusan-keputusan atau arahan petinggi-petinggi juga seperti menggarami lautan. Seakan-akan di awal semuanya akan memberikan dampak yang baik bagi kemajuan bersama, tetapi ternyata mudaratnya lebih banyak. Apalagi sampai waktu dan tenaga dihabiskan untuk suatu pekerjaan, yang harapannya seperti perjuangan Gandhi, tetapi ternyata yang kita lakukan semuanya adalah sia-sia belaka, seperti menggarami lautan. Tentu saja kita tidak ingin hal tersebut terjadi, maka apa solusinya? 

Balik lagi, manusia adalah makhluk yang bebas, baik dari pikiran maupun tindakan, tapi di saat yang sama kita juga memiliki norma-norma dan hukum positif yang mengatur. Apabila di dalam pekerjaan kita diharuskan untuk melakukan hal yang tidak ada gunanya, apalagi sebatas hanya untuk 'prestasi' semu, baiknya kita kaji ulang, apakah program yang kita jalankan itu memang akan menghasilkan sesuatu atau malah menjadi masalah di kemudian hari?

Ngajari Ikan Berenang

Ada satu bab yang menarik di dalam buku "Gelandangan di Kampung Sendiri" karya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), bab tersebut berjudul "Egosentris". Tulisan tersebut mengkritisi para mahasiswa yang melakukan KKN (Kerja Kuliah Nyata) di suatu daerah, mereka membawa 'misi' khusus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mereka melakukan penyuluhan, pembelajaran, dan 'terobosan' lainnya kepada para masyarakat di desa. Seakan-akan para mahasiswa itu lebih tahu daripada orang-orang yang telah lama hidup bersama alam. Malah seharusnya para mahasiswa dari kampus-kampus kota itu yang harus banyak belajar dari petani, nelayan, para bijak yang usianya jauh lebih tua daripada anak-anak muda ini. Walaupun sebenarnya KKN, yang merupakan kegiatan wajib mahasiswa itu, memiliki banyak manfaat bagi kampung dan desa. Namun, hal yang dikritisi oleh Cak Nun adalah niat mahasiswa itu harus diluruskan. Mereka tidak boleh mengajari ikan berenang. Tidak menggarami lautan.

Hal yang sama kerap kita temukan di dalam pekerjaan kita. Bagaimana bisa fungsi tertentu, katakanlah sebagai contoh fungsi IT, mendapatkan arahan dari fungsi-fungsi non IT tentang sebuah program. Atau selanjutnya, ada yang memberikan usulan-usulan dengan memaparkan berbagai benefit yang diklaim adalah sebuah improvement, padahal sebenarnya hal tersebut adalah sebuah existing result dari proses bisnis yang sudah berjalan. Bukankah ini adalah sebuah contoh dari proses menggarami lautan? Bukan berarti proses itu tidak boleh dilakukan, tetapi apabila sampai itu terjadi berarti ada sebuah proses yang missed yang belum dilakukan. Yaitu konfirmasi dan double check. Proses komunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seyogyanya kan sebelum usulan-usulan itu diformalkan, baiknya dikomunikasikan terlebih dahulu kepada para stakeholder yang terlibat dalam proses eksekusi suatu program. Bersama-sama dapat melakukan analisa dan kajian yang lebih komprehensif, sehingga sense of belonging, perasaan memiliki sebuah project bisa sama-sama dimiliki, tidak hanya satu dua orang saja.

Tapi ya, balik lagi, manusia adalah makhluk yang dikutuk untuk menjadi bebas. Tidak semuanya hitam dan putih, ada banyak hal yang abu-abu, yang menuntut fleksibilitas dan kreativitas. Semuanya bebas untuk dilakukan. Dan mungkin saja, menggarami lautan adalah hobi dari satu-dua orang. Sehingga, itulah eksistensi mereka. Hal terpenting adalah kebermanfaatan. "Menggarami lautan" kalau itu dirasa bermanfaat ya tidak masalah sih. Seperti kata Gandhi, "Tindakan baik tidak pernah sia-sia."

Minggu, 17 Desember 2023

Love as a Service (LaaS)

Love as a Service


Bagaimana jika ternyata cinta yang kita dapatkan selama ini kurang dari yang seharusnya kita butuhkan? Bagaimana jika kita dapat memaksimalkan rasa haus akan cinta tersebut? Bagaimana jika ternyata teknologi-lah yang dapat menyediakan semua cinta itu? 

