Senin, 01 Januari 2024

Perubahan Kecil, Tetaplah Perubahan

Perubahan


Mengenang masa saat menjadi mahasiswa, ada satu hal yang saya syukuri, yaitu pernah menjadi bagian dari perubahan. Lebih jelasnya seperti ini, ketika saya mendapatkan amanah sebagai Direktur (ya sebutannya memang Direktur) salah satu BSO (Badan Semi Otonom) pembinaan rohani di kampus, saya berkesempatan untuk dapat mengumpulkan rekan-rekan kadep (ketua departemen) PSDM (Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa) himpunan mahasiswa dari semua jurusan untuk hadir dalam sebuah forum diskusi.

Berlokasi di sekber (sekretariat bersama) di depan laboratorium robot kampus, kami membahas program mentoring yang menjadi salah satu program kerja wajib BSO saya. Gagasan awal mengundang rekan-rekan Kadep untuk memberikan image mentoring yang 'baru' kepada mereka. Mengapa baru? Karena saat saya masih menjabat staf muda, mentoring dianggap menjadi sebuah kegiatan yang sangat 'ekslusif' dan diikuti oleh orang-orang yang taat beragama saja. Mentoring hanyalah sebuah kegiatan yang dapat 'diabaikan' dan tidak mendapatkan dukungan penuh dari para pengurus ormawa (organisasi mahasiswa). Sehingga pada kesempatan diskusi tersebut, saya ingin mengusulkan supaya mentoring dan pengaderan maba (mahasiswa baru) dapat selaras dan saling melengkapi. Diskusi itu pula menjadi awal dan pengenalan bahwa BSO kami memiliki semangat baru dan siap berkolaborasi dengan himpunan mahasiswa. 

Gayung pun bersambut, para kadep PSDM menerima usulan saya dengan antusias. Mereka juga menganggap bahwa sudah waktunya mentoring menjadi bagian dari pengaderan jurusan. Apalagi melihat branding yang dilakukan BSO saya di Facebook, mereka akhirnya melihat eksistensi mentoring. Ide-ide baru pun muncul, lalu akhirnya kami menyepakati bersama bagaimana konsep dan teknisnya di lapangan. Tidak lupa juga saya menyampaikan hasil diskusi itu kepada para staf di internal BSO. Sehingga kami semuanya, BSO dan PSDM Himpunan bisa berkomitmen bersama untuk melaksanakannya dengan baik, menjaga kepercayaan satu sama lain. Guna mencapai hasil dari perubahan yang kami susun.

Perubahan di atas, yaitu usaha untuk mengubah image dan bentuk mentoring menjadi lebih baik hanyalah satu dari banyak perubahan yang saya usahakan di BSO yang saya pimpin. Saya tidak ingin terlalu berfokus untuk membahas capaian-capaian itu semuanya di tulisan ini, tetapi ijinkanlah saya untuk sedikit menyampaikan ide dan pandangan tentang arti perubahan. Apa dan bagaimana. Juga, sebenarnya apa yang dapat membuat saya berani untuk mengumpulkan rekan-rekan kadep PSDM untuk membuat perubahan bagi mentoring. Saya akan coba paparkan di sini. Sehingga dapat menjadi catatan, pengingat, pelajaran, khususnya untuk saya pribadi. Syukur-syukur juga bagi para pembaca yang budiman. Sembari menyambut tahun 2024.

Agent of Change

Ketika berbicara mengenai perubahan, pasti di dalam kepala kita otomatis memikirkan arti perubahan positif, yaitu perubahan ke arah atau kondisi yang lebih baik. Bukan sebaliknya. Sehingga, hal yang sama juga ingin saya coba ajak ke pembaca yang budiman, untuk kita sepakati. Kita hanya akan membahas perubahan-perubahan "yang memiliki arti positif".

