Minggu, 17 Desember 2023

Love as a Service (LaaS)

Love as a Service


Bagaimana jika ternyata cinta yang kita dapatkan selama ini kurang dari yang seharusnya kita butuhkan? Bagaimana jika kita dapat memaksimalkan rasa haus akan cinta tersebut? Bagaimana jika ternyata teknologi-lah yang dapat menyediakan semua cinta itu? 

Love as a Service (LaaS) adalah gagasan yang secara tidak sengaja muncul di benak saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. "as a Service" adalah istilah yang kerap digunakan untuk menyebut jasa atau layanan cloud computing, contohnya Infrastructure as a Service (IaaS), Platform as a Service (PaaS), dan lainnya. Jadi, secara umum, LaaS adalah layanan berbasis komputasi awan yang menyediakan cinta. Ya, cinta. Secara lebih detail akan coba saya jelaskan pada tulisan ini.

Meskipun terminologi LaaS sudah saya 'ucapkan' tiga atau empat tahun yang lalu, tetapi pendalaman yang lebih serius tentang LaaS baru dimulai sejak tahun kemarin. Hal ini didasari karena saya sangat berminat untuk membaca buku-buku non fiksi pengembangan diri, khususnya yang bertemakan psikologi. Dari beberapa buku yang saya baca, dapat ditarik garis lurus bahwa kesemuanya bermuara pada kebutuhan akan rasa cinta.

Dari banyak buku pengembangan diri itu, ada dua buku yang saya baca di tahun 2022, yang kisahnya begitu membekas bagi saya. Buku yang memberikan ide, "Oke sepertinya saya harus menulis tentang LaaS." Keduanya adalah buku yang sudah lama berada di wishlist saya. Dan baru (ditakdirkan untuk) saya beli sewaktu mengunjungi Gramedia Merdeka Bandung. 

Buku pertama adalah "Semua Orang Butuh Curhat" (Maybe You Should Talk to Someone), karya Lori Gottlieb. Buku kedua adalah Things Left Behind, karya Kim Sae Byoul dan Jeon Ae Won. Bagi saya, kedua buku ini memiliki pesan yang sama, yang ditulis dengan penyajian yang sama, dan merupakan 'kisah' atas profesi yang dijalankan oleh para penulisnya. 

Baiklah. Ijinkan saya menjelaskannya, sekaligus menerangkan secara lebih detail tentang gagasan LaaS itu. Tentu saja dengan mengutip beberapa buku selain 2 buku yang saya sebutkan di atas, untuk semakin memberikan 'arti' kepada para pembaca yang budiman.

Seberapa Butuh Orang Lain? 

Orang lain, entah itu keluarga, orangtua, anak, suami, istri, teman, atau siapapun, bisa menjadi satu hal yang menjadikan hidup memiliki makna dan tujuan. Hal ini seperti yang dapat kita baca pada buku karya Viktor E. Frankl, Man's Search for Meaning. Sang penulis, Viktor sendiri, menggambarkan bagaimana ia dapat bertahan 'hidup' di kamp konsentrasi saat Perang Dunia II. Yaitu karena adanya keinginan kuat untuk menemui istrinya setelah bebas dan keluar dari kamp konsentrasi. 

Berbagai macam kengerian yang ditemui di dalam kamp konsentrasi, berupa bentakan, hukuman, dan siksaan, yang mana menyebabkan banyak rekan-rekannya menderita sakit bahkan tewas karena perasaan putus asa dan 'kesepian', itu tidak dapat melemahkan tekad Viktor. Perbedaan dirinya dengan (mendiang) rekan-rekannya terletak pada makna kehidupan. Makna bahwa ia hidup karena ingin kembali berkumpul dengan keluarga. Inilah kebutuhan atas cinta. 

Sama seperti uraian Matt Haig di dalam bukunya, Reasons to Stay Alive, alasan untuk tetap hidup. Buku semacam memoar yang menceritakan masa-masa Matt Haig saat mengalami depresi dan kecemasan akut. Kondisi yang menyebabkan penulis novel The Midnight Library itu beberapa kali ingin melakukan tindakan bunuh diri. Namun dengan adanya support system, yaitu pasangannya, ia mampu melewati kondisi sulit tersebut. 

Pasangan Matt memberikan banyak cinta dan perhatian sehingga Matt dapat bertahan, dan dapat berkarya. Tentu saja hal ini related dengan kita, walaupun terkadang hubungan kita dengan orang lain tidak selamanya bagus, yang menjadikan kita seakan-akan seperti berada di dalam neraka.

"Hell is other people," adalah kutipan terkenal Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialisme. Kutipan yang muncul pada drama teaterikal No Exit, yang pertama kali dimainkan di tahun 1944 di Paris, Perancis. Menceritakan 3 orang yang dihukum di dalam neraka, namun tidak ada api dan siksaan (bayangkan gergaji, tombak, pedang) tetapi hanya ada mereka bertiga yang saling bercerita dan akhirnya berkonflik. 

Hingga menjelang akhir drama, sang tokoh pria, Garcin berkata bahwa neraka adalah orang lain. Kutipan tersebut mengandung arti jika hubungan tidak selamanya baik. Dan bahkan ketergantungan terhadap orang lain bisa menjadi suatu 'siksaan' tersendiri. 

Namun, bagaimanapun juga, secara alami, kita tidak dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain. “Heaven is each other,” Sartre akhirnya mengumumkan beberapa tahun kemudian. Lalu bagaimana buku Maybe You Should Talk to Someone dan Things Left Behind menjelaskan konsep hubungan dengan orang lain?

Buku Maybe You Should Talk to Someone menceritakan seorang psikolog/terapis (sang penulis sendiri, Lori Gottlieb) dalam menjalani pekerjaannya, yaitu memberikan terapi. Bagaimana ia menghadapi seorang produser TV keras kepala yang memiliki masalah dengan istrinya, menghadapi seorang wanita tua yang kesepian, menghadapi seorang istri yang terdiagnosa kanker, dan kisah lainnya. Hal yang menarik dari buku ini ialah selain melayani klien, sang psikolog pun butuh seorang psikolog untuk memberinya nasihat dalam mengatasi permasalahan dengan mantan pacar. 

Lori menuliskan kisahnya dengan sangat baik. Buku tersebut memiliki struktur yang sangat menarik. Berisi banyak pelajaran tentang psikologi melalui penanganannya kepada para klien. Salah satu pelajarannya adalah kita bisa-bisa saja menahan semua permasalahan kita sendiri, di dalam hati kita sendiri. Tetapi akan sangat 'melegakan' apabila permasalahan-permasalahan itu dapat kita ceritakan (minimal) kepada orang-orang terdekat, yang mencintai kita setulus hati. Atau kita ingin menyimpan semua kemelut itu sampai kita mati?

Buku Things Left Behind mungkin akan membuka pandangan kita (Dalam terjemahan bahasa Indonesia, buku ini berjudul "Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Telah Tiada"). Buku ini menceritakan hari-hari penulis, Kim Sae-byoul & Jeon Ae Won dalam menjalani pekerjaannya sebagai tukang 'pembersih' kamar orang yang meninggal. Mayat yang sudah meninggal berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, tidak ada yang tahu hingga akhirnya mengeluarkan bau tidak sedap itu harus diurus oleh orang-orang khusus yang bekerja di 'bidangnya'. Itulah pekerjaan Kim Sae-byoul & Jeon Ae Won. 

Kim dan Jeon membagikan analisa dan kisah yang mereka dapatkan saat mengurusi kamar yang ditinggalkan oleh para mendiang. Mulai dari kisah anak yang berprestasi yang bunuh diri, seorang ayah yang lumpuh kaki yang diabaikan anak-anaknya hingga meninggal, sampai ke seorang nenek yang meninggal tanpa ada yang tahu padahal keluarganya tinggal serumah dengan dia. Ketika membaca buku ini, muncul di dalam pikiran saya, bagaimana jika saya meninggal di dalam kamar indekos di Jakarta atau di kota perantauan lainnya, berapa lama orang-orang akan 'sadar' bahwa saya sudah tak bernyawa? 

Persamaan orang-orang yang meninggal hingga (maaf) membusuk itu adalah pengabaian oleh orang-orang yang seharusnya memperhatikan mereka, mencintai mereka. Kasus pengabaian yang mungkin juga bisa didapati pada diri kita. Sehingga, apabila kita akhirnya ditinggalkan oleh orang-orang terkasih, tidak mendapatkan cinta dan perhatian sebagaimana seharusnya, apakah modernitas dan kecanggihan teknologi dapat menggantikan peran mereka?


Teknologi Cloud Computing

Pada bab awal dari buku The Industries of the Future karya Alec J. Ross, mata saya dibukakan oleh fakta bahwa di negara Jepang, para peneliti berlomba untuk dapat membuat robot. Robot yang khusus untuk dapat melayani para manula. Sebuah fakta yang menyedihkan. Apakah robot-robot yang tuli itu dapat mendengarkan kisah-kisah heroik orang-orang tua, yang mana seharusnya itu akan menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagi penerus bumi, anak-anak & cucu-cucu mereka? 

Namun, kenyataan tetaplah kenyataan. Di era modernisasi seperti ini, para anak muda dituntut banyak hal. Memiliki rumah, financial independence, dan lain sebagainya. Sehingga "mengurusi" orang tua seakan menjadi pekerjaan sekunder, bahkan tersier, yang dapat dialihkan kepada teknologi.

Teknologi lain yang mungkin dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kita (termasuk kebutuhan akan cinta manusia) adalah cloud computing atau komputasi awan. Berdasarkan Gartner, Cloud Computing is a style of computing in which scalable and elastic IT-enabled capabilities are delivered as a service using Internet technologies. 

Komputasi awan adalah jenis komputasi yang fleksibel dan dapat bertumbuh dengan kemampuan teknologi informasi, yang berbentuk pemberian sebuah layanan kepada pengguna melalui internet. Server atau data center komputasi lawan terletak di suatu tempat (bukan di lokasi kita) yang hanya bisa diakses oleh internet, biaya yang ditagihkan kepada pengguna biasanya berdasarkan seberapa banyak layanan yang kita gunakan. 

Komputasi awan menawarkan cost-effective and efficient, contohnya saat kita menggunakan Infrastructure as a Service (IaaS) kita tidak perlu repot-repot melakukan pengadaan fisik rak, mesin server, dan bangunan. Kita hanya perlu mendaftar pada penyedia infrastruktur maya untuk dapat mendapatkan server yang kita butuhkan. 

Sehingga dengan adanya kemampuan dari komputasi awan, yang dapat bertumbuh sesuai kebutuhan dan dapat diakses kapanpun dan dimanapun selama ada jaringan internet, maka komputasi awan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan kebutuhan akan cinta.

Konsep Love as a Service (LaaS)

Dengan kemampuan teknologi cloud computing saat ini, tentu saja semua hal (dan kebutuhan) bisa disediakan. Bahkan ada yang dapat memberikan daftar "as a Service" mulai dari A-Z, dapat kita baca di sini. Mungkin sementara hanya terbatas dalam penyediaan teknologi informasi, tetapi kita yakin kedepannya batasan-batasan itu akan hilang. Lalu kembali ke LaaS, ketika pertama kali memikirkan kebutuhan akan cinta, kasih sayang, perhatian yang masih belum maksimal didapatkan, saya bertanya, apabila semua masukan (input) terkait makna cinta dari semua orang di dunia, dapat disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan? Setiap pengalaman dan 'definisi' tentang cinta dari setiap orang dapat diekstraksi untuk dapat disimpan dalam sebuah big data, yang disimpan dalam bentuk teks, video, gambar, apapun bentuk binary-nya, yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang benar-benar haus akan cinta tersebut.

Maka kesimpulannya layanan yang dapat diberikan oleh LaaS adalah cinta.  Dan memang itu yang diharapkan.

Baiklah, saya coba untuk mengelaborasi lagi dan menyambungkannya dengan love language. LaaS perlu untuk bisa mengakomodir cinta sesuai kebutuhan masing-masing person. Love language yang kita tahu yaitu words of affirmation, acts of service, receiving gifts, quality time, dan physical touch. Kelimanya menjadi opsi atas layanan, fitur, output dari LaaS.

Words of affirmation. LaaS harus dapat menyediakan cinta melalui kata-kata. Teknologi untuk mengakomodir love language adalah Generative AI, kecerdasan buatan berbasis Natural Language Processing (NLP) ini dapat memberikan kata-kata cinta dan apresiasi melalui tulisan. Bahkan juga memanfaatkan fitur text-to-speech dapat mengungkapkannya dengan lisan (suara). Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang sulit untuk dikembangkan. Apalagi Microsoft, Google, dan perusahaan teknologi besar yang memiliki teknologi chatbot dan AI as a Service, juga sudah mulai membuka kesempatan bagi siapa saja untuk melakukan riset menggunakan AI mereka. Kita juga seharusnya mulai melakukan riset, memikirkan bagaimana supaya setiap insan dengan love language words of affirmation dapat mendapatkan cinta, memanfaatkan teknologi tersebut.

Act of service. Ada juga orang-orang yang tidak 'bisa' mengungkapkan cintanya melalui kata-kata (lisan maupun tulisan), tetapi harus melalui tindakan nyata, baik yang kecil maupun besar, untuk menunjukkan perhatian dan kasih sayang mereka kepada pasangan. Dikarenakan orang dengan love languange ini butuh aksi, maka teknologi yang cocok untuk digunakan adalah mixed reality (virtual reality & augmented reality). Dengan berkembangnya jaringan internet, memasuki era 5G, tentu tidak akan menjadi hambatan bagi semua orang untuk mendapatkan layanan yang benar-benar real time. Mixed reality yang terdapat pada LaaS harus dapat menghadirkan 'suasana' atau pengalaman cinta dengan pasangan, menciptakan sebuah virtualisasi pasangan yang mampu (katakanlah) mengurusi rumah, memasak, menyiapkan pakaian, membelikan obat-obatan, dan lain sebagainya. Cloud computing hadir sebagai jembatan antara pengguna yang membutuhkan cinta, dengan pengalaman-pengalaman cinta yang telah diekstraksi dari semua orang, yang tersimpan di dalam database. Sehingga memunculkan aksi cinta yang begitu nyata, yang dibutuhkan oleh pengguna tersebut.


Receiving gifts. Saling memberikan hadiah adalah salah satu love language yang mungkin saja dimiliki oleh orang-orang yang "membutuhkan". Mereka dapat memanfaatkan LaaS dengan saling bertukar hadiah. Pendekatannya mungkin seperti ini: pengguna dapat mengirimkan hadiah kepada orang-orang acak, dan seketika itu juga secara langsung pengguna tersebut mendapatkan hadiah balikan dari orang yang telah dikirimi hadiah. Nah, hadiah tersebut yang tidak acak, melainkan telah ditentukan berdasarkan algoritma yang sebelumnya telah berjalan, setelah membaca inputan experience dari user dan history atau trend dari orang-orang di seluruh dunia. Bagi orang-orang dengan love language ini, harga dari sebuah hadiah bukanlah yang utama, melainkan makna di baliknya yang sangat berharga. LaaS akan menghadirkan itu melalui komputasi yang canggih.

Quality time. Tujuan utama dari quality time (waktu berkualitas) adalah memperkuat ikatan emosional dan keintiman antar pasangan. Meskipun agak mustahil, karena harus memiliki pasangan terlebih dahulu, tetapi bagaimanapun LaaS harus bisa menyediakan cinta jenis ini kepada pengguna. Kita harus selalu ingat bahwa secara prinsip LaaS adalah teknologi komputasi awan yang telah menyimpan ekstraksi dari pengalaman cinta semua orang, sehingga meskipun akhirnya membuat pasangan virtual, karakter avatar tersebut tetaplah dapat menyediakan cinta, yang dalam hal ini memberikan waktu yang berkualitas. Mungkin sama dengan Act of Service, fitur Quality Time dapat menggunakan teknologi mixed reality. Harapannya pengguna dapat menghabiskan waktu berkualitas bersama dengan 'pasangan' di dunia mereka sendiri.

Physical touch. Orang dengan love language ini mau tidak mau harus disediakan sebuah layanan 'fisik' dan tidak boleh virtual. Tentu saja LaaS dapat memanfaatkan teknologi robotik. Seperti yang saya sebutkan di atas, orang-orang Jepang pun telah mengembangkan robot dengan misi kemanusiaan. Apalagi ketika kita melakukan pencarian di mesin pencari (seperti Google) untuk perusahaan robot, kita dapat menemukan banyak sekali jenis robot yang sekarang dikembangkan. Dan pasti, kita yakin, tidak menutup kemungkinan robot dapat mengakomodir cinta berupa sentuhan fisik. Teknologi ini akan menjadi ujung tombak bagi LaaS.

Itulah konsep-konsep yang saya pikirkan terkait LaaS (Love as a Service) dengan pendekatan 5 jenis love language-nya. Mengapa terkesan sedikit 'memaksakan'? Karena pertama, teknologi telah banyak menyumbang mindset shifting bagi manusia, mulai dari ekonomi, transportasi, edukasi, dan lain sebagainya. Banyak yang berubah. Dan tidak mungkin tidak, selanjutnya adalah cinta. Batasan-batasan yang mengharuskan cinta harus dengan pasangan, mungkin akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Cinta harus universal dan manifestasinya, semua orang berhak mendapatkan cinta, seberapa besarpun yang mereka butuhkan. Maka teknologi cloud computing, dengan semangatnya yang dapat fleksibel sesuai kebutuhan, dapat menjadi solusi.

Alasan kedua, seperti yang menjadi pembuka tulisan ini, bahwa semua orang butuh cinta dan tidak ada yang ingin mati sia-sia tanpa menyampaikan apa yang dirasakannya. Cinta itu dapat menjelma menjadi banyak hal, kata-kata, aksi nyata, hadiah, sentuhan, waktu berkualitas, dan semuanya harus adil, dapat dirasakan oleh semua manusia.

Di Balik Awan

Ijinkanlah saya menutup tulisan ini dengan mengutip lirik lagu NOAH - Di Balik Awan.

Ku tak selalu berdiri
Terkadang hidup memilukan
Jalan yang kulalui
Untuk sekedar bercerita

Pegang tanganku ini
Dan rasakan yang kuderita

0 comments:

Posting Komentar