Love as a Service (LaaS) adalah gagasan yang secara tidak sengaja muncul di benak saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. "as a Service" adalah istilah yang kerap digunakan untuk menyebut jasa atau layanan cloud computing, contohnya Infrastructure as a Service (IaaS), Platform as a Service (PaaS), dan lainnya. Jadi, secara umum, LaaS adalah layanan berbasis komputasi awan yang menyediakan cinta. Ya, cinta. Secara lebih detail akan coba saya jelaskan pada tulisan ini.

Meskipun terminologi LaaS sudah saya 'ucapkan' tiga atau empat tahun yang lalu, tetapi pendalaman yang lebih serius tentang LaaS baru dimulai sejak tahun kemarin. Hal ini didasari karena saya sangat berminat untuk membaca buku-buku non fiksi pengembangan diri, khususnya yang bertemakan psikologi. Dari beberapa buku yang saya baca, dapat ditarik garis lurus bahwa kesemuanya bermuara pada kebutuhan akan rasa cinta.

Dari banyak buku pengembangan diri itu, ada dua buku yang saya baca di tahun 2022, yang kisahnya begitu membekas bagi saya. Buku yang memberikan ide, "Oke sepertinya saya harus menulis tentang LaaS." Keduanya adalah buku yang sudah lama berada di wishlist saya. Dan baru (ditakdirkan untuk) saya beli sewaktu mengunjungi Gramedia Merdeka Bandung. 

Buku pertama adalah "Semua Orang Butuh Curhat" (Maybe You Should Talk to Someone), karya Lori Gottlieb. Buku kedua adalah Things Left Behind, karya Kim Sae Byoul dan Jeon Ae Won. Bagi saya, kedua buku ini memiliki pesan yang sama, yang ditulis dengan penyajian yang sama, dan merupakan 'kisah' atas profesi yang dijalankan oleh para penulisnya. 

Baiklah. Ijinkan saya menjelaskannya, sekaligus menerangkan secara lebih detail tentang gagasan LaaS itu. Tentu saja dengan mengutip beberapa buku selain 2 buku yang saya sebutkan di atas, untuk semakin memberikan 'arti' kepada para pembaca yang budiman.

Seberapa Butuh Orang Lain? 

Orang lain, entah itu keluarga, orangtua, anak, suami, istri, teman, atau siapapun, bisa menjadi satu hal yang menjadikan hidup memiliki makna dan tujuan. Hal ini seperti yang dapat kita baca pada buku karya Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning. Sang penulis, Viktor sendiri, menggambarkan bagaimana ia dapat bertahan 'hidup' di kamp konsentrasi saat Perang Dunia II. Yaitu karena adanya keinginan kuat untuk menemui istrinya setelah bebas dan keluar dari kamp konsentrasi. 

Berbagai macam kengerian yang ditemui di dalam kamp konsentrasi, berupa bentakan, hukuman, dan siksaan, yang mana menyebabkan banyak rekan-rekannya menderita sakit bahkan tewas karena perasaan putus asa dan 'kesepian', itu tidak dapat melemahkan tekad Viktor. Perbedaan dirinya dengan (mendiang) rekan-rekannya terletak pada makna kehidupan. Makna bahwa ia hidup karena ingin kembali berkumpul dengan keluarga. Inilah kebutuhan atas cinta. 

Sama seperti uraian Matt Haig di dalam bukunya, Reasons to Stay Alive, alasan untuk tetap hidup. Buku semacam memoar yang menceritakan masa-masa Matt Haig saat mengalami depresi dan kecemasan akut. Kondisi yang menyebabkan penulis novel The Midnight Library itu beberapa kali ingin melakukan tindakan bunuh diri. Namun dengan adanya support system, yaitu pasangannya, ia mampu melewati kondisi sulit tersebut. 

Pasangan Matt memberikan banyak cinta dan perhatian sehingga Matt dapat bertahan, dan dapat berkarya. Tentu saja hal ini related dengan kita, walaupun terkadang hubungan kita dengan orang lain tidak selamanya bagus, yang menjadikan kita seakan-akan seperti berada di dalam neraka.

"Hell is other people," adalah kutipan terkenal Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialisme. Kutipan yang muncul pada drama teaterikal No Exit, yang pertama kali dimainkan di tahun 1944 di Paris, Perancis. Menceritakan 3 orang yang dihukum di dalam neraka, namun tidak ada api dan siksaan (bayangkan gergaji, tombak, pedang) tetapi hanya ada mereka bertiga yang saling bercerita dan akhirnya berkonflik. 