Perubahan bisa menjelma menjadi banyak kata, shifting, transformasi, improvement, reformasi, revolusi. Banyak sekali. Dan kenyataannya, perubahan tidak bisa kita hindari. Contohnya di era sekarang, gempuran teknologi memaksa kita untuk dapat berubah, menyesuaikan diri, beradaptasi. Tidak hanya berubah, tetapi (harus) berubah secara masif. Banyak perusahaan harus melakukan shifting ke arah digital, melakukan transformasi supaya tetap menjaga eksistensinya. Entah mulai dari pemasaran, pencatatan laba-rugi, publikasi, atau bahkan sampai ke merubah produk dan proses bisnis. Semuanya diubah agar dapat tetap 'untung'. Para pekerja pun dituntut untuk dapat terus melakukan perubahan dengan continous improvement, meningkatkan value diri, jika tidak ingin tertinggal, atau bahkan tergantikan oleh robot dan kecerdasan buatan. 

Namun dalam kenyataannya perubahan itu tidak selamanya dapat diterima oleh banyak orang. Banyak yang lebih memilih status quo, kondisi stagnan. Perubahan memang benar-benar harus diusahakan. Itulah peran Agent of Change (AoC). Di dalam contoh saya di atas, mahasiswa memiliki peran sebagai AoC, sehingga rekan-rekan praktisi pengaderan menyambut gagasan saya, karena mereka sadar ketika melakukan pengaderan ke mahasiswa baru, juga harus didasari dengan pembinaan rohani yang baik. Perubahan itu harus didapatkan dari tools dan kegiatan yang baik. Sekali lagi, para aktivis kampus, dan juga saya saat itu menyadari peran kami sebagai AoC. 

Tentu kita ingat, saat pelaksanaan ospek kampus dan ospek jurusan, di dalam lagu-lagu perjuangan mahasiswa, kita diajarkan bahwa mahasiswa memiliki beberapa peran. Seperti iron stock, social control, dan agent of change. Karena kali ini kita membahas tentang perubahan, maka kita berfokus pada peran sebagai AoC. Dan peran sebagai AoC tersebut tidak harus lepas ketika kita telah lulus kuliah. Malah sesungguhnya semangat perubahan itu harus selalu melekat pada diri. Kita tidak harus, secara formal, menjadi AoC terlebih dahulu untuk melakukan banyak perubahan. Karena kembali lagi perubahan itu adalah keniscayaan. Lebih baik lagi jika kesadaran akan hal tersebut kita tingkatkan, menjadi kesadaran bahwa kita juga bisa mengubah orang lain dan lingkungan sekitar, apabila dirasakan terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki.

Dengan begitu, konsep AoC akhirnya banyak digunakan di dalam perusahaan, masyarakat, organisasi, komunitas, LSM. Katakanlah seperti di suatu perusahaan, yang memiliki nilai inti atau core value, baik itu turunan dari arahan pemerintah maupun hasil pemikiran perusahaan itu sendiri, AoC memiliki peran untuk melakukan perubahaan dengan menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat menjadi budaya positif. Dengan harapan dapat meningkatkan performansi dan mencapai ekspektasi perusahaan.

Perubahan

Di dalam masyarakat juga sama, contohnya para pengurus dan anggota Karang Taruna. Mereka adalah agen-agen perubahan. Pengalaman saya saat menjadi Ketua Karang Taruna tingkat RW, kami tidak hanya sekedar menjadi panitia dari kegiatan yang dikonsep oleh (bapak-bapak) pengurus RW, tetapi kami dapat merumuskan program kami sendiri. Tentu saja program yang sesuai dengan kebutuhan kepemudaan dan warga kampung. Apalagi saat itu saya memilih pengurus-pengurus yang masih mahasiswa. Mereka memiliki pengalaman sebagai agent of change di kampus. Semangat dan idealisme mereka sangat berguna bagi pengembangan kampung. Untuk dapat memberikan perubahaan bagi masyarakat.

Maka dari itu, peran AoC menjadi vital di dalam kehidupan. Mereka adalah agen 'secara resmi' maupun orang-orang yang secara sadar harus membuat perubahan. Lalu, bagaimanakah seharusnya AoC itu bekerja?

