Sabtu, 17 Agustus 2024

Lomba Makan Kerupuk

 Pak Yusuf, wali kelas 4 SD saya suatu ketika di bulan Agustus pernah berkata di depan kelas. "Saya heran dengan lomba makan kerupuk. Mengapa masih terus dilakukan?" begitu ucap Pak Yusuf. "Padahal hanya mengajarkan keserakahan!" lanjut beliau. Kata-kata yang begitu mengena ke dalam hati dan pikiran saya, menjadi core memory hidup saya. Selalu saya ingat kembali (recall) ketika memasuki bulan kemerdekaan. Hingga tak terasa sudah 20 tahun sejak momen itu terjadi. Doa terbaik untuk Pak Yusuf!

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Tujuh puluh sembilan. Sebuah angka yang tidak sedikit. Juga belum tua-tua amat. Masih banyak hal yang bisa diperbaiki di negeri ini. Meskipun seharusnya perbaikan-perbaikan itu sudah dilakukan jauh sebelumnya. Kekurangan-kekurangan yang selalu menjadi topik pembahasan di tiap perayaan kemerdekaan. Munculnya berbagai retorika kenegaraan. Contoh pertanyaan yang sering muncul adalah "Apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka?"

Apakah sudah ada jaminan sila kelima Pancasila dijalankan di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara? Saya sedikit tersenyum ketika menuliskan ini. Bukan atas tragedi yang akan dituliskan. Tentu saja bukan. Karena itu harus menjadikan kita menunduk untuk muhasabah diri. Saya tersenyum sebab saking banyaknya materi ketidakadilan sosial yang ada. Sehingga saya tidak perlu memutar otak terlalu keras. Indonesia menampilkan banyak sekali. Banyak sekali. 

Tak habis-habisnya kita melihat dan membaca berita melalui layar smartphone, di linimasa media sosial, aplikasi-aplikasi percakapan, tentang bagaimana ketimpangan terjadi di negeri tercinta ini. Ketimpangan yang seperti mencoreng ideologi negara. Bagaimana bisa di negara Pancasila ini, masih ada yang mati kelaparan sedangkan di ibukota baru diadakan pesta pora? Kendati katanya untuk perayaan kemerdekaan tidak ada kata mahal.

Bangsa Indonesia memang diciptakan menjadi salah satu bangsa yang kuat. Manusia-manusia yang didesain oleh Tuhan untuk memiliki hati yang tegar dan prasangka baik sedalam samudera. Pagi ini di beranda X saya membaca postingan (yang dilengkapi foto), seseorang yang membagikan pengalamannya berbelanja di pasar tradisional.

Ada seorang penjual sayur di pasar yang sederhana, dengan TV tabungnya menonton kegiatan upacara yang disiarkan langsung dari ibukota baru, yang memakan biaya miliaran tersebut. Saya yakin, sang penjual sayur menaruh harapan besar bagi kemajuan Indonesia kepada para petinggi yang berkumpul di dalam kegiatan upacara itu. Meskipun tentu saja hati orang tidak ada yang tahu. Apalagi isi hati mereka-mereka itu.

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Berarti 2045 tinggal 21 tahun lagi. Indonesia Emas. Itulah yang dijual oleh para penabur asa. Seratus tahun pasca kemerdekaan, Indonesia sudah mampu bersaing dengan negara-negara maju. Maka dari sekarang manusia-manusia Indonesia mesti "disiapkan" dengan baik. Mulai dari karakter, kompetensi, mental, kecintaan kepada negeri, dan yang terpenting adalah seberapa Pancasila mereka. Tentu saja Pancasila yang benar, bukan gimmick.

Menyiapkan 2045. Dua puluh satu tahun dari sekarang, berarti saya akan berusia 50-an. Tim saya (usia 20-an tahun) akan berumur 40-an. Para mahasiswa akan berumur 30-40. Pemuda-pemudi yang sekarang produktiflah yang akan menjadi pemimpin masa depan. Menjadi bagian dari masyarakat. Menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Pengalaman, pengetahuan, bahkan kekayaan, ketenteraman hidup, kemandirian finansial perlu disiapkan.

Namun, mereka saat ini masih harus berjuang karena susahnya mencari pekerjaan (dan mempertahankannya). Data BPS yang dilansir menunjukkan kenaikan signifikan jumlah PHK di negeri Pancasila ini daripada tahun lalu. Mereka harus mati-matian berjuang dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tak banyak. Juga batasan usia rekrutmen yang dipersyaratkan terlalu kecil. Belum lagi harus bersaing dengan entitas bukan manusia. Robot & mesin. Kecerdasan buatan. Atau apalah itu produk dari kapitalisme.

Menuju 2045 berarti harus mempersiapkan manusia yang utuh. Bagaimana caranya? Menurut hemat saya, kita harus menyepakati lagi, sebenarnya apa idelogi negara ini. Lalu menginternalisasi ideologi tersebut ke dalam diri. Ke dalam pikiran, hati, perbuatan, perkataan. Dan sebetulnya Pancasila salah satu ideologi yang bisa membawa Indonesia menjadi negara utopia. Asalkan benar-benar dijalankan sebagai penerang jalan, bukan tongkat pemukul sesama.

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Ketimpangan sosial, ekonomi, pendidikan, dan semuanya itu. Juga susahnya mendapatkan pekerjaan karena mulai berkurangnya padat karya. Apakah berhulu pada keserakahan manusia? Orang-orang pemilik modal (dan kesempatan dan privilege) semakin ke sini semakin berfokus pada keuntungan yang didapatkan, alih-alih pada kesempatan anak bangsa mendapatkan pekerjaan yang layak. Demi efisiensi dan peningkatan revenue, manusia semakin digantikan oleh robot, mesin, dan kecerdasan buatan.

Apakah juga keserakahan manusia yang mengakibatkan para pejabat tidak segan-segan untuk melakukan tindakan korupsi? Yang menyebabkan anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi ketimpangan tersebut secara struktural, malah masuk ke dalam dompet pribadi. Yang menyebabkan pendidikan seperti jalan di tempat, tidak menghasilkan outcome apapun selain hanya manusia yang terbiasa untuk berlaku curang. Yang menyebabkan pemuda-pemudi usia produktif kalah bersaing sebab kompetensi mereka kurang terasah.

Apakah juga karena keserakahan yang tumbuh di dalam setiap manusia, yang menyebabkan kita lupa untuk berbagi? Bahkan sampai harus mengambil hak orang lain? Hak warga adat, hak wong cilik, hak lingkungan, hak mereka yang kalah (sejak dari kesempatan), hak orang-orang yang belum tahu besok apakah bisa makan, hak bangsa, hak anak-cucu kita.

Apakah kemerdekaan yang telah kita capai inilah yang membuat orang-orang merasa bebas untuk menggerogoti segala apa yang ada? Termasuk menggerogoti kemerdekaan bangsa sendiri? Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Retorika-retorika tersebut haruslah menjadi pekerjaan rumah kita. Menjadi bahan perenungan di menit-menit sebelum tidur, di sepertiga malam, di waktu subuh kita, di antara adzan dan iqamah.

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Apakah memang benar kalau lomba makan kerupuk yang kita lakukan setiap tahun itu, yang menyebabkan kita menjadi begitu serakah? Tentunya perlu ada penelitian khusus terkait ini. (Jangan-jangan sudah ada?). Tapi sepertinya para peneliti lebih menyukai penelitian bagaimana caranya supaya tanah lahan gambut bisa subur ditanami singkong dan jagung.

Coba kita bersama-sama preteli lomba makan kerupuk, kita detailkan agenda wajib setahun sekali tersebut.

Teknis lomba makan kerupuk yaitu sebuah kerupuk yang digantung dengan tali setinggi mulut peserta lomba. Siapa yang bisa makan dan menghabiskan kerupuk tercepat yang akan menjadi pemenang. Makan hanya bisa menggunakan mulut dengan bantuan tali gantung. Kedua tangan tidak boleh menyentuh kerupuk ataupun tali. Sangat sederhana.

Mungkin karena kesederhanaan tersebut yang menjadikan lomba ini selalu ada di setiap pergelaran tujuh belasan. Para panitia tidak perlu repot-repot memikirkan lomba lainnya. Karena memang kita tidak terbiasa untuk berpikir keras. Apalagi mempertanyakan hal-hal yang sudah kita wajarkan di masyarakat.

Lalu, bagian mana dari kesederhanaan lomba makan kerupuk ini yang mendorong kita untuk menjadi serakah? Apakah karena proses makannya yang harus buru-buru? Kan namanya juga berkompetisi. Apakah karena proses makannya yang tanpa menggunakan tangan? Sehingga makan seperti (maaf) binatang? Sudah buru-buru, makan tanpa tangan pula. Tanpa etika. Apakah sisi kebinatangan yang rakus, yang serakah, yang tidak manusiawi tersebut penyebabnya? Seperti yang saya sebutkan di atas, pertanyaan retorik ini juga harus kita temukan jawabannya.

Atau apakah sebenarnya bukan lomba makan kerupuk yang mengajarkan keserakahan kepada kita, melainkan lomba tersebutlah yang "mengakomodir" keserakahan yang sejak awal sudah ada dalam diri kita? Baik, ini PR kita bersama.

Kalau saya pribadi melihat filosofi dari lomba makan kerupuk ini berdasarkan hakikatnya. Kerupuk, yang menjadi bintang dari lomba ini. Sebuah makanan pelengkap yang tidak ada "dagingnya", hanya berisi "angin". Sedangkan kita berkompetisi, hanya untuk menghabiskan makanan yang tidak memberi manfaat sedikit pun (selain karena hadiah lomba). Lalu kita geser pemikiran ini ke dalam spektrum yang lebih luas di dalam kehidupan.

Seringkali kita gagal untuk memahami apa yang paling esensial dalam hidup. Apa yang menjadi tujuan kita dilahirkan di dunia ini. (Hal itulah yang menjadi kajian filsafat eksistensialisme.) Bagi kita yang memiliki framework pemikiran seorang muslim, kita geleng-geleng kepala saat melihat banyak dari kita yang tidak bisa menemukan hakikat tujuan hidup. Terlalu menghabiskan banyak energi, berlomba-lomba mengejar segala hal yang tidak bermanfaat. Memburu uang, uang, uang. Sampai-sampai harus menabrak aturan sana-sini. Padahal yang dikejar tidak akan dibawa ke dalam kuburan. 

Walaupun bukan berarti uang itu tidak ada manfaatnya. Melainkan bagaimana uang dan kekayaan itu dipandang. Apakah ia adalah kerupuk, ataukah daging. Pun, apabila ia adalah kerupuk, lalu apa dagingnya? Apakah daging bagi negeri ini adalah ketuhanan? Apakah kemanusiaan? Apakah persatuan? Apakah kerakyatan? Apakah keadilan? Itulah yang harus segera disadari.

Pada bab sebelumnya, saya mengusulkan untuk kita kembali melakukan refleksi seberapa Pancasila kita. Sehingga kita dapat memaknai lomba makan kerupuk sebagai ajang untuk mengamalkan kelima sila. 

Bersyukur atas nikmat yang diberikan karena masih bisa merasakan gurihnya kerupuk, implementasi sila pertama. Tepa selira dan menjunjung tinggi kejujuran dalam berkompetisi, sesuai sila kedua. Menjaga kerukunan dan solidaritas antar peserta lomba, makna sila ketiga. Legawa atas hasil yang diputuskan oleh panitia lomba, buah dari sila keempat. Semua peserta lomba memiliki kesempatan yang sama, perwujudan dari sila kelima. Alangkah indahnya lomba makan kerupuk apabila dipandang dengan kacamata kebijaksanaan.