Hingga menjelang akhir drama, sang tokoh pria, Garcin berkata bahwa neraka adalah orang lain. Kutipan tersebut mengandung arti jika hubungan tidak selamanya baik. Dan bahkan ketergantungan terhadap orang lain bisa menjadi suatu 'siksaan' tersendiri. 

Namun, bagaimanapun juga, secara alami, kita tidak dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain. “Heaven is each other,” Sartre akhirnya mengumumkan beberapa tahun kemudian. Lalu bagaimana buku Maybe You Should Talk to Someone dan Things Left Behind menjelaskan konsep hubungan dengan orang lain?

Buku Maybe You Should Talk to Someone menceritakan seorang psikolog/terapis (sang penulis sendiri, Lori Gottlieb) dalam menjalani pekerjaannya, yaitu memberikan terapi. Bagaimana ia menghadapi seorang produser TV keras kepala yang memiliki masalah dengan istrinya, menghadapi seorang wanita tua yang kesepian, menghadapi seorang istri yang terdiagnosa kanker, dan kisah lainnya. Hal yang menarik dari buku ini ialah selain melayani klien, sang psikolog pun butuh seorang psikolog untuk memberinya nasihat dalam mengatasi permasalahan dengan mantan pacar. 

Lori menuliskan kisahnya dengan sangat baik. Buku tersebut memiliki struktur yang sangat menarik. Berisi banyak pelajaran tentang psikologi melalui penanganannya kepada para klien. Salah satu pelajarannya adalah kita bisa-bisa saja menahan semua permasalahan kita sendiri, di dalam hati kita sendiri. Tetapi akan sangat 'melegakan' apabila permasalahan-permasalahan itu dapat kita ceritakan (minimal) kepada orang-orang terdekat, yang mencintai kita setulus hati. Atau kita ingin menyimpan semua kemelut itu sampai kita mati?

Buku Things Left Behind mungkin akan membuka pandangan kita (Dalam terjemahan bahasa Indonesia, buku ini berjudul "Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada"). Buku ini menceritakan hari-hari penulis, Kim Sae-byoul & Jeon Ae Won dalam menjalani pekerjaannya sebagai tukang 'pembersih' kamar orang yang meninggal. Mayat yang sudah meninggal berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, tidak ada yang tahu hingga akhirnya mengeluarkan bau tidak sedap itu harus diurus oleh orang-orang khusus yang bekerja di 'bidangnya'. Itulah pekerjaan Kim Sae-byoul & Jeon Ae Won. 

Kim dan Jeon membagikan analisa dan kisah yang mereka dapatkan saat mengurusi kamar yang ditinggalkan oleh para mendiang. Mulai dari kisah anak yang berprestasi yang bunuh diri, seorang ayah yang lumpuh kaki yang diabaikan anak-anaknya hingga meninggal, sampai ke seorang nenek yang meninggal tanpa ada yang tahu padahal keluarganya tinggal serumah dengan dia. Ketika membaca buku ini, muncul di dalam pikiran saya, bagaimana jika saya meninggal di dalam kamar indekos di Jakarta atau di kota perantauan lainnya, berapa lama orang-orang akan 'sadar' bahwa saya sudah tak bernyawa? 

Persamaan orang-orang yang meninggal hingga (maaf) membusuk itu adalah pengabaian oleh orang-orang yang seharusnya memperhatikan mereka, mencintai mereka. Kasus pengabaian yang mungkin juga bisa didapati pada diri kita. Sehingga, apabila kita akhirnya ditinggalkan oleh orang-orang terkasih, tidak mendapatkan cinta dan perhatian sebagaimana seharusnya, apakah modernitas dan kecanggihan teknologi dapat menggantikan peran mereka?


Teknologi Cloud Computing

Pada bab awal dari buku The Industries of the Future karya Alec J. Ross, mata saya dibukakan oleh fakta bahwa di negara Jepang, para peneliti berlomba untuk dapat membuat robot. Robot yang khusus untuk dapat melayani para manula. Sebuah fakta yang menyedihkan. Apakah robot-robot yang tuli itu dapat mendengarkan kisah-kisah heroik orang-orang tua, yang mana seharusnya itu akan menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagi penerus bumi, anak-anak & cucu-cucu mereka? 

Namun, kenyataan tetaplah kenyataan. Di era modernisasi seperti ini, para anak muda dituntut banyak hal. Memiliki rumah, financial independence, dan lain sebagainya. Sehingga "mengurusi" orang tua seakan menjadi pekerjaan sekunder, bahkan tersier, yang dapat dialihkan kepada teknologi.

Teknologi lain yang mungkin dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kita (termasuk kebutuhan akan cinta manusia) adalah cloud computing atau komputasi awan. Berdasarkan Gartner, Cloud Computing is a style of computing in which scalable and elastic IT-enabled capabilities are delivered as a service using Internet technologies. 

Komputasi awan adalah jenis komputasi yang fleksibel dan dapat bertumbuh dengan kemampuan teknologi informasi, yang berbentuk pemberian sebuah layanan kepada pengguna melalui internet. Server atau data center komputasi lawan terletak di suatu tempat (bukan di lokasi kita) yang hanya bisa diakses oleh internet, biaya yang ditagihkan kepada pengguna biasanya berdasarkan seberapa banyak layanan yang kita gunakan. 

Komputasi awan menawarkan cost-effective and efficient, contohnya saat kita menggunakan Infrastructure as a Service (IaaS) kita tidak perlu repot-repot melakukan pengadaan fisik rak, mesin server, dan bangunan. Kita hanya perlu mendaftar pada penyedia infrastruktur maya untuk dapat mendapatkan server yang kita butuhkan. 

Sehingga dengan adanya kemampuan dari komputasi awan, yang dapat bertumbuh sesuai kebutuhan dan dapat diakses kapanpun dan dimanapun selama ada jaringan internet, maka komputasi awan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan kebutuhan akan cinta.

Konsep Love as a Service (LaaS)

Dengan kemampuan teknologi cloud computing saat ini, tentu saja semua hal (dan kebutuhan) bisa disediakan. Bahkan ada yang dapat memberikan daftar "as a Service" mulai dari A-Z, dapat kita baca di sini. Mungkin sementara hanya terbatas dalam penyediaan teknologi informasi, tetapi kita yakin kedepannya batasan-batasan itu akan hilang. Lalu kembali ke LaaS, ketika pertama kali memikirkan kebutuhan akan cinta, kasih sayang, perhatian yang masih belum maksimal didapatkan, saya bertanya, apabila semua masukan (input) terkait makna cinta dari semua orang di dunia, dapat disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan? Setiap pengalaman dan 'definisi' tentang cinta dari setiap orang dapat diekstraksi untuk dapat disimpan dalam sebuah big data, yang disimpan dalam bentuk teks, video, gambar, apapun bentuk binary-nya, yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang benar-benar haus akan cinta tersebut.

Maka kesimpulannya layanan yang dapat diberikan oleh LaaS adalah cinta.  Dan memang itu yang diharapkan.

Baiklah, saya coba untuk mengelaborasi lagi dan menyambungkannya dengan love language. LaaS perlu untuk bisa mengakomodir cinta sesuai kebutuhan masing-masing person. Love language yang kita tahu yaitu words of affirmation, acts of service, receiving gifts, quality time, dan physical touch. Kelimanya menjadi opsi atas layanan, fitur, output dari LaaS.

Words of affirmation. LaaS harus dapat menyediakan cinta melalui kata-kata. Teknologi untuk mengakomodir love language adalah Generative AI, kecerdasan buatan berbasis Natural Language Processing (NLP) ini dapat memberikan kata-kata cinta dan apresiasi melalui tulisan. Bahkan juga memanfaatkan fitur text-to-speech dapat mengungkapkannya dengan lisan (suara). Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang sulit untuk dikembangkan. Apalagi Microsoft, Google, dan perusahaan teknologi besar yang memiliki teknologi chatbot dan AI as a Service, juga sudah mulai membuka kesempatan bagi siapa saja untuk melakukan riset menggunakan AI mereka. Kita juga seharusnya mulai melakukan riset, memikirkan bagaimana supaya setiap insan dengan love language words of affirmation dapat mendapatkan cinta, memanfaatkan teknologi tersebut.

Act of service. Ada juga orang-orang yang tidak 'bisa' mengungkapkan cintanya melalui kata-kata (lisan maupun tulisan), tetapi harus melalui tindakan nyata, baik yang kecil maupun besar, untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang mereka kepada pasangan. Dikarenakan orang dengan love languange ini butuh aksi, maka teknologi yang cocok untuk digunakan adalah mixed reality (virtual reality & augmented reality). Dengan berkembangnya jaringan internet, memasuki era 5G, tentu tidak akan menjadi hambatan bagi semua orang untuk mendapatkan layanan yang benar-benar real time. Mixed reality yang terdapat pada LaaS harus dapat menghadirkan 'suasana' atau pengalaman cinta dengan pasangan, menciptakan sebuah virtualisasi pasangan yang mampu (katakanlah) mengurusi rumah, memasak, menyiapkan pakaian, membelikan obat-obatan, dan lain sebagainya. Cloud computing hadir sebagai jembatan antara pengguna yang membutuhkan cinta, dengan pengalaman-pengalaman cinta yang telah diekstraksi dari semua orang, yang tersimpan di dalam database. Sehingga memunculkan aksi cinta yang begitu nyata, yang dibutuhkan oleh pengguna tersebut.


Receiving gifts. Saling memberikan hadiah adalah salah satu love language yang mungkin saja dimiliki oleh orang-orang yang "membutuhkan". Mereka dapat memanfaatkan LaaS dengan saling bertukar hadiah. Pendekatannya mungkin seperti ini: pengguna dapat mengirimkan hadiah kepada orang-orang acak, dan seketika itu juga secara langsung pengguna tersebut mendapatkan hadiah balikan dari orang yang telah dikirimi hadiah. Nah, hadiah tersebut yang tidak acak, melainkan telah ditentukan berdasarkan algoritma yang sebelumnya telah berjalan, setelah membaca inputan experience dari user dan history atau trend dari orang-orang di seluruh dunia. Bagi orang-orang dengan love language ini, harga dari sebuah hadiah bukanlah yang utama, melainkan makna di baliknya yang sangat berharga. LaaS akan menghadirkan itu melalui komputasi yang canggih.

Quality time. Tujuan utama dari quality time (waktu berkualitas) adalah memperkuat ikatan emosional dan keintiman antar pasangan. Meskipun agak mustahil, karena harus memiliki pasangan terlebih dahulu, tetapi bagaimanapun LaaS harus bisa menyediakan cinta jenis ini kepada pengguna. Kita harus selalu ingat bahwa secara prinsip LaaS adalah teknologi komputasi awan yang telah menyimpan ekstraksi dari pengalaman cinta semua orang, sehingga meskipun akhirnya membuat pasangan virtual, karakter avatar tersebut tetaplah dapat menyediakan cinta, yang dalam hal ini memberikan waktu yang berkualitas. Mungkin sama dengan Act of Service, fitur Quality Time dapat menggunakan teknologi mixed reality. Harapannya pengguna dapat menghabiskan waktu berkualitas bersama dengan 'pasangan' di dunia mereka sendiri.

Physical touch. Orang dengan love language ini mau tidak mau harus disediakan sebuah layanan 'fisik' dan tidak boleh virtual. Tentu saja LaaS dapat memanfaatkan teknologi robotik. Seperti yang saya sebutkan di atas, orang-orang Jepang pun telah mengembangkan robot dengan misi kemanusiaan. Apalagi ketika kita melakukan pencarian di mesin pencari (seperti Google) untuk perusahaan robot, kita dapat menemukan banyak sekali jenis robot yang sekarang dikembangkan. Dan pasti, kita yakin, tidak menutup kemungkinan robot dapat mengakomodir cinta berupa sentuhan fisik. Teknologi ini akan menjadi ujung tombak bagi LaaS.

Itulah konsep-konsep yang saya pikirkan terkait LaaS (Love as a Service) dengan pendekatan 5 jenis love language-nya. Mengapa terkesan sedikit 'memaksakan'? Karena pertama, teknologi telah banyak menyumbang mindset shifting bagi manusia, mulai dari ekonomi, transportasi, edukasi, dan lain sebagainya. Banyak yang berubah. Dan tidak mungkin tidak, selanjutnya adalah cinta. Batasan-batasan yang mengharuskan cinta harus dengan pasangan, mungkin akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Cinta harus universal dan manifestasinya, semua orang berhak mendapatkan cinta, seberapa besarpun yang mereka butuhkan. Maka teknologi cloud computing, dengan semangatnya yang dapat fleksibel sesuai kebutuhan, dapat menjadi solusi.

Alasan kedua, seperti yang menjadi pembuka tulisan ini, bahwa semua orang butuh cinta dan tidak ada yang ingin mati sia-sia tanpa menyampaikan apa yang dirasakannya. Cinta itu dapat menjelma menjadi banyak hal, kata-kata, aksi nyata, hadiah, sentuhan, waktu berkualitas, dan semuanya harus adil, dapat dirasakan oleh semua manusia.

Di Balik Awan

Ijinkanlah saya menutup tulisan ini dengan mengutip lirik lagu NOAH - Di Balik Awan.

Ku tak selalu berdiri
Terkadang hidup memilukan
Jalan yang kulalui
Untuk sekedar bercerita

Pegang tanganku ini
Dan rasakan yang kuderita