Perubahan dari Dalam Diri

Berbicara mengenai pengaderan mahasiswa baru (atau ospek) seperti di awal tulisan ini, saya teringat salah satu kegiatan di kampus yang menjadi 'momok' bagi panitia, yaitu flooring. Flooring adalah kegiatan berupa forum diskusi untuk memaparkan konsep pengaderan dari panitia kepada para mahasiswa senior dan pengurus ormawa. Mengapa menjadi momok? Karena biasanya flooring dilakukan di malam atau diri hari. Tensinya sangat tinggi. Menegangkan. Dan saya memiliki satu kenangan yang tak terlupakan saat mengikuti flooring. Yaitu ketika ada salah seorang mahasiwa senior menyampaikan pendapat yang menurut saya cukup tajam, juga sangat tepat sasaran. Dengan nada tinggi, dia berkata, kurang lebih kalimatnya seperti ini, "Sebelum kalian (para panitia) melakukan pengaderan dan mengajarkan nilai-nilai A-Z, apakah semua panitia sudah memiliki nilai-nilai tersebut?"

Saya yang mendengarkan pertanyaan itu rasanya seperti terpukul dan langsung tersadar. Benar juga. Analoginya seperti seorang dosen yang mengajar mata kuliah kepada mahasiswa, yang pasti beliau sudah sangat memahami apa yang diajarkan, sehingga ilmu tersebut dapat dipahami oleh anak didiknya. Begitu pula dengan nilai-nilai, entah itu tanggung jawab, kedisplinan, kejujuran, dan lainnya. Para panitia pengaderan harus memiliki terlebih dahulu sebelum 'mengajarkan' nilai-nilai tersebut kepada mahasiswa baru.

Saya lupa apa yang selanjutnya terjadi di dalam forum flooring tersebut, tapi yang saya ingat, semua panitia ospek kampus sepakat untuk mengikuti tata tertib yang mereka wajibkan kepada mahasiswa baru, tanpa kecuali. Termasuk potong rambut gundul bagi panitia laki-laki. Padahal, seingat saya ketika menjadi mahasiswa baru dan peserta ospek, saya tak melihat satu pun panitia ospek laki-laki yang gundul. Ini adalah salah satu perubahan kecil tetapi memiliki dampak yang besar. Di dalam proses menuju hari H ospek, panitia mencoba untuk juga dapat menerapkan nilai-nilai yang menjadi indikator keberhasilan pengaderan itu.

Pertanyaan senior saat proses flooring itu saya jadikan iling-ilingan atau pengingat sampai sekarang. Sebuah bentuk evaluasi diri saat saya menjadi panitia berbagai kegiatan, staf himpunan mahasiswa, dan pemimpin BSO juga Karang Taruna. Intinya apa yang saya usahakan, nilai-nilai yang menjadi inti dari organisasi harus slalu dijaga. Inilah kesadaran diri. Itulah yang menurut hemat saya, perlu dimiliki oleh semua agent of change. Kesadaran diri untuk menerapkan nilai-nilai terlebih dahulu, sebelum membawa gagasan akan nilai-nilai tersebut. Dan khusus untuk AoC, berarti semangat perubahan-lah yang menjadi kunci. Bagaimana perubahan itu harus dimulai dari dalam diri. Jujur, sepertinya ini terlihat sepele, tapi amat sangat susah untuk dikerjakan.

Namun, kembali lagi, perubahan diri sekecil apapun masih dapat dilakukan dan menjadikan AoC lebih baik dari sebelumnya. Karena memang, seperti yang pernah saya sampaikan kepada para mentor binaan BSO saya, bahwa sejatinya mentoring itu bukan mengajar para mentee, melainkan momen bagi mentor untuk belajar. Jadi intinya sama-sama belajar, sama-sama memperbaiki diri, atau mengutip filosofi dari tarbiyah, saling tumbuh dan mengembangkan. Hal ini juga dapat dijadikan kesadaran bagi para AoC, apabila kita membawa sebuah nilai budaya, maka kita juga harus berusaha menjadi yang pertama, role model untuk menerapkan nilai tersebut. Kita tidak boleh membatasi diri, status quo atau stagnan.