Sehingga, apa yang kita takutkan dari lomba makan kerupuk sebagai penyebab keserakahan tidak akan terwujud. Karena kita sudah memahami apa yang esensial di dalam diri ini. Bagi bangsa dan negara ini. Ketimpangan ekonomi, sosial, pendidikan dan lain sebagainya itu tidak akan terjadi. Banyak perusahaan dan bisnis memilih untuk memberi kesempatan kepada anak bangsa untuk bisa bekerja dan berkarya lebih baik lagi serta mendapatkan gaji yang layak.

Harapan itulah yang ingin coba saya sampaikan di hari kemerdekaan ini. Lalu, sebagai pelengkap, mungkin segala macam hiruk pikuk merah putih ini hanyalah kerupuk saja. Upacara yang diadakan secara seremonial dan menghabiskan biaya tak sedikit itu pun cuman sebatas kerupuk. Kemerdekaan yang kita gemborkan tak lebih dari sebuah kerupuk yang terombang-ambing di atas tali, bukanlah daging. Jiwa, raga, pikiran, diri kita belum benar-benar merdeka.

Kalau memang seperti itu, saya tawarkan daging dan sayur mayur. Yaitu kutipun dari Rib’i bin ‘Amir Ats-Tsaqafi, tentang kemerdekaan hakiki ialah mengeluarkan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia, menuju penyembahan kepada Yang Maha Menguasai manusia. .. dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat.

Syahdan, dirgahayu Indonesia. Negeri tempat kita bisa beribadah dengan perasaan aman dan tenteram.

Sabtu, 08 Juni 2024

Belajar dari Gibran



"Anakmu bukanlah anakmu.

Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri."

(Kahlil Gibran)

...

Sore itu, selepas menyelesaikan pekerjaan, di meja kantor departemen, yang hanya ada saya dan rekan kerja saya, sebuah pikiran tiba-tiba muncul di dalam kepala. Sebuah gagasan untuk berdiskusi ringan sembari merapikan barang-barang kami, untuk persiapan pulang ke rumah masing-masing.

"Menurutku, kalau dia bisa melawan Bapaknya dengan tidak meneruskan kebobrokan ini, pasti akan keren sekali!" ucap saya mengawali diskusi.

"Gimana maksudnya?" tanya rekan sefungsi saya itu.

"Ingat kisah tentang Nabi Ibrahim dan ayahnya, kan? Beliau berani 'melawan' sang ayah yang seorang pembuat patung berhala. Juga beliaulah yang menghancurkan berhala-berhala, kecuali yang terbesar, untuk memberikan sebuah pelajaran dan hikmah, supaya ayah dan kaumnya berubah. Emang itu contoh yang ekstrim, sih. Tapi coba bayangkan jika semangat perbaikan itu juga ada di dalam diri setiap anak!"

Seperti yang kita ketahui bersama, kisah tentang dialog Nabi Ibrahim alaihissalam dengan ayahnya itu tercatat di dalam Al-Quran. Ialah di dalam surat Maryam (19) ayat 43, yang terjemahannya "Wahai Ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?" sampai pada ayat 47, "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku."

Juga pada surat Al-Anbiyah (21), mulai dari ayat 52 ketika Nabi Ibrahim alaihissalam bertanya, "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?" hingga kejadian penghancuran patung berhala-berhala di ayat 58-65, juga peristiwa pembakaran nabi yang tertulis sampai ayat 70 itu. Ah, tentu saja para pembaca yang budiman sudah hafal betul kisah ini.

Hikmah dari kisah Nabi Ibrahim alaihissalam yang akan dibahas pada tulisan ini, selain karena spontanitas diskusi dengan rekan kerja saya, juga sepertinya cocok sebagai pelengkap dalam menyambut bulan Zulhijah, bulan yang di dalamnya sering dibahas kisah pengorbanan Nabi Ismail alaihissalam, anak Nabi Ibrahim.

Dalam kisah abulanbiya itu, beliau mendapatkan wahyu dari Allah subhanahuwataala padahal sang ayah adalah seorang penyembah berhala. Dakwah sang nabi kepada ayahnya itu, yang mana membawa perubahan yang cukup besar, tidaklah kasar dan tetap lemah lembut. Betapapun 'berbeda'-nya orang tua kita dengan pandangan kita, tak boleh ada sedikitpun hardikan, celaan, hinaan, atau ucapan-ucapan kasar kepada mereka berdua.

Peristiwa dialog sang nabi dengan ayah terkasih itu memberikan hikmah bahwa anak bisa saja tidak selalu sepemahaman dengan orang tuanya, apalagi jika perbuatan ayah atau ibunya tidak sesuai dengan norma, hukum, adat, etika, atau prinsip keadilan sosial. Sang anak bisa berbeda 180 derajat dari orang tuanya.

Kisah tentang anak yang berbeda sama sekali dengan ayahnya juga dapat kita temui pada jaman Rasulullah Muhammad shalallahualaihiwassalam. Tersebutlah Amr ibn Al-Ash, seorang panglima perang Islam yang diberi julukan "Sang Pembebas Mesir". Dia lahir dari seorang musuh Rasul, si pencela kehidupan akhirat dari kalangan elite Quraisy, Al-Ash ibn Wa'il. Tak dikira dari orang tua yang jauh dari hidayah itu lahirlah seorang muslim yang taat, seorang pejuang.

Selanjutnya ada Abdurrahman dan Khalidah, dua orang beriman dan pengikut Rasul, yang merupakan anak dari Al-Aswad ibn Abd Yaghuts. Al-Aswad adalah seorang perundung Rasul dari kalangan Bani Zuhrah. Meskipun masih berkerabat dengan Rasul, kebencian membuatnya selalu berusaha untuk menghentikan langkah dakwah Islam. Berbeda dengan sang ayah, Abdurrahman dikenal banyak meriwayatkan hadis dari para sahabat Rasulullah. Sementara Khalidah hidup bersama sahabat lainnya di Madinah, menjadi wanita salihah.

Al-Harits ibn Qais Al-Sahmi, termasuk ke dalam kelompok tukang olok yang juga sering menyakiti kekasih Allah subhanahuwataala. Al-Harits adalah seburuk-buruk musuh Rasul, tetapi merupakan ayah dari para syuhada, seperti Abu Qais, Al-Harits ibn Al-Harits, Abdullah, dan Al-Hajjaj. Begitulah, dari para kafir Quraisy dapat lahir orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Sehingga, memang benar, anak selalu rindu akan jati dirinya sendiri. Juga atas Hidayah dari Allah subhanahuwata'ala. Wawasan dan hikmah tentang anak dan ayah ini saya dapatkan ketika membaca buku "Para Penentang Muhammad SAW" karya Misran dan Armansyah (terbitan tahun 2018).

Saya juga teringat ucapan dari Gus Baha di salah satu kajian, bahwa tidak semua penjahat akan melahirkan anak yang akan menjadi penjahat juga, bisa jadi darinya lahir anak-anak yang akan menjadi manfaat bagi agama, bangsa, dan negara. Selanjutnya, meminjam kalimat Leila S. Chudori pada novel Namaku Alam:

"Pada saat setiap bayi lahir, para malaikat turun di suatu pagi dan mencium ubun-ubun sang bayi... Aku percaya, seorang bayi yang baru saja lahir adalah makhluk suci tanpa dosa yang meluncur ke dunia dengan bekal ciuman malaikat pada ubun-ubunnya serta harum bunga mawar dan untaian doa para orang tua."

Setiap anak yang lahir, terlahir suci. Dalam keyakinan seorang muslim, setiap anak memiliki fitrah dan yang menjadikan mereka yahudi, nasrani, atau majusi adalah orang tuanya. Terlepas dari kuatnya peran orang tua dalam menumbuhkembangkan anak, setiap anak memiliki pemikirannya sendiri tentang kehidupan.

Para orang tua tidak bisa berambisi untuk memaksakan pahamnya kepada anak, misalnya tentang dinasti politik atau tirani. Para orang tua memang berkewajiban untuk memberi pelajaran kepada anak, seperti dalam hal akidah dan syariat. Selain itu, tentang hal-hal duniawi, biarlah anak dapat memilih 'jalan' sendiri sesuai dengan panggilan hatinya. Selama itu tidak bertentangan dengan hukum positif, tentunya. Bagi para orang tua, ada ucapan dari Ali ibn Abi Thalib RA yang patut kita renungkan, "Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian."

Di dalam sejarah Indonesia, anak-anak korban perang dan konflik di masa lalu memilih untuk saling memaafkan dan melakukan rekonsiliasi. Tidak terus menerus membawa dendam atas apa yang diperbuat ayah dan ibu mereka. Mereka membentuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), sebagai benih dan wajah perdamaian di negeri ini. Kisah lengkapnya dapat dibaca pada buku The Children of War.

Seorang anak selalu membawa harapan bagi orang tua. Sebuah generasi baru akan menawarkan semangat perubahan dan perbaikan untuk sebuah bangsa. Maka dari itu, pendidikan menjadi sangat krusial. Bagaimana pendidikan yang berkualitas akan membentuk anak dengan karakter yang baik, calon pemimpin masa depan, yang adil dan berintegritas.

Karena memang seyogianya, ilmu pengetahuan mengantar kita kepada kebijaksanaan. Sehingga apabila melihat orang tua yang korup, culas, dan tamak, lebih-lebih diktator, anak yang memiliki kejernihan hati dan akal akan berupaya untuk meluruskan. Tidak melanjutkan keburukan dan kebatilan tersebut. Menghentikan tongkat estafet tercela itu. Bukan malah dengan senang hati membawa semangat keberlanjutan, apalagi mengendarai nepotisme, misalnya.

Walaupun di dalam realita kehidupan, tidak semua anak tumbuh dalam kondisi dan lingkungan yang ideal. Masih ada beberapa keluarga yang kurang beruntung sehingga mendapatkan cobaan yang lebih berat daripada kebanyakan orang. Contohnya seperti keluarga yang memiliki rumah di bantaran sungai yang berada di utara terminal, yang ketika SD, rumahnya itu harus digusur, sewaktu ia bersama ketiga saudara perempuan dan orang tuanya.

Namun, bagaimanapun, jangan sampai seperti Sengkuni, salah satu tokoh di dalam dunia pewayangan yang berada di barisan Kurawa. Tokoh yang suka adu domba itu memiliki masa lalu yang pahit. Ia adalah satu-satunya anak yang bertahan hidup, atau dibiarkan hidup, setelah memakan semua kerabat keluarganya. Sengkuni menjadi perwujudan dari keburukan dan kejelekan.

Seperti yang pernah ditulis dalam bukunya "Ngawur Karena Benar", Sujiwo Tedjo pernah mengusulkan untuk memasang wayang Sengkuni sebagai pajangan, alih-alih Pandawa. Sebagai iling-ilingan, pengingat bahwa ada potensi kejelekan dari dalam diri manusia yang harus senantiasa dilawan. Sebagai simbol bahwa jangan sampai kita menjadi seperti Sengkuni. Jangan sampai menjadi orang yang suka memfitnah, menghasut, dan mencelakakan orang lain.

Mungkin inilah saatnya, ketika di masa lalu, negeri ini memasang foto-foto Puntadewa, Werkudara, atau Arjuna, pihak Pandawa, mulai tahun ini kita akan memasang foto-foto Sengkuni, Duryudana, Dursasena, dan lainnya dari pihak Kurawa. Perwujudan dari anak Pandu Dewanata yang memilih jalan kelicikan dan kemudaratan.

Kembali kepada pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim alaihissalam, yang menghancurkan berhala-berhala yang menjadi sesembahan ayah dan kaumnya. Di jaman sekarang, yang modern ini, berhala-berhala itu telah berupa wujud, bukan lagi sekadar patung-patung dan ukiran-ukiran, melainkan sudah berbentuk kekuasaan, jabatan, harta, feodalisme, dan lainnya (yang membutakan nurani). Orang-orang banyak menyembah apapun perwujudan 'raja', yang dulu bertindak sebagai penerjemah makrokosmos kepada mikrokosmos.

Sehingga, penulis mengajak semua pembaca yang budiman untuk dapat berperan sebagai sang nabi, untuk menghancurkan berhala-berhala negara, yang menghambat terwujudnya janji kemerdekaan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan dalam momen Idul Adha, kita juga seharusnya menjalankan ibadah qurban. Sebagai pengingat kisah ketakwaan dan kesalehan hidup Ibrahim dan anaknya, Ismail.

Salah satu insight menarik dari qurban adalah kata 'qurban' memiliki akar kata yang sama dengan 'qarib' yang berarti dekat. Memang, kalau kita renungkan, semua yang kita jadikan qurban atau kita korbankan adalah sesuatu yang dekat dengan kita. Uang untuk membeli kambing, harta yang didapatkan dari kerja keras, waktu berharga, dan semua yang kita dekat dengannya. Tidak mungkin kita mengorbankan sesuatu yang bukan milik kita. Kalau itu namanya bukan qurban, toh?

Nabi Ibrahim alaihissalam sewaktu mendapatkan wahyu untuk menyembelih Nabi Ismail alaihissalam, orang yang sangat dekat dengan beliau, merupakan suatu ujian apakah bisa merelakan anak yang dicintainya. Bagi kita saat ini, tentu saja ujian semacam itu tidak ada lagi, tetapi pengorbanan yang sama masih mungkin terjadi. Apakah kita siap untuk mengorbankan anak kita untuk bisa memilih hidupnya sendiri?

Pun dari sudut pandang anak, apakah kita siap untuk merelakan ambisi orang tua kita? Dengan memilih jalan perjuangan sendiri. Tidak membawa nama orang tua. Tidak memanfaatkan privilege orang tua. Tentu saja ini terasa berat, apalagi bagi anak yang sedari kecil sudah terbiasa mendapatkan banyak kemudahan-kemudahan berkat orang tuanya yang orang besar atau kaya.

Memang dibutuhkan sebuah kecerdasan dan kebijaksanaan.

Atau secara umum, kita harus membawa semangat Ibrahim dalam diri kita. Seperti ucapan Maulana Jalaluddin Rumi, jika kita belum mampu menyembelih hewan qurban tahun ini, maka sembelihlah sifat sombong dan angkuh dalam diri kita yang selalu merasa benar, selalu merasa pandai dan alim. 

Apa yang saya paparkan pada tulisan ini, sejatinya semua orang yang disebutkan di atas adalah para gibran atau jibran, sebuah nama yang berarti orang yang paling pandai. Nabi Ibrahim alaihissalam adalah orang yang pandai yang dapat menemukan ketuhanan, menghancurkan berhala-berhala, mampu merelakan anak tersayangnya;  Amr ibn Al-Ash juga cerdas karena bisa membawa pasukannya dalam membebaskan Mesir; Abdurrahman ibn Al-Aswad yang banyak meriwayatkan hadis nabi; serta para syuhada putra Al-Harits ibn Qais Al-Sahmi. 

Orang-orang yang pandai, cerdas, pintar yang sesungguhnya adalah siapa saja yang bisa menjadikan ilmunya bermanfaat dan berkah bagi orang lain (lebih-lebih bagi bangsa dan negara), bukan yang dengan kelicikan dan tipu muslihat mengatur siasat demi keserakahan sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Maka kita harus belajar dari para gibran yang sesungguhnya, yaitu orang-orang yang memang pandai.

Sebagai kesimpulan, kembali kepada potongan puisi di awal tulisan ini. Puisi dari Gibran Kahlil Gibran yang saya baca pertama kali tahun 2012 (melalui buku Kisah Lainnya, biografi band NOAH atau Peterpan). Apa yang dapat kita pelajari dari puisi tersebut? Pesan yang menjadi inti dari tulisan ini. Baiknya, para pembaca yang budiman dapat membaca sendiri puisi tersebut. Juga dapat menyimpulkan sendiri maksudnya (apakah related dengan negeri ini?)

Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.
Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.
Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.
Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.
Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.
Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.
Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.
Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang kuat.

Jumat, 24 Mei 2024

Accelerate Your Competence (AYC)


Bagaimana cara mengakselerasi kompetensi dan semangat kolaborasi di internal Fungsi? Pertanyaan itulah yang menjadi pekerjaan rumah tim Accelerate Your Competence (AYC) di awal kepengurusan. Yaitu di tahun 2022, tahun pertama kali tim Agent of Change (AoC) Fungsi dibentuk. Waktu itu AYC baru terdiri dari 5 orang --yakni Restu, Rizal, Welly, Sofi, dan saya. Selayaknya para newbie, kami masih harus belajar banyak hal. Belajar apa sebenarnya program budaya itu. Belajar bagaimana caranya menuntaskan 'amanah' itu.

Hingga akhirnya di penghujung tahun 2023, kami merasa sangat menikmati kebersamaan AYC. Kebersamaan dalam merealisasikan ide-ide. Kebersamaan yang menginspirasi penulisan esai yang Anda baca saat ini. Tulisan ini memuat kisah, perjalanan, lesson learned, hikmah, apapun yang berkaitan tentang program-program 'perubahan' yang sudah dikerjakan oleh kesepuluh anggota tim AYC (Dzikri, Evan, Filbert, Khanif, Rendy, Restu, Rizal, Sofi, Welly, dan saya).

Mbabat Alas di Tahun 2022

Di masa awal AYC, kami coba pahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh Fungsi (needs). Juga kendala apa yang selama ini dihadapi oleh pekerja & mitra kerja (problem). Keduanya harus yang berkaitan dengan nilai Kompeten dan Kolaboratif, bagian dari tata nilai AKHLAK, yang menjadi inti dari stream AYC. Analisa tersebut dijadikan bahan diskusi & brainstorming guna memperoleh daftar program inisiatif yang bisa dilaksanakan sampai akhir tahun 2022. 

Ketika itu kami menemukan kondisi masih adanya silo mentality di dalam internal Fungsi, juga belum adanya sebuah tools untuk memecah mentalitas tersebut, baik dalam hal pengetahuan/informasi maupun keterbukaan operasional. Sehingga hal tersebut menjadi root cause yang coba diselesaikan dengan 'gerakan bersama' yang digagas oleh AYC.

Berdasarkan hal di atas dan kondisi-kondisi lainnya, rapat tim AYC yang pertama kali diadakan pada bulan Juli 2022 itu pun berhasil menelurkan beberapa ide program. Saya harus membuka file-file lama untuk dapat menjelaskan detail program kala itu, sesuai dengan usulan awal, versi kesatu sebelum akhirnya terdapat banyak penyesuaian.

1. Booster

Sebuah program untuk membagikan ulang konten (broadcast tentang IT, materi sharing session, product update dari vendor, dan sebagainya) ke grup-grup WA Fungsi/Unit. Dilakukan minimal seminggu sekali dikoordinir oleh satu orang anggota AoC, dengan tugas memberi caption dan membagikan kontennya ke grup.

2. Compiler

Sebuah program dengan teknis: meminta ke setiap Fungsi di kantor pusat atau unit untuk membuat satu file materi tentang pekerjaan, teknologi terkini, risalah inovasi, atau yang lainnya. Materi-materi tersebut disimpan pada satu portal (e-learning/sharing folder) supaya dapat diakses pekerja IT yang lain. Setiap bulan terdapat 2 materi yang dibuat oleh Fungsi-fungsi secara bergantian.

3. Collaborator

Tujuannya ialah melakukan kolaborasi dan bekerja sama dengan stream AoC Fungsi yang lain (We Are IT Explorer dan 5-Star IT Rating), dengan komunitas digital perusahaan, atau dengan fungsi-fungsi IT lainnya untuk mengadakan workshop atau sharing session. Targetnya 2 bulan sekali diadakan event berbagi pengetahuan.

4. Sandbox

Mengadakan coaching dengan objektif membuat minimal satu project IT. Materi yang disampaikan pada program ini ialah hardskill/softskill, dengan pemateri (coach) berasal dari eksternal. Diadakan selama satu minggu dalam periode setahun.

5. Internship Cross Function

Sebuah program untuk memberi kesempatan bagi pekerja di internal Fungsi untuk dapat belajar (dalam bentuk intership) ke Fungsi lain. Program ini diadakan pertriwulanan.

Dari kelima usulan di atas, berdasarkan hasil diskusi dan musyawarah AYC, disepakati bahwa program yang diajukan ke manajemen adalah Collaborator dan Compiler. Kedua program inisiatif itu dipilih karena melihat resources kami yang hanya 5 orang, juga feasibility dari kemungkinan program akan dapat dijalankan (sampai tuntas).

Setelah sesi presentasi dan challenge session ke manajemen, terdapat perubahan untuk program Collaborator. Beliau menilai bahwa program tersebut tidak tampak dan terkesan kurang menunjukkan eksistensinya. Selain itu dibutuhkan sebuah program baru sebagai ciri khas Fungsi, yang belum ada di Fungsi lain. Diusulkanlah sebuah program sharing session tetapi dengan format yang santai sambil makan bersama. Sesi makan pun diusahakan menggunakan sistem potluck. Konsep yang disampaikan oleh manajemen itu menjadi masukan bagi tim AYC.

Hingga akhirnya ide program BOSS (Berbagi Obrolan Santai Fungsi) lahir. Sebuah program sharing knowledge yang dilakukan oleh pembicara internal atau eksternal kepada seluruh pekerja & mitra kerja Fungsi dengan tema IT maupun non IT, dengan ngobrol santai sambil makan siang. Program BOSS dan AoC Compiler (rebranding dari program Compiler) menjadi 2 program untuk dibahas pada AoC Summit tahun 2022 yang diadakan di Jakarta.

Seperti yang sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya, BOSS merupakan kegiatan sharing session, diperlukan daftar usulan materi dan kira-kira siapa yang dapat membawakan materi tersebut. Serta, karena BOSS adalah sebuah event, maka harus ditentukan tanggal kegiatannya. Beberapa hal itulah yang menjadi pembahasan kami saat kegiatan AoC Summit 2022. Kurang lebih rencana AYC untuk kegiatan BOSS adalah sebagai berikut:
  • BOSS 1 & 2 sudah dilaksanakan saat kegiatan AoC Summit dengan tema financial & interests (hobby);
  • BOSS 3 diusulkan tanggal 14 September 2022 dengan pembahasan "Tips & Trick Continous Improvement Program (CIP)";
  • BOSS 4 pada 12 Oktober 2022 dengan materi Public Speaking;
  • BOSS 5 pada 16 November 2022, diajukan tema Finansial Independent Retire Early (FIRE);
  • Lalu BOSS 6 direncanakan pada 6 Desember 2022 dengan topik "How to be a Good Coach".
Sedangkan untuk teknis AoC Compiler, diputuskan akan menggunakan portal knowledge management (KM) yang sudah ada. Tujuannya supaya pemakaian portal tersebut semakin meningkat. Saat AoC Summit, pembahasan mengenai AoC Compiler hanya berupa pembagian Fungsi kantor pusat dan unit region untuk mengisi materi bulan September sampai Desember. Dari Fungsi-fungsi yang sudah mengunggah materi di portal KM di tiap bulannya, akan dipilih satu materi untuk disampaikan saat kegiatan BOSS.

Kalau dilihat dari timeline BOSS yang sangat padat, harus ada sebulan sekali, ini tidak sesuai dengan 'rencana' AYC yang berjumlah 5 orang. Muncul kekhawatiran tidak akan maksimalnya program tersebut. Syukurlah setelah kegiatan AoC Summit, terdapat tambahan jumlah anggota Agent of Change, termasuk personal baru AYC. Saat itu kami ketambahan 3 orang, yaitu Evan, Sabar, dan Khanif. Sehingga anggota AYC menjadi 8 orang. Dengan masuknya 3 personel baru, dimulailah keseruan AYC.

Dalam pelaksanaan AoC di tahun 2022, kami memiliki sebuah guidance, pedoman, pegangan, yaitu project charter budaya. Di dalamnya berisi latar belakang, tujuan, daftar program, dan timeline. Sebisa mungkin semua stream harus menjalankan program-program sesuai waktu yang sudah ditentukan di dalam project charter. Apalagi itu adalah konsekuensi dari ide yang sudah ditelurkan dan dimatangkan saat kegiatan AoC Summit. Mau tidak mau, meskipun kegiatan AoC dinilai hanya sebatas 'ekstrakurikuler', kami semua harus berkomitmen untuk menyelesaikannya. Waktu itu kami belum memahami bahwa di akhir tahun akan dilakukan semacam penilaian berapa nilai AKHLAK Fungsi kami.

Di dalam AYC sendiri, terdapat sekurang-kurangnya 3 strategi untuk menyukseskan kegiatan BOSS dan AoC Compiler, apa yang kami sebut sebagai kegiatan mbabat alas, mencoba menemukan standarisasi dalam pelaksanannya, supaya di tahun berikutnya, bisa auto-pilot. Tiga strategi yang dimaksud yaitu,

Strategi Pertama, pembagian PIC (Person In Charge) untuk kegiatan BOSS. Karena AYC sudah berjumlah 8 orang dan BOSS tahun 2022 direncanakan berlangsung sebanyak 4 kali, maka masing-masing kegiatan BOSS diperlukan 2 orang PIC. PIC ini tentunya bukan panitia tunggal, melainkan lebih ke menentukan pembagian orang untuk masing-masing jobdesk (meskipun pada akhirnya, pembagian orang-orang yang bertugas itu-itu saja, tanpa ada perubahan berarti). Pembagian tugas inilah yang ternyata menjadikan BOSS lebih 'mature' sampai akhir tahun 2023.

Kalau tidak salah ingat, pembagian PIC untuk kegiatan BOSS 2022 sebagai berikut:
  • BOSS 3: Sofia & saya;
  • BOSS 4: Evan & Welly;
  • BOSS 5: Sabar & Rizal;
  • BOSS 6: Khanif & Restu.
Jika dilihat dari pembagian PIC di atas, dalam satu kali BOSS (selain seri 3) terdapat personel di kantor pusat dan unit region. Selain supaya pembagiannya adil, teman-teman di kantor pusat dan unit bisa saling berbagi gagasan dan aspirasi, dengan melihat kondisi di masing-masing lokasi kerja. Sebab kegiatan akan dilakukan secara hybrid meeting yang diikuti semua pekerja & mitra kerja unit kerja IT di seluruh Indonesia. Contoh aspirasi yang dimaksud adanya pembagian zona waktu, WIB, WITA, WIT, yang membuat kami harus menentukan kapan waktu yang pas dalam pelaksanaan BOSS.

Strategi Kedua, yang paling utama dan amat sangat membantu AYC menyukseskan kegiatan BOSS, adalah pembuatan petunjuk teknis (juknis) berupa file Ms Excel. Saat persiapan BOSS 3, kami menyadari bahwa kegiatan BOSS akan berulang tiap bulannya. Pasti. Maka dari itu, kami menganalisa kira-kira apa saja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Mulai dari booking ruangan, multimedia, penentuan MC, dan lainnya. Kesemuanya merupakan to-do list wajib yang harus disiapkan dan kerjakan saat pelaksanaan BOSS, walhasil kami terpikirkan untuk membuat semacam daftar item to-do list beserta detail penjelasannya. Inilah juknis dari BOSS. Selain itu di dalamnya juga memuat waktu (kapan maksimal item itu harus selesai dikerjakan) dan PIC dari masing-masing item.

Juknis BOSS ini yang selalu menjadi pegangan AYC dalam menyiapkan program sharing session tersebut. Ketika meeting inisiasi ataupun "gerak otomatis", serta koordinasi di group chat selalu mengacu ke dalam pembagian tugas yang ada di dalam juknis. Juknis BOSS, walaupun keliatan sederhana, tapi menjadi aset berharga bagi AYC. 

Strategi Ketiga, membuat desain (khususnya desain poster) yang profesional. Profesional berarti bagus, sesuai tujuan desain, menerapkan teori-teori desain grafis, komposisi warna yang pas, tidak norak, dan yang paling penting sedap dipandang mata. Menjadi bagian dari gerakan anak muda, mengharuskan kami harus melakukan branding ala anak muda. Yaitu mendesain kebutuhan publikasi dengan apik. Mulai dari BOSS 3 sampai yang terakhir, BOSS 9, AYC mempercayakan bagian desain kepada saya. Saya pun akhirnya harus memikirkan dengan matang desain poster kegiatan itu. Riset dan belajar dari desain-desain yang ada di Pinterest menjadi hal yang wajib. Kalau bukan karena AYC, saya mungkin tidak akan pernah se-passionate itu dalam hal desain.

Selain ketiga strategi di atas, sebenarnya ada juga strategi yang lain, contohnya pembuatan formulir feedback kegiatan BOSS, pembuatan rekapitulasi materi AoC Compiler, dan banyak lagi. Mungkin akan saya coba jelaskan sembari menuliskan kisah-kisah AYC di paragraf-paragraf selanjutnya.

Lalu, apabila membahas pelaksanaan program BOSS dan AoC Compiler, 3 dari 4 kegiatan BOSS dapat berjalan sesuai timeline yang ditentukan. Karena satu dan lain hal, untuk BOSS 6 terpaksa harus diagendakan pada tahun 2023. Tetapi ini juga menjadi bukti bahwa meskipun berbeda tahun, AYC masih berkomitmen untuk menuntaskan amanah itu.

BOSS 3, kegiatan official pertama AYC, dengan judul "Jurus Ampuh CIP Mendunia" itu berjalan dengan cukup lancar. 'Cukup' maksudnya tidak benar-benar maksimal. Mungkin karena memang kami belum memiliki gambaran kondisi lapangan dan bagaimana sebaiknya kegiatan sharing session itu, belum lagi dilanjutkan dengan kegiatan makan siang bersama. 

Di bulan berikutnya, BOSS 4 berjudul "Cuap-Cuap Jadi Cuan". Kami mulai mengetahui 'pola' dari pelaksanaan BOSS. Momen yang saya ingat pada kegiatan ini ialah ramainya peserta offline yang hadir. Sangat berbeda saat BOSS 3. Jumlah peserta yang meningkat tersebut berasal dari publikasi yang lebih masif, branding topik yang dibahas --yang lebih menjual, juga kegiatan BOSS yang sudah menjadi bagian dari fungsi kami. Kuantitas tersebut menjadi sebuah tantangan, juga pelajaran berharga. Contohnya dalam hal penentuan berapa banyak makanan yang harus disiapkan.

Kegiatan BOSS terakhir di tahun 2022, yaitu BOSS 5. Setelah seri 3 dan 4 yang diisi oleh pemateri internal, kali ini kami berkesempatan untuk dapat mengundang pemateri dari luar, yaitu Greget Kalla Buana, seorang Islamic Finance Specialist. Tema yang beliau bahas adalah resesi tahun 2023, dan lengkapnya berjudul "Tetap Siaga, Tetap Cuan Di Bayang-Bayang Resesi 2023".

Semua pengalaman saat menjalankan program di tahun 2022 menjadi bekal tim AYC untuk berkreasi di tahun 2023. Pergantian tahun, selain mengharuskan kami untuk menyiapkan ide-ide, juga terdapat sedikit perubahan anggota. Salah seorang personel, yaitu Sabar, tidak lanjut AoC, alhasil dari member 2022 tersisa 7 orang. Menjelang tahun kepengurusan baru, AoC Fungsi kami melakukan penambahan jumlah AoC, untuk AYC sendiri mendapatkan 3 orang baru, yaitu Dzikri, Filbert, dan Rendy. Total anggota AYC pun menjadi 10 orang. Bekal kami menjadi lebih lengkap untuk menyambut semangat perubahan di tahun 2023. Tidak hanya keseruan, sama seperti di awal saya tulisan, tetapi juga kesenangan-kesenangan tercipta dengan tim yang baru.

Bersenang-senang di Tahun 2023: Inisiasi AKHLAK Day

Berbicara mengenai kegiatan AoC tahun 2023, Alhamdulillah AYC dapat melaksanakan semua program 100% sesuai timeline yang ada di dalam project charter. Plus, kami menginisiasi program AKHLAK Day pertama Fungsi. Bagaimana kisah pencapaian tersebut? Semuanya berawal dari ide. Memang, hal terpenting adalah idenya dari kami, sehingga kami benar-benar ingin supaya idenya terwujud. Dari kita, untuk kita (ngomong ama internal AYC)

Sebelum masuk ke pembahasan pencapaian di tahun 2023. Ijinkanlah saya menceritakan kegiatan-kegiatan yang kami lalui terlebih dahulu. Di awal tahun 2023 kami harus melanjutkan pekerjaan rumah tahun 2022 yang tertunda, yaitu BOSS 6. Saat itu tema yang dibahas berbeda dengan apa yang kami rencanakan di awal, karena terdapat masukan dari VP (Vice President) kami, yang sekaligus menjadi pemateri kegiatan tersebut. Tema BOSS menjadi "Melek Analisa Keuangan Fundamental Ala Orang IT".

Kegiatan yang dilakukan tanggal 31 Januari 2023 itu menjadi refreshment dan pemantik api semangat tim AYC, untuk melanjutkan ke-AoC-an di tahun selanjutnya. Bermacam ide dan gagasan kami kumpulkan sebagai bekal untuk dibahas pada kegiatan AoC Summit 2023. Setidaknya ada 4 program kerja yang kami ajukan, yaitu:

1. BOSS+

Kesuksesan di tahun 2022 tentunya menjadikan BOSS kembali untuk diselenggarakan di tahun berikutnya. Tanda 'plus' sebagai penanda adanya peningkatan pada pelaksanaan BOSS, yang merupakan masukan dan evaluasi, seperti lebih sering mengundang pemateri eksternal dan memberikan dana konsumsi untuk semua unit region (tidak hanya di kantor pusat).

2. AoC Compiler

AoC Compiler juga dirasa harus diteruskan sebagai upaya untuk menumbuhkan semangat berbagi pengetahuan di internal Fungsi. Juga, seperti tujuan awal diadakannya program ini yaitu untuk meningkatkan penggunaan portal knowledge management yang sudah ada.

3. Cerdas Cermat

Sebuah program baru dengan format cerdas cermat yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan keilmuan pekerja dan mitra kerja Fungsi. Cerdas Cermat juga akan menjadi parameter penilaian pemahaman nilai-nilai AKHLAK. Materi yang menjadi soal cerdas cermat berkaitan tentang istilah ICT, sistem tata kelola, program budaya, dan informasi lainnya tentang Fungsi kami.

4. Coaching

Teknisnya, akan ada beberapa kelompok coaching yang dipandu oleh seorang coach. Masing-masing kelompok akan membahas tema yang berbeda. Kegiatan ini diadakan tiap tiga bulan sekali.


Keempat usulan program kami bawa ke lokasi AoC Summit. Kegiatan tahunan AoC itu, kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya, karena diadakan di luar kota Jakarta, menjadi awal dari semua keakraban AYC. Kegiatan yang berlangsung selama 2 hari itu menjadi kesempatan kami dalam menggodok ide-ide yang ada. Brainstorming, diskusi, presentasi, semua itu ternyata menyenangkan. Pembahasan BOSS+, AoC Compiler, Cerdas Cermat, dan Coaching menjadi lebih intens karena personel yang membahas lebih banyak daripada tahun 2022. Juga kami sudah memiliki pengalaman dan evaluasi saat menjalankan program-program budaya di tahun sebelumnya.

AoC Summit 2023 itu pun mengerucutkan 2 program, yaitu BOSS+ dan Cerdas Cermat. Kami harus mengeliminasi program Coaching karena terlalu banyak program hanya akan membuat kami kewalahan. Sedangkan AoC Compiler dilebur ke dalam kegiatan BOSS+. Oh iya, Cerdas Cermat memiliki nama baru, berdasarkan usulan dari Mas Rendy, yaitu CCIT, Cerdas Cermat IT. Nama program yang kami gunakan hingga akhir. Sehingga, 2 program tersebut, yang merupakan ide yang berasal dari tim AYC, menjadi wajib untuk dituntaskan.

Kegiatan pertama AYC setelah AoC Summit, mempersiapkan CCIT, mulai dari penentuan tema desain, pengumpulan soal (kami sampai harus membuat bank soal), penentuan teknis dan timeline, juga mempersiapkan pendaftaran peserta. Masih segar dalam ingatan saya, pembahasan teknis CCIT dilakukan di ruang VP kosong yang bersebelahan dengan ruang VP kami. Mungkin itu adalah awal dari semua meeting offline yang membuat AYC menjadi lebih akrab. 

Setelah pembahasan teknis, kami melakukan technical meeting CCIT, yang walaupun dilakukan secara online, AYC pun tetap memilih berkumpul di satu ruangan meeting. Selanjutnya juga sama, saat babak penyisihan pertama, pembahasan soal, serta beberapa kali kumpul internal AYC juga dilakukan secara hybrid (karena masih ada 3 anggota tim yang di unit region).

Ada momen tak terlupakan saat pembahasan soal, kami harus mencari tempat atau ruang rapat secara sembunyi-sembunyi. Kami bahkan insecure sendiri, takut kalau soal yang kami bahas bocor, diketahui oleh peserta CCIT. Sebelum meeting kami memastikan suara kami tidak terdengar dari luar. Ini adalah wujud integritas dan keadilan. Supaya hanya kami yang mengetahui soal-soal yang digunakan saat cerdas cermat.

Di sela-sela waktu mengerjakan CCIT, kami juga harus melaksanakan kegiatan BOSS+. Karena ini adalah program lanjutan dari tahun 2022, kami sudah sedikit autopilot mengerjakannya. BOSS pertama yang dilakukan oleh 10 tim AYC ialah BOSS 7 dengan tema "Mastering Stress Intelligence". Pematerinya berasal dari eksternal, Monica Kumalasari, seorang gesture & micro expression specialist. Pembahasan kegiatan BOSS juga dilakukan secara hybrid, 7 orang tim AYC di kantor pusat lebih memilih untuk kumpul, setelah jam istirahat, daripada harus online.

Berkat frekuensi kumpul AYC yang lumayan sering, kami menjadi tidak segan lagi untuk saling bercanda, ngobrol ngalur ngidul. Efeknya, berkat keakraban yang terjalin itulah ide-ide baru bermunculan. Di luar branding atau gimmick dari program yang sudah direncanakan, kami menjadi memiliki banyak gagasan segar. Salah satunya ialah gagasan tentang AKHLAK Day.

Ide tentang AKHLAK Day tidak serta merta muncul, seperti yang kami laksanakan di bulan September 2023 yang lalu. Melainkan kumpulan dari usulan dan masukan dari banyak pihak, selain dari tim AYC sendiri, yang saling melengkapi pengeksekusian kegiatan tersebut. 

Rencana awal event budaya itu muncul ketika tim AYC berkumpul, berdiskusi bersama, mengevaluasi kegiatan babak penyisihan kedua CCIT yang baru saja dilaksanakan. Di ruang meeting 51B itu kami mulai membahas kegiatan final CCIT yang akan diadakan secara offline. Mulai dari lokasi kegiatan, waktu pelaksanaan, usulan publikasi (sampai akhirnya bisa menggaet media perusahaan), finalisasi teknis, sampai pada anggaran yang dibutuhkan. Pembahasan anggaran inilah yang ternyata menjadi tantangan tersendiri. Program yang awalnya hanya untuk menilai seberapa kompeten pekerja dan mitra kerja Fungsi, ternyata menjadi ajang untuk saling menunjukkan eksistensi antar Fungsi. Alias harus dipikirkan matang-matang pelaksanaannya. Sebab, semua orang di internal Fungsi membahas kegiatan baru AYC ini.

Setelah berdiskusi panjang, menakar kira-kira berapa kebutuhan anggaran pelaksanaan final CCIT, juga mencocokkan dengan budget yang telah disiapkan di awal saat AoC Summit, ternyata masih tidak sesuai kebutuhan. Maksudnya 'kebutuhan' di sini untuk mengakomodir kegiatan final versi maksimal. Berbagai ide bermunculan, beberapa di antaranya seperti mengundang vendor untuk menjadi sponsor kegiatan CCIT, mengadakan event di kantor yang lebih kecil, dan menggabungkan kegiatan final CCIT dengan BOSS 8, yang saat itu memang belum dilaksanakan, sehingga anggaran 2 event tersebut bisa saling disubsidi silang. Ide untuk penggabungan final CCIT dan BOSS itu tiba-tiba membuat kami semua bersemangat. Jadi, selain karena sekali gayung dua-tiga pulau terlampaui, event tersebut menjadi ajang untuk peningkatan nilai kompeten dan kolaboratif, core value AYC, yang belum pernah ada sebelumnya. Sehingga tercetuslah rencana kegiatan AYC (Accelerate Your Competence) Day.

Ide tentang AYC Day tersebut kami bawa ke berbagai forum, baik yang resmi (ketika forum Agent of Change Fungsi) maupun yang tidak resmi (obrolan di meja kerja). Sejak awal AYC tidak menutup diri akan masukan-masukan dari luar tim. Hal inilah yang menjadikan kami lebih matang dalam menelurkan ide AYC Day, termasuk kritikan atas gagasan mengundang pihak ketiga sebagai sponsor atau booth di kegiatan tersebut, juga usulan untuk membuat stan-stan kegiatan AoC lainnya, seperti Bye Fat Be Fit dan SHIFT.  

Nama "AKHLAK Day Fungsi" akhirnya kami gunakan saat presentasi ke manajemen. Gagasan untuk membuat sebuah event budaya, yang juga menjadi showcase untuk kegiatan dan program budaya AKHLAK Fungsi kami. Terlebih lagi supaya kegiatan final CCIT dan BOSS 8 dapat terlaksana dengan baik. Lalu setelah sesi presentasi selesai, selepas kami mengantongi izin dari managemen, kami langsung tancap gas untuk merealisasi ide AYC tersebut.

Mulai dari mencari event organizer, menyeleksi soal-soal untuk digunakan saat final, melakukan rekapitulasi skor babak penyisihan (untuk menentukan siapa 5 tim finalis CCIT), mencari pemateri BOSS plus pembawa acara, berkoordinasi dengan dewan juri dan stream AoC juga komunitas digital, dan persiapan-persiapan lainnya, yang kesemuanya kami lakukan dengan senang dan antusias. Tidak lupa juga saat membahas AKHLAK Day ini tim AYC kumpul di salah satu ruang meeting kantor.

Hingga akhirnya pada bulan September 2023 itu kami berhasil melaksanakan kegiatan AKHLAK Day pertama Fungsi kami. Sangat seru dan berkesan. Kira-kira formatnya seperti ini:

1. Opening Speech oleh VP, pembahasan terkait Cloud Computing dan IT Shifting Mindset;
2. BOSS 8, dengan tema "Digital Leadership: Human and AI Collaborations" oleh Panji Wasmana (National Technology Officer Microsoft Indonesia);
3. Game Cyber Security, oleh master of game Fungsi, yaitu Fahmi;
4. Final CCIT dengan 5 finalis (3 dari kantor pusat dan 2 dari unit region);
5. Doorprize di akhir acara.

Selain itu, kami juga membuat stan/booth yang mewakili masing-masing nilai budaya, yaitu:
  • Amanah: Stream "We Are IT Explorer";
  • Kompeten: Stream kami sendiri, yaitu "Accelerate Your Competence";
  • Harmonis: Stream "5-Star IT Rating";
  • Loyal: Survey kepuasan pelanggan;
  • Adaptif: UMKM Fungsi kami;
  • Kolaboratif: Komunitas digital perusahaan.
Salah satu strategi yang berkesan saat pelaksanaan AKHLAK Day, supaya semua peserta dapat berkunjung ke semua stan, yaitu dengan gamifikasi. Saat registrasi, setiap peserta akan mendapatkan satu kertas yang bertuliskan "Saya ___ (diisi nama sendiri), berkomitmen untuk menerapkan:" dengan 6 kotak di bawahnya. Kotak-kotak inilah yang berisi misi AKHLAK Day. Semua peserta harus mengumpulkan stiker huruf yang menjadi pelengkap kata "AKHLAK" dari 6 stan yang ada. Setelah stiker lengkap, peserta berhak untuk mengikuti undian di akhir acara.
 
Meskipun ada peran rekan-rekan AoC yang lain, seperti dalam penjagaan stan dan perlengkapan juga acara, tetapi 90% persiapan dan eksekusi kegiatan ini dilakukan sepenuhnya oleh tim AYC. Iya, kami bersepuluh. 

Selain to-do list wajib yang disebutkan di atas, tim internal AYC sendiri banyak memberikan sumbangsih dan inisiatif demi terlaksananya kegiatan ini, contohnya yaitu pembuatan desain poster dan video bumper (ini tugas saya, yang hampir-hampir membuat saya stres karena perfeksionisme), pembuatan aplikasi scoring oleh Filbert, penggunaan Meta Oculus di stan AYC (thanks to Mas Rendy), usulan pemateri yang pro dari Khanif (yang satu almamater dengan dia), usulan tema BOSS dari Mas Dizkri (juga inisiatifnya dalam penyediaan stan dan souvenir), teknis dan pengemasan acara dari jagonya sie acara Sofi, waktu yang dikorbankan untuk hadir ke Jakarta (yang sangat berpengaruh pada tim AYC, yaitu Mas Rizal, Restu, dan Welly), juga Evan yang bersedia menyelesaikan semua administrasi event AKHLAK Day.

Saya sangat bersyukur ide AKHLAK Day itu muncul di AYC, yang membuat kami merasakan asyiknya ekstrakurikuler kantor. Karena mulai dari persiapan sampai eksekusinya ide-ide itu menjadi pengalaman yang luar bisa. Apresiasi setinggi-tingginya untuk tim AYC.

Kembali ke pertanyaan awal. Bagaimana ide yang sudah dibuat itu, bisa dieksekusi dan akhirnya dapat terlaksana dengan baik? Menyambung dari pembahasan sebelumnya, bahwa program kerja yang tertulis di dalam project charter hanya akan menjadi tulisan, timeline hanya akan petunjuk kapan kami harus melakukan apa, tanpa adanya eksekusi yang bagus, ide hanyalah sebatas ide, maka itulah tugas saya sebagai koordinator untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Tetapi faktor terbesar tentunya adalah tim itu sendiri. Sebuah tim yang dapat berkolaborasi untuk menjalankan proker tepat waktu. Sekali lagi, apa yang membuat semuanya mau melakukannya? Mungkin salah satunya karena kami menerapkan fun theory. Kami melakukannya karena berkumpul bersama adalah hiburan tersendiri. Bercanda saat meeting offline, ngomong ngelantur, merupakan sarana rekreasi setelah penat dengan pekerjaan.

Memang, hal itu bisa terlaksana karena 7 dari 10 anggota AYC berada di Jakarta, sehingga kami lebih memilih untuk melaksanakan rapat secara offline. Hanya dengan memesan ruang rapat, kami sudah bisa berkreasi tanpa batas. Saya ingat kami pernah ditegur oleh salah seorang peserta meeting di ruang sebelah, karena kami sangat 'ramai'. Ya, memang tidak ada yang bisa menjamin rapat anak-anak muda seperti meeting orang tua yang serius. Tentu saja porsi bercanda lebih banyak. Setelah teguran itu kami berpindah ruangan. Mengingatnya membuat saya ingin tertawa.

Seperti yang pernah saya tulis di blog sebelumnya (baca lebih lengkap: Son Isol Production: Game Studio Pertama dan Fun Theory), mengutip dari Ian Bogost, fun theory tidak akan berhasil tanpa adanya komitmen. Kami mungkin sangat menyukai kumpul AYC, tapi kami juga sangat serius untuk bisa menyukseskan semua kegiatannya.

Selain untuk bersenang-senang, melaksanakan strategi yang sama dengan tahun 2022, strategi lainnya untuk men-seratuspersen-kan timeline di project charter budaya, ialah membuat laporan/evidence untuk setiap kegiatan. Mulai dari babak Cerdas Cermat IT (CCIT), yaitu Babak Amanah 1, Babak Amanah 2, serta kegiatan BOSS. Hal ini menjadikan semua administrasi dan dokumentasi AYC menjadi lebih rapi, yang juga membuat kami dapat memonitor pelaksanaan program-program menjadi lebih baik.

Hal yang sama juga kami lakukan untuk program kerja terakhir kami di tahun 2023, yaitu BOSS 9. Kali ini kami mencoba hal yang baru, yaitu menggunakan format talkshow. Tema yang dibahas yaitu enterpreneurship. Judul lebih lengkapnya "Punya Bisnis? Tetapi Tetap Perform di Pekerjaan Apa Bisa?"

Sehingga, ketika kami melakukan evaluasi dan refleksi, 100% eksekusi program di tahun 2023 masih sama dan sesuai dengan ide yang kami presentasikan saat AoC Summit. Konsisten dan tepat waktu. Bahkan kami pun menginisiasi kegiatan AKHLAK Day di fungsi. Tentu saja kegiatan tersebut tidak akan berjalan tanpa bantuan dari stream AoC lain dan dukungan para manajemen.

Itulah serangkaian kisah AYC di tahun 2023, mungkin ada banyak hal yang belum bisa saya tuliskan, beberapa di antara tentu saja (hanya) menjadi core memory di otak saya. Hikmah-hikmah yang muncul tentu menjadi pelajaran berharga untuk kemudian hari.


Istirahat di Tahun 2024

Kalau boleh jujur, seharusnya AoC tidak hanya sekadar menjalankan program kerja, tetapi melihat ini sebagai ikhtiar jangka panjang, yang hasilnya akan dirasakan di tahun-tahun mendatang. Sesederhana membawa pertanyaan "apa yang ingin diubah?" Dalam kasus AYC, kami ingin mengubah silo mentality yang ada di dalam internal Fungsi, melalui program-program yang kami susun. Tentunya tidak semua program harus diperlakukan seperti melaksanakan pekerjaan, bukan? Harus ada sedikit pendekatan fun. Maka dari itulah di tahun 2022-2023 kami menjadikan tools yang bernama BOSS, AoC Compiler, CCIT untuk meningkatkan kompetensi dan semangat kolaborasi.

Pergantian kepengurusan ternyata memberikan sedikit efek kepada AYC. Selain karena petunjuk teknis program budaya di tahun 2024 berbeda dengan tahun 2023, entah apa maksud lainnya dari pembina AoC, sehingga terdapat perombakan total pada stream-stream yang ada. Mau tidak mau, AYC harus vakum, menjadi stream bayangan. Orang-orangnya masih menyimpan semangat "Accelerate Your Competence", tetapi secara formal sudah terpecah ke stream-stream yang baru. Program seperti BOSS, AoC Compiler, dan CCIT, apalagi AKHLAK Day, bukan lagi menjadi milik AYC. AoC Compiler dan CCIT bahkan tidak ada lagi yang mau melaksanakan. Warisan CCIT yang tersisa hanya akun quizizz yang masih digunakan oleh tim AoC. 

Hal-hal itulah yang menjadikan AYC tidak eksis lagi di dalam Surat Perintah (SP) AoC Fungsi. Tidak masalah. Toh, yang penting WA Group-nya masih aktif. Semangat ber-AYC juga pernah kami sampaikan saat AoC Summit 2024, apa saja ide dan gagasan kami untuk menyambut program kerja AoC 2024, yang ternyata hanya sebatas ide dan gagasan. Berbeda dengan tahun 2022-2023, waktu kami bersenang-senang dalam membesarkan AYC, di tahun 2024 kami harus beristirahat. Tetapi saya yakin, teman-teman AYC yang lain masih bersemangat di stream yang baru.

Tambahan: Sebuah Ide

Di WA Group AYC, pascavakum, saya pernah mengusulkan sebuah ide. Accelerate Your Competence bertransformasi (AYC 2.0) menjadi sebuah forum komunikasi (forkom) Agent of Change Fungsi ICT di Holding dan Subholding. Forkom tersebut masih membawa core value AYC, yaitu kompeten dan kolaboratif. Adanya AoC di fungsi ICT masing-masing entitas menjadi sebuah peluang untuk dapat berkolaborasi dalam peningkatan kompetensi pekerja dan mitra kerja. Dan usulan program AYC 2.0 tersebut adalah CCIT (Cerdas Cermat IT). Ini juga mengakomodir ide kami untuk menjadikan CCIT sebagai event besar tahunan, yang juga dapat diikuti oleh pekerja & mitra kerja subholding. Setelah ditiadakannya CCIT secara formal dari project charter budaya tahun 2024. Apa yang saya sebut sebagai beyond AoC. AoC harus berpikir menembus batas-batas yang ada. Apabila memang CCIT tidak ada secara formal di internal Fungsi, apabila memang ingin untuk diteruskan, maka harus mencari cara yang lain. Sehingga AYC 2.0 itulah yang saya usulkan.

Begitulah kira-kira perjalanan kurang lebih 2,5 tahun AYC di Fungsi kami. Selanjutnya saya akan menuliskan di esai yang terpisah, apa-apa saja hal yang saya pelajari ketika merealisasikan ide-ide bersama AYC. Salah satunya sudah saya temukan judulnya, yaitu "AYC adalah Guru Saya." Tulisan-tulisan tersebut tidak bermaksud apa-apa, selain untuk mengapresiasi kesembilan tim AYC (selain saya), yaitu Dzikri, Evan, Filbert, Khanif, Rendy, Restu, Rizal, Sofi, dan Welly. Juga sebagai ikhtiar keabadian, supaya kisah AYC ini dapat menjadi harta karun hikmah yang dapat kita temukan di masa depan. 

Sayang sekali rencana kita untuk foto bareng di studio masih belum terlaksana, Gengs.

Minggu, 24 Maret 2024

Agent of Wisanggeni (AoW)


Sebuah Gerakan (movement) sepatutnya harus memastikan semua orang di dalamnya memiliki semangat yang sama. Semangat itu bisa saja berwujud idealisme, visi, dan mindset. Hal yang akan menjadikan para anggota pergerakan memiliki sense of belonging, rasa saling memiliki, memiliki anggota, memiliki program, memiliki gerakan itu sendiri. Mengutip pepatah, "Jika ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri, tetapi apabila ingin berjalan jauh, maka berjalanlah bersama-sama," yang harusnya menjadi kesadaran bersama oleh semua anggota sebuah gerakan untuk mencapai tujuan secara kontinu.

Di dalam praktiknya, gerakan yang berwujud komunitas, organisasi, perkumpulan, baik swadaya maupun korporasi, mempunyai satu-dua leadership (pemimpin). Kondisi untuk memiliki kesadaran dan pemahaman seperti yang dituliskan di atas, tidak otomatis dimiliki oleh semua anggota. Inilah peran dari para pemimpin gerakan, untuk menyuntikkan values yang dapat menyatukan gerakan. Apapun tujuan dari gerakan itu dibentuk, rasa persatuan, kebersamaan, bahkan kekeluargaan harus menjadi fokus utama, bagi siapapun yang memiliki dominasi. Entah dominasi secara formal (adanya Surat Keputusan, untuk menjabat) maupun dominasi yang didapatkan dari kepercayaan orang lain (people choice).

Para pemimpin di dalam sebuah gerakan juga semestinya dapat memastikan: pertama, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Nilai ini akan membawa semangat rela berkorban ke dalam sebuah gerakan. Sebab, masing-masing anggota merasa bahwa status mereka sama, apabila terdapat hak dan kewajiban, pun berasa seimbang. Khususnya bagi sebuah gerakan non profit, yang dapat dibilang sebagai ekstrakurikuler di dalam suatu perusahaan.

Apa sih memangnya yang dicari, selain goal yang ingin dicapai bersama? Sehingga tidak muncul 'sekat' antara kelompok elit dan non-elit. Semua orang merasakan berada di posisi yang sama. Implementasi dari semangat ini adalah suara, gagasan, dan pendapat semua anggota didengar dan menjadi sangat penting. Tidak didominasi oleh arahan top-down (dari para pemimpin) yang membuat para anggota pergerakan tidak nyaman. Semakin banyak ide yang berasal dari anggota (bottom-up), menunjukkan bahwa perasaan saling memiliki (sense of belonging) dan semangat perbaikan (improvement) sudah tertanam atau terbentuk di dalam tim.

Kedua, eksekutor program seharusnya orang yang punya ide. Ide merupakan manifestasi dari kreativitas manusia. Selama manusia masih memiliki pemikiran jernih, ide akan terus diproduksi. Menurut David O'Hara, profesor Universitas Augustana, ide didefinisikan sebagai pemikiran atau opini yang terbentuk sepenuhnya, alhasil tidak akan pernah habis. Namun, apabila bicara tentang ide-ide yang berguna, ide-ide besar atau penemuan baru, David menjawab hal itu mungkin saja habis ataupun hilang. Sehingga, di dalam suatu gerakan, ide itu harus diperlakukan dengan baik dan benar.

Ide akan menjadi senjata makan tuan bila tidak didukung oleh tools yang baik. Contohnya saat orang-orang yang membahas ide itu tidak menyiapkan langkah-langkah bagaimana merealisasikannya. Ide-ide yang tercipta hanya akan menjadi batu pengganjal dari keberlangsungan suatu gerakan, komunitas, perkumpulan. Mirip seperti sebuah angan-angan kosong. Tak tahu cara mewujudkannya. Apalagi jika ide itu hanya akan menjadi tumpukan daftar pekerjaan rumah sebuah gerakan atau komunitas. Maka dari itu, untuk mencegah hal tersebut terjadi, dalam konteks organisasi yang berbentuk gerakan bersama, sebaiknya orang yang membahas ide adalah yang akan mengeksekusi program.

Program yang muncul dari ide-ide yang dibahas bersama, katakanlah saat Focus Group Discussion (FGD), akan menjadi lebih baik jika dirumuskan oleh para eksekutor. Sebab, akan didapatkan hasil dengan tingkat feasibility dan possibility lebih tinggi. Karena memahami kondisi-kondisi untuk merealisasikannya. Mungkin bisa menganalisa dengan pendekatan SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat).

Ketiga, lebih baik kalah saat latihan tetapi menang ketika perang. Kalah bisa menjadi kondisi sementara maupun permanen. Tergantung dari apa-apa saja yang termasuk ke dalam status kalah. Pun di dalam realitas kehidupan, kalah tidak selalu menjadi sebuah konsekuensi. Ia juga menjadi opsi, menjadi pilihan aksi. Contohnya adalah mengalah. Di dalam sebuah gerakan, hal paling sulit tentunya menyatukan banyak kepala. Jadi ketika terjadi perbedaan pendapat di dalam sebuah diskusi, bagi anggota yang bijak, ia akan lebih memilih untuk mengalah, mundur dan tidak meneruskan kemelut dan perdebatan. Meskipun ia tahu ia benar.

Ketika semua anggota sudah merasa memiliki gerakan, mereka juga yang akan mengeksekusi ide-idenya, sekarang waktunya memiliki kesadaran bahwa hal terpenting adalah eksistensi, keberlangsungan, keberlanjutan gerakan tersebut. Tidak ada yang lebih utama daripada itu. Apalagi gerakan yang memiliki visi mulia, semangat perubahan misalnya. Jadi, kembali ke case perbedaan pendapat, sudah cukup bagus bagi siapa saja yang lebih mementingkan nilai-nilai bersama, alih-alih menuruti ego. 

Namun, terkadang, bagi sebagian orang, aksi mengalahnya tidak hanya sebatas pasrah dan rida, tetapi memilih tidak terlibat sama sekali dalam proses eksekusi ide. Alasan paling utama adalah tak lagi menemukan kecocokan idealisme dan semangat dengan pimpinan sebuah gerakan atau yang memiliki dominasi. Sikap ksatria untuk mundur dari pusaran arus dan mesin penggerak komunitas. Seperti Bung Hatta yang memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden. Karena kecintaan kepada Indonesia yang tak ingin terpecah lagi pasca kemerdekaan.

Keempat, keabadian tidak bisa bergantung kepada kesementaraan. Pemerintah itu sementara, tetapi rakyat itu abadi. Bentuk gerakan itu sementara, sedangkan nilai-nilai yang diperjuangkan itu abadi. Menyadari adanya dikotomi ini akan sangat berguna bagi para anggota sebuah gerakan. Mana yang termasuk ke dalam keabadian, mana yang termasuk kesementaraan. Rakyat akan tetap menjadi rakyat, siapapun presidennya, pemerintahnya. Sehingga tidak mungkin rakyat yang bergantung kepada pemerintah. Pemerintah-lah yang 'butuh' kepada rakyat.

Nilai-nilai luhur tidak tergantung oleh siapa yang memperjuangkannya. Contohnya nilai kejujuran, tak peduli siapa yang akan membawa misi, bahkan jika tidak ada orang jujur sekalipun di dunia ini, nilai kejujuran tetap akan ada, tidak akan hilang. Korelasinya di dalam sebuah gerakan, semua anggota harus menyadari bahwa kita bersifat replaceable, dapat digantikan oleh siapa saja. Sehingga menjadi sebuah kebanggaan jika kita yang 'terpilih' untuk dapat berikhtiar dan menyurihkan jalan atas gagasan-gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai. Sebuah pemahaman yang dapat membakar semangat bersama. Kita juga harus berupaya supaya generasi penerus dapat membawa tongkat estafet perjuangan tersebut.

Saya pribadi punya kesan tersendiri terkait konsep kesementaraan dan keabadian ini, yang menyangkut komunitas yang selama 2 tahun ini saya ikuti. Yaitu tentang stream yang ada di dalam komunitas tersebut. Stream lama yang harus dibubarkan. Organisasi di dalam komunitas harus dirombak kembali, menyesuaikan dengan petunjuk teknis (juknis) dari fungsi SDM. Bagi saya stream yang sebelumnya terbentuk merupakan hal yang 'abadi', merupakan ciri khas dari fungsi tempat saya bekerja. Sedangkan juknis dari fungsi SDM bersifat sementara, hanya berlaku satu tahun. Tahun depan pasti juknis itu akan diperbarui lagi. Lantas, apakah stream baru, yang telah dibentuk dengan mengorbankan stream lama itu, harus dibubarkan lagi di tahun depan? Menyesuaikan dengan juknis baru. Menurut saya itu hanya akan menguras tenaga dan pikiran anggota komunitas. Kapan semuanya dapat berjalan auto-pilot karena proses yang sudah mature? Ibaratnya, seharusnya sudah berlari lebih kencang, tetapi malah harus belajar merangkak lagi.

Begitulah kira-kira apa-apa saja yang seharusnya dipastikan oleh para pemimpin supaya dapat dimiliki oleh anggota-anggota pergerakan. Kendati demikian, fleksibilitas dan art of leadership tetap diperlukan. Tulisan di atas hanyalah bertujuan sebagai penambah kiat-kiat dan usulan-usulan. Mau dilakukan atau tidak, balik lagi kepada pribadi masing-masing. Tentu pemahaman ini saya dapatkan berdasarkan pengalaman saat menjadi pemimpin di beberapa organisasi, sejak SMA, sampai kuliah, bahkan di masyarakat. Apa yang saya sebut sebagai harta karun waktu. Hikmah yang tersembunyi dari banyak pengalaman.

Namun, tulisan ini belum berhenti sampai di sini. Di dalam perjalanan manusia, selain memunculkan nilai-nilai, semangat gerakan, hubungan sosial kemasyarakatan juga menelurkan banyak budaya. Bibit-bibit globalisasi, pasca ditemukannya berbagai alat transportasi darat, laut, udara, juga menyumbang penyebaran budaya. Salah satunya yang berkembang di Indonesia. Yaitu persebaran agama Hindu. Dan produk yang dihasilkan adalah munculnya pewayangan jawa. 

Pewayangan jawa, yang mengambil cerita dari Kitab Ramayana dan Mahabharata itu, telah menjadi bagian dari masyarakat jawa. Sedikit banyak mempengaruhi dialektika, filosofi, kerangka berpikir orang-orang, yang tentunya berimbas pada ragam bentuk sebuah pergerakan. Sehingga hal inilah yang mendasari pembahasan pewayangan jawa untuk dapat dimasukkan menjadi bagian dari tulisan Agent of Wisanggeni (AoW) ini.


Pewayangan Jawa

Nilai filosofis Pewayangan Jawa seharusnya sudah diajarkan kepada peserta didik, mulai dari SD, SMP, SMA, sampai masa kuliah. Tidak seperti selama ini. Hanya terbatas pada pemberian informasi tentang nama-nama negeri berikut siapa tokoh-tokoh wayang yang menjadi pemimpinnya. Seperti yang sekarang tertulis di dalam buku-buku Pepak Jawa. Contohnya seperti Gatotkaca yang memimpin Pringgodani. Atau negeri asal Pandawa, Astina. Hafalan-hafalan yang dilakukan peserta didik selama ini hanya menciptakan kekosongan nilai-nilai yang ditawarkan cerita pewayangan. Padahal cerita pewayangan jawa kaya akan nilai-nilai filosofis ke-jawa-an yang terkenal luhur. "Wong Jawa sing ilang jawa-ne, Orang Jawa yang kehilangan jawa-nya" sebuah fenomena yang muncul dewasa ini, salah satunya, mau tidak mau adalah konsekuensi dari kurangnya pendidikan wayang.

Tapi perlu dicatat, meskipun ia mengangkat budaya jawa, tidak menutup kemungkinan dapat diajarkan kepada anak-anak dari daerah di luar jawa. Atau kepada siapapun, tanpa ada batasan. Fokus utamanya adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diajarkan bersifat universal. Hal yang sama seperti pendidikan filosofi (filsafat). Filsafat barat maupun filsafat timur yang bukan produk asli Indonesia saja bisa dipelajari, apalagi filosofi yang terkandung pada cerita pewayangan jawa. Kisah yang sudah diasimilasi ke dalam budaya Indonesia, terdapat penyesuaian dari cerita asli Mahabharata atau Ramayana. Melalui budaya carangan, misalnya.

Sehingga, menurut hemat saya, pewayangan jawa, sudah sepatutnya mulai harus dibumikan dan dipagi-siangkan dengan cara-cara yang lebih baru. Dan yang terpenting, lebih sering. Seperti yang pernah dilakukan oleh Raden Ahmad Kosasih melalui pembuatan komik-komik Mahabharata. Atau pembuatan novel bercerita wayang, seperti karya Ardian Kresna dan Seno Gumira Ajidarma. Apalagi bila mengacu kepada nilai-nilai yang akan ditawarkan. Kaya sekali. Manfaat sekali. Tulisan ini pun diharapkan dapat menjadi alternatif, sebuah cara sederhana untuk mempromosikan pewayangan jawa sebagai sumber nilai-nilai dan kreativitas berpikir, yang mana didapatkan dari kisah-kisah wayang yang ada.

Misalnya, kisah tentang Abimanyu yang mati muda di dalam peperangan, dapat menjadi sumber inspirasi patriotik. Kisah tentang kesetiaan Karna kepada sang guru, bisa menumbuhkan rasa hormat siswa kepada para pendidik. Cerita tentang Ekalaya yang dibunuh oleh Sri Kresna memberikan hikmah untuk selalu waspada dan tidak 'mengendurkan pertahanan'. Pun juga kisah tentang Wisanggeni putra Arjuna, yang menjadi topik tulisan ini. Spirit Wisanggeni membara, sesuai namanya 'geni', menjadi inspirasi bagi sesiapa yang saat ini diamanahi sebagai anggota sebuah gerakan. Agen-agen perubahan. Pionir-pionir pengorbanan. Iron stock bagi negeri.

Sebelum membahas lebih detail tentang Wisanggeni dan pesan moral pada tulisan ini, kalau boleh ijinkanlah saya sedikit bernostalgia. Perkenalan saya dengan dunia wayang, tentunya juga berasal dari pelajaran Bahasa Jawa saat SD, tetapi ketertarikan untuk mendalami 'cerita' Mahabharata, Ramayana, dan produk carangan, tumbuh pasca lulus SMA, tepatnya masa-masa menunggu kuliah (tahun 2012). Saya sangat terkesan dengan semua tokoh atau karakter wayang. Waktu itu terdapat daftar nama-nama wayang di dalam suatu halaman Wikipedia, secara sabar saya baca satu persatu melalui hyperlink yang ada pada daftar tersebut.

Entah karena memang masa-masa menuju kedewasaan itulah yang membuat saya haus akan 'kebijaksanaan' atau sesederhana suka membaca rubrik Wayang Durangpo di koran Jawa Pos. Hal yang pasti, manfaat wayang, selain yang sudah saya jelaskan pada paragraf sebelumnya, ialah wayang dapat digunakan untuk menangkap gejala dan kondisi yang ada di masyarakat. Apa yang sudah ditangkap itu lalu diturunkan menjadi bentuk-bentuk kritik, pendidikan moral, bagi bernegara dan berbangsa. Karena wayang, apalagi dengan adanya carangan, menawarkan sebuah paket penokohan dan karateristik yang dapat dipasangkan dengan kehidupan kita. Sehingga bisa related dengan pengalaman, kisah, romansa, sosial-politik, apapun. Tokoh-tokoh baru, yang tidak ada di dalam kitab asli Mahabharata, seperti Semar dan anak-anaknya pun menambah kekayaan potensi wayang untuk dapat menggambarkan kondisi rakyat Indonesia.

Dalam kisah saya, perjumpaan dengan Bambang Wisanggeni, anak dari Arjuna dan Dewi Dresnala, merupakan sebuah momen berharga. Dan apabila ditanya, siapa tokoh pewayangan favorit saya, tentu jawabannya adalah Wisanggeni. Gambarnya saya gunakan untuk foto profil beberapa akun media sosial. Semata-mata sebagai bentuk kekaguman saya terhadap para pujangga yang sudah 'menciptakan' tokoh ini. Wisanggeni seperti halnya, para ponokawan, adalah tokoh asli Indonesia. Tak akan ditemui di dalam cerita asli Mahabharata, karya Krishna Dwaipayana Byasa dari India itu.

Kelahiran Wisanggeni tidak pernah diharapkan karena ia adalah anak dari seorang manusia, Arjuna, dengan bidadari kahyangan, Dewi Dresnala. Terdapat juga versi Wisanggeni kecil yang menjadi korban kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga. Sehingga ketika ia lahir, masih jabang bayi, ia dibuang oleh sang kakek, Batara Brama. Ada juga yang menceritakan bahwa sang kakek lah yang memaksa Dewi Dresnala untuk menggugurkan kandungannya. Jadi Wisanggeni kecil belum 'utuh'. Karena bayi itu dianggap sebagai sebuah aib, ia lalu dibuang ke dalam Kawah Candradimuka di Gunung Jamurdipa. Api yang membakar tersebut, bukannya membunuh Wisanggeni, malah menghidupkannya, menjadikannya ksatria yang kuat. Sakti mandraguna.

Wisanggeni memiliki karakter yang kuat, jujur, ringan tangan, rela berkorban, mungkin disebabkan ia mewarisi gen Pandawa. Namun Wisanggeni adalah sosok yang angkuh. Seperti yang digambarkan pada bentuk wayangnya, kepalanya tidak menunduk seperti wayang protagonis yang lain. Menurut saya ini menggambarkan ungkapan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sebuah simbol dari perjuangan dan semangat pergerakan, yang mengusung nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Hal yang juga telah kita bahas bersama di paragraf awal tulisan ini.

Selain itu, Wisanggeni juga dikisahkan sebagai seorang yang urakan, apa adanya, selalu menggunakan bahasa jawa ngoko, tidak pernah berbicara dengan bahasa jawa krama, kecuali kepada Sanghyang Wenang. Ini mengingatkan saya kepada salah satu gerakan underrated yang mungkin baru pertama kali didengar. Gerakan Djawa Dipa. 

Sebuah gerakan yang lahir di Surabaya, 11 Maret 1917, dengan gagasan yang dicetuskan oleh Tjokrosoedarmo. Gagasannya yaitu menghilangkan feodalisme-kolonialisme yang terdapat pada bahasa jawa. Para anggota gerakan itu beranggapan bahwa penggunaan bahasa jawa krama kepada para priayi, bangsawan, bahkan kepada pemerintah kolonial Belanda, hanya akan terus menerus mengawetkan penjajahan dan sikap tidak adil oleh para raja. Sehingga ide mereka adalah menghilangkan bahasa jawa krama dan diganti dengan jawa ngoko untuk pembicaraan sehari-hari kepada semua orang. Mereka beralasan bahwa bahasa jawa ngoko lebih banyak digunakan oleh masyarakat umum, seperti para petani, buruh, sipil. Lewat gagasan 'penyetaraan' bahasa itu, Djawa Dipa memiliki slogan "Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa".

Apa yang menjadi inti perjuangan Gerakan Djawa Dipa tercermin pada tingkah laku Wisanggeni. Sang putra Arjuna itu merupakan lambang perjuangan atas kesetaraan-keadilan, bentuk lugu yang tidak memiliki kepentingan apapun, selain memang berkorban bagi kepentingan bersama. Filosofi itulah yang tentunya harus diajarkan kepada orang-orang, anggota-anggota pergerakan, agen-agen perubahan. Juga keputusan sadar untuk menerapkan perasaan ikhlas tanpa pamrih. Itulah sebaik-baik gerakan.

Orang-Orang Kalah

Kita berpindah dari satu kekalahan, menuju kekalahan berikutnya. Kekalahan adalah makanan kita sehari-hari. Satu kemenangan hanyalah jeda dari kekalahan selanjutnya. Kalah berarti tidak menang, kehilangan, merugi, tidak lulus, kekurangan, tidak besar, tidak kuat, atau semua kondisi, yang menyebabkan kita harus menerima tidak tercapainya ekspektasi-ekspektasi kita, tidak terwujudnya harapan-harapan kita, tidak terpenuhinya semua rencana, yang sudah disusun dengan baik. Kalah, tentu saja, juga bisa berarti posisi belum melakukan apapun. Hanya sebuah kondisi yang kita pilih, untuk kemenangan yang lebih besar di kemudian hari, seperti yang sudah saya jelaskan pada bab sebelumnya.

Kenyataan pahit yang mengiringi sebuah kekalahan, tentunya akan menguatkan kita. Satu per satu hikmah akan bermunculan. Dalam konteks sebuah gerakan, kekalahan itu bisa berupa tak lagi adanya semangat berjuang di dalam internal komunitas. Bila bercerita tentang Gerakan Djawa Dipa, gerakan tersebut hanya bertahan selama 5 tahun. Digagas pada tahun 1917, dan harus 'mati' di tahun 1922, ditandai dengan tak lagi menerbitkan buletin gerakan. 

Djawa Dipa, yang hanya bertahan sampai tahun kelima, mengingatkan kita tentang kisah Abimanyu yang kalah di medan perang Batarayudha. Tentara Kurawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai pemuda itu jatuh dari kudanya dan terjerembap ke tanah, lukanya arang kranjang (banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata menancap di tubuhnya. Ia tak mampu lagi bergerak. Dan mati muda di tengah formasi perang Kurawa. Begitulah wayang yang related dengan gerakan Djawa Dipa.

Apa yang terjadi pada Djawa Dipa tidak menutup kemungkinan akan dirasakan oleh gerakan-gerakan lain, apalagi jika semua yang sudah dituliskan di atas, atau langkah-langkah yang lain, tidak dilakukan oleh para pemimpin gerakan. Ya, memang, waktu yang akan menjawab. Waktu juga seperti pedang, akan menebas siapa pun yang tidak dapat bertahan. Tetapi juga dapat menyatukan lebih lekat orang-orang yang telah mengerti hakikat sebuah gerakan.

Kekalahan pun juga dapat kita lihat dalam skala nasional, lewat pesta demokrasi yang telah kita lalui di bulan februari lalu. Demokrasi dan budi pekerti yang telah kalah oleh berbagai macam kecurangan dan tipu muslihat. Namun kondisi ini menciptakan dua kutub, persimpangan jalan, yang sangat bertolak belakang. Bagi pihak yang kalah secara terhormat, ia telah memenangkan keadilan, demokrasi, akal sehat, nilai-nilai luhur. Bagi pihak yang menang dengan cara-cara yang tak bermartabat dan tak beretika, sejatinya ia telah mengalahkan dan mematikan keadilan, demokrasi, akal sehat, dan nilai-nilai luhur.

Lalu muncul pertanyaan, apakah kekalahan dan kemenangan itu telah disiapkan, by design? Seperti kisah Bambang Ekalaya, seorang ksatria yang harus mati akibat skenario dunia pewayangan.

Alkisah, Bambang Ekalaya mendatangi Astinapura untuk menantang Arjuna. Ada asap, ada api. Tantangan hidup atau mati itu disebabkan oleh kelancangan Arjuna kepada istri Ekalaya. Sebagai seorang suami, tentu saja ia tidak akan rela jika istrinya dilecehkan dan digoda oleh pria lain. Bahkan jika dia seorang Pandawa sekalipun. Bambang Ekalaya adalah seorang ksatria yang sangat kuat dan terlatih sehingga ia percaya diri untuk menantang Arjuna.

Kacap kacarita, duel itu berlangsung sengit dan Arjuna mati di tangan Ekalaya. Sri Kresna yang tahu kejadian itu, tidak tinggal diam. Arjuna adalah salah satu prajurit yang akan berperang di pertempuran hebat Batarayudha, sehingga ia tak boleh mati terlebih dahulu sebelum perang itu dimulai. Maka Sri Kresna menghidupkan Arjuna alias Janaka tersebut. Ditambah, Sri Kresna berniat membunuh Ekalaya, supaya ia tak lagi dapat mengancam Arjuna. Sang jelmaan dewa itu mengetahui bahwa Bambang Ekalaya selama ini berguru kepada patung Durna yang ia buat sendiri. Sehingga Sri Kresna membuat tipu muslihat, dengan menyamar sebagai patung sang guru. Hingga ia dapat membunuh Bambang Ekalaya.

Petaka yang terjadi kepada Bambang Ekalaya, sehingga ia harus mati demi skenario Batarayudha, sedikit banyak menjadi lamunan saya. Apakah memang di dalam kehidupan ini, yang namanya konspirasi itu memang ada? Terdapat tangan-tangan yang tak terlihat, yang menjalankan segala cara, bahkan yang tercela sekalipun, supaya tujuannya dapat tercapai. Mengorbankan banyak hal. Termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Entahlah. 

Kekalahan Bambang Ekalaya, tidak bisa hanya menjadi angin lalu, tetapi harus menjadi sebuah pengingat bahwa integritas, harga diri, dedikasi itu harus dibawa sampai mati. Serta konsekuensinya juga, kita tidak bisa menghalang gerakan-gerakan perubahan yang muncul akibat kecurangan dan ketidakadilan yang diperlihatkan secara gamblang itu.

Setelah 'pengorbanan' Bambang Ekalaya, lalu kita berpindah kepada wayang yang menjadi topik tulisan ini, yaitu Wisanggeni. Ia pun kalah di dalam kehidupannya. Berdasarkan skenario wayang, meskipun ia sangat kuat dan sakti, sampai-sampai pernah mengobrak-abrik kahyangan, ia tidak diperbolehkan mengikuti perang Batarayudha. Diramalkan apabila ia ikut perang, kubu Pandawa malah akan mengalami kekalahan. Sehingga ia berkorban dengan melaksanakan moksa. Hilang dari bumi nuswantoro, demi kemenangan tentara Pandawa. Ia memilih untuk kalah, demi kemenangan yang lebih besar. Sebuah kebebasan dan kemerdekaan yang mengantarkan kepada perubahan dunia pewayangan.


Kemerdekaan Agen-Agen Perubahan

“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri,” ujar Pramoedya Ananta Toer. 

Saya membayangkan bagaimana jadinya jika seorang agen perubahan tidak memiliki kemerdekaan atas pemikirannya sendiri, tidak memiliki kebebasan bersikap, malah lebih memilih untuk tunduk kepada arahan-arahan atasan. Apa yang dapat diubah apabila memiliki mental seperti itu? Seorang agen perubahan harus memiliki kesadaran utuh bahwa perannya yang amat sangat penting itu, harus dimulai dari kemerdekaan diri sendiri, sehingga dapat melahirkan banyak action yang memiliki dampak, mempunyai pengaruh.

Apabila agen perubahan berada di dalam sebuah komunitas, saran saya, seperti yang telah kita bahas bersama, alangkah baiknya memiliki 4 kesadaran berikut:

  1. duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,
  2. eksekutor program seharusnya orang yang punya ide,
  3. lebih baik kalah saat latihan tetapi menang ketika perang,
  4. keabadian tidak bisa bergantung kepada kesementaraan.

Dengan begitu, selain merdeka, agen-agen perubahan juga memiliki value compass yang akan mengantarkan kepada tercapainya tujuan-tujuan. Karena sekali lagi, sebuah gerakan itu berbeda dengan organisasi lainnya, sebuah gerakan menekankan kepada rasa saling memiliki antar anggota dan nilai-nilai yang diusung.

Agen-agen perubahan juga dapat belajar dari kisah-kisah pewayangan jawa. Dengan mencari nilai-nilai filosofis yang memiliki korelasi dengan berjalannya roda organisasi. Menyambungkannya dengan nilai-nilai (core value) yang dibawa. Dalam hal ini, agen-agen perubahan dapat memilih siapa tokoh wayang yang memiliki kesamaan pandangan, sifat, dan gagasan. Apakah Abimanyu, Ekalaya, Karna, Sengkuni, atau yang lainnya. Tidak ada batasan. Pilihan-pilihan itu menggambarkan kebebasan yang telah direbut. Kemerdekaan berpikir dan bertindak yang telah diraih.

Sebagai kesimpulan, tulisan ini menawarkan kepada semua agen perubahan untuk dapat menjadi Agent of Wisanggeni (AoW), yang ringan tangan, apa adanya, rela berkorban, dan yang terpenting siap kalah untuk kemenangan yang lebih besar. Bersedia menjadi "bahan bakar" supaya semangat perubahan itu tetap menyala seperti api.