Selasa, 19 Desember 2023

Seperti Menggarami Lautan


Garam. 
Garam dapat menjadi sebuah simbol perlawanan dan ikon perjuangan. Ialah Pawai Garam (Salt March), sebuah gerakan yang dilakukan oleh Mohandas Karamchand Gandhi, 93 tahun yang lalu, sebagai bentuk protes atas monopoli garam Inggris yang terjadi di India. 

Seperti yang saya baca dari History.com, Undang-Undang Garam Inggris tahun 1882 melarang orang India mengumpulkan atau menjual garam, yang merupakan makanan pokok mereka. Warga negara India mau tidak mau harus membeli mineral penting itu dari penguasa Inggris, yang tidak hanya menjalankan monopoli atas pembuatan dan penjualan garam, tetapi juga mengenakan pajak garam yang besar.

Karena kebutuhan atas garam itulah, Gandhi tergerak untuk dapat melakukan perjuangan. Tepatnya pada 12 Maret 1930, Gandhi bersama murid-muridnya memulai aksi, memulai perjalanan sekitar 347 km dari Sabermanti ke kota Dandi di pesisir Laut Arab. Dalam pawai itu, banyak masyarakat yang ikut bergabung. Sebab monopoli garam oleh pemerintahan Inggris menjadi momok tersendiri bagi warga India sejak lama.

Setelah berjalan selama 24 hari, akhirnya pada tanggal 5 April, Gandhi dan murid-muridnya sampai di kota Dandi. Sesampainya di sana, mereka melakukan aksi 'pemberontakan' dengan membuat garam dari air laut. Polisi tentu tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Gandhi dan pengikutnya terpaksa harus ditangkap.

Aksi bersejarah tersebut merupakan bagian dari perjuangan kemerdekaan India. Melalui garam, yang menjadi unsur terpenting dari masyarakat, sebuah revolusi dapat berjalan. Berbeda di India, berbeda juga dengan 'perjuangan' yang ingin saya sampaikan pada tulisan kali ini.

Seperti Menggarami Lautan

Seperti yang kita tahu bersama, garam berasal dari air laut (yang asin), meskipun ada juga garam yang diproduksi dari tambak garam. Tapi mayoritas di dunia, garam didapatkan dari laut. Jadi, apakah bisa kita menggarami lautan? Apakah menggarami lautan adalah sebuah bentuk perjuangan?

"Menggarami lautan" adalah sebuah peribahasa, bidal, ungkapan, pepatah, perumpamaan. Yang dalam bahasa jawa biasa disebut "nguyahi segara". Sebuah peribahasa (dan peribahasa lainnya) yang amat jarang lagi kita gunakan, seiring dengan kebutuhan akan kecepatan dan efektivitas komunikasi. Bayangkan saja, sekarang komunikasi bisa menjadi semakin sederhana, dapat diwakili oleh emoticon dan stiker di aplikasi chat. Sastra tak lagi digunakan. Apalagi dengan adanya chatbot, generative AI. Saya rasa robot atau mesin tidak mungkin dapat bersastra, tak yakin bisa menggunakan peribahasa. Maka itulah melalui tulisan ini, saya sebenarnya juga ingin menyampaikan pesan, supaya kemanusiaan kita tidak hilang, minimal kita harus kembali bersastra, seminimal-minimalnya, membiasakan peribahasa. Karena peribahasa memiliki keluhuran dan keindahan.

Baik, kembali kepada peribahasa "menggarami lautan". Apa arti dari pepatah tersebut? Dengan menggunakan akal sehat saja, kita pasti sudah bisa menebak maksudnya. Setidaknya ada dua pengertian. Pengertian pertama adalah melakukan sesuatu atau hal yang sisa-sia, tidak ada gunanya, mubazir. Dan yang kedua, ungkapan itu bermakna: memberi informasi atau pelajaran kepada orang yang ahli akan bidang yang diajarkan. Kalau boleh dianalogikan, seperti menuang air pada gelas yang sudah penuh. Ya, ujung-ujungnya juga melakukan hal yang tidak ada manfaatnya. Jadi, ada apa dengan proses menggarami lautan ini?

Perbuatan Sia-sia

L'existence précède l'essence, existence precedes essence, eksistensi mendahului esensi. Bagi filsuf eksistensialisme, Jean-Paul Sartre, manusia dikutuk untuk menjadi bebas. Penyebabnya adalah eksistensi kita ada bahkan sebelum mengetahui tujuan kita diciptakan untuk apa (esensi). Yang mungkin saja, karena itulah, manusia banyak melakukan perbuatan sia-sia, kita tidak tahu (secara pasti) harus melakukan apa. Apa yang baik bagi diri sendiri, masyarakat, perusahaan, negara, atau dunia.

Tapi sebagai seorang muslim, lebih-lebih sebagai orang yang beriman, kita tahu bahwa manusia itu diciptakan sebagai khalifah di Bumi, pengelola alam untuk dapat digunakan sebaik-baiknya. Supaya dapat beribadah kepada Rabb Semesta Alam, Allah subhanahu wa ta'ala. Jadi ya sebenarnya, baik menggunakan pendekatan filsafat maupun agama, manusia itu seharusnya tidak melakukan perbuatan yang sia-sia. Tidak menggarami lautan.

Bagi insan yang berpikir, kita seharusnya dapat menggunakan akal pikiran kita untuk menyelesaikan setiap permasalahan, apalagi yang terjadi di dalam pekerjaan sehari-hari. Namun, kenyataannya, manusia lebih suka tidak PD (percaya diri) dengan kemampuannya sendiri, contohnya lebih senang menggunakan chatbot (yang sedang ngetren), seperti chatGPT, Bard, Grok, dan lainnya. Kita, seharusnya dapat memaksimalkan kemampuan sendiri dalam melakukan analisa dan perhitungan profesional. Jangan sampai kita menyia-nyiakan akal budi, sebuah nikmat yang membedakan kita dengan (maaf) binatang.

Lalu, apakah setelah kita tidak menggarami lautan, dengan memaksimalkan penggunaan pikiran, semuanya akan menjadi beres? Tentu saja tidak. Kita masih berpotensi untuk melakukan kemubaziran selanjutnya.

Di dalam proses managemen, terdapat prosedur yang paling dasar yaitu PDCA (Plan, Do, Check, Act).  Lalu ada banyak standardisasi dan framework, katakanlah ISO dan SNI, yang bisa menjadi pedoman dalam melakukan pekerjaan. Belum lagi adanya perangkat-perangkat SOP dan governance standards di dalam perusahaan. 

Ya, intinya, di dalam pekerjaan, kita memiliki banyak tools dan resource untuk dapat melakukan kajian, analisa dan perhitungan yang matang, akses terhadap data dan informasi masih terbuka luas, tapi mengapa sepertinya banyak rekan kerja kita yang masih seperti menggarami lautan. Bahkan yang lebih ngeri keputusan-keputusan atau arahan petinggi-petinggi juga seperti menggarami lautan. Seakan-akan di awal semuanya akan memberikan dampak yang baik bagi kemajuan bersama, tetapi ternyata mudaratnya lebih banyak. Apalagi sampai waktu dan tenaga dihabiskan untuk suatu pekerjaan, yang harapannya seperti perjuangan Gandhi, tetapi ternyata yang kita lakukan semuanya adalah sia-sia belaka, seperti menggarami lautan. Tentu saja kita tidak ingin hal tersebut terjadi, maka apa solusinya? 

Balik lagi, manusia adalah makhluk yang bebas, baik dari pikiran maupun tindakan, tapi di saat yang sama kita juga memiliki norma-norma dan hukum positif yang mengatur. Apabila di dalam pekerjaan kita diharuskan untuk melakukan hal yang tidak ada gunanya, apalagi sebatas hanya untuk 'prestasi' semu, baiknya kita kaji ulang, apakah program yang kita jalankan itu memang akan menghasilkan sesuatu atau malah menjadi masalah di kemudian hari?

Ngajari Ikan Berenang

Ada satu bab yang menarik di dalam buku "Gelandangan di Kampung Sendiri" karya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), bab tersebut berjudul "Egosentris". Tulisan tersebut mengkritisi para mahasiswa yang melakukan KKN (Kerja Kuliah Nyata) di suatu daerah, mereka membawa 'misi' khusus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mereka melakukan penyuluhan, pembelajaran, dan 'terobosan' lainnya kepada para masyarakat di desa. Seakan-akan para mahasiswa itu lebih tahu daripada orang-orang yang telah lama hidup bersama alam. Malah seharusnya para mahasiswa dari kampus-kampus kota itu yang harus banyak belajar dari petani, nelayan, para bijak yang usianya jauh lebih tua daripada anak-anak muda ini. Walaupun sebenarnya KKN, yang merupakan kegiatan wajib mahasiswa itu, memiliki banyak manfaat bagi kampung dan desa. Namun, hal yang dikritisi oleh Cak Nun adalah niat mahasiswa itu harus diluruskan. Mereka tidak boleh mengajari ikan berenang. Tidak menggarami lautan.

Hal yang sama kerap kita temukan di dalam pekerjaan kita. Bagaimana bisa fungsi tertentu, katakanlah sebagai contoh fungsi IT, mendapatkan arahan dari fungsi-fungsi non IT tentang sebuah program. Atau selanjutnya, ada yang memberikan usulan-usulan dengan memaparkan berbagai benefit yang diklaim adalah sebuah improvement, padahal sebenarnya hal tersebut adalah sebuah existing result dari proses bisnis yang sudah berjalan. Bukankah ini adalah sebuah contoh dari proses menggarami lautan? Bukan berarti proses itu tidak boleh dilakukan, tetapi apabila sampai itu terjadi berarti ada sebuah proses yang missed yang belum dilakukan. Yaitu konfirmasi dan double check. Proses komunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seyogyanya kan sebelum usulan-usulan itu diformalkan, baiknya dikomunikasikan terlebih dahulu kepada para stakeholder yang terlibat dalam proses eksekusi suatu program. Bersama-sama dapat melakukan analisa dan kajian yang lebih komprehensif, sehingga sense of belonging, perasaan memiliki sebuah project bisa sama-sama dimiliki, tidak hanya satu dua orang saja.

Tapi ya, balik lagi, manusia adalah makhluk yang dikutuk untuk menjadi bebas. Tidak semuanya hitam dan putih, ada banyak hal yang abu-abu, yang menuntut fleksibilitas dan kreativitas. Semuanya bebas untuk dilakukan. Dan mungkin saja, menggarami lautan adalah hobi dari satu-dua orang. Sehingga, itulah eksistensi mereka. Hal terpenting adalah kebermanfaatan. "Menggarami lautan" kalau itu dirasa bermanfaat ya tidak masalah sih. Seperti kata Gandhi, "Tindakan baik tidak pernah sia-sia."

0 comments:

Posting Komentar