Status Quo

Lalu, untuk menambah keindahan dari pembahasan perubahan ini, saya teringat dua buku yang sangat bagus. Saya merekomendasikannya kepada para pembaca yang budiman. 

Buku pertama adalah "Educated" karya Tara Westover. Buku yang berjudul "Terdidik" dalam terjemahan bahasa indonesia ini merupakan sebuah memoar dari sang penulis. Tara bercerita masa kecilnya yang tidak mengikuti kegiatan sekolah atau belajar-mengajar formal, dia hanya mendapatkan pengajaran dari Ayah dan Ibunya. Tara belajar matematika dan ilmu pengetahuan lainnya hanya dari orangtuanya. Lalu, muncul rasa penasaran, kesadaran dari dalam dirinya. Bahwa ia harus mendapatkan pelajaran (edukasi) yang lebih, sehingga dapat memutus kebodohan dan kepercayaan akan takhayul yang dipercayai Ayahnya. Dia melihat bagaimana rasanya tumbuh di dalam keluarga yang seperti katak dalam tempurung. Hingga dia mendapatkan kesempatan untuk dapat mengikuti ujian masuk perguruan tinggi dan dapat diterima. Tara akhirnya bisa menjadi seorang profesor dan menulis buku yang menginspirasi jutaan orang.

Buku kedua merupakan sebuah novel berjudul "The Rent Collector" atau "Sang Penagih Sewa", ditulis oleh Camron Wright. Novel ini adalah salah satu novel yang bisa membuat saya meneteskan air mata, saking menyentuhnya. Novel yang mengisahkan sebuah keluarga kecil yang tinggal di dalam tempat pembuangan sampah, yang tetap harus membayar uang sewa. Kisah ini menjadi inspirasi untuk perubahan, ketika Sang Ly, ibu dari anak yang berusia 16 bulan, memiliki harapan untuk menjadikan hidup keluarga mereka menjadi lebih baik. Dia memiliki kesadaran bahwa harus belajar membaca dan menulis supaya dapat mendidik anaknya agar menjadi orang yang sukses. Sang Ly pun meminta tolong kepada sang penagih sewa, Sogeap, untuk mengajarinya baca-tulis. Okey, saya tidak akan bercerita lebih banyak, biarlah para pembaca yang budiman untuk membaca sendiri novel tersebut.

Pesan dari dua buku tersebut adalah tentang perubahan, yang berawal dari kesadaran diri sendiri, juga harapan untuk bisa menjadi lebih baik. Kita tidak pernah tahu perubahan kecil yang kita lakukan akan berdampak apa di masa depan. Hal terpenting ialah tetap memasang sense of change dimanapun, kapanpun, dan jadi apapun kita.

Networking

Networking atau jejaring pertemanan disebut-sebut sebagai kunci (solusi) dari berbagai urusan. Dengan kenal banyak orang seakan menjadikan hidup menjadi lebih mudah. Hal ini mungkin sudah pernah kita buktikan sendiri di dalam kehidupan. Contohnya ketika dulu sewaktu di kampus, kita sedang memiliki permasalahan terkait satu mata kuliah, karena akrab dengan senior, kita akhirnya boleh berguru kepadanya sehingga permasalahan kita dapat teratasi. Atau saat di dalam kehidupan dewasa, kita memiliki permasalahan dengan perpajakan, ternyata ada salah satu teman yang kerja di Dirjen Pajak yang bisa membantu. Memang se-powerful itu memiliki banyak relasi.

Networking juga ada hubungannya dengan perubahan. Di dalam cerita saya di awal, mengapa saya berani untuk mengumpulkan rekan-rekan kadep PSDM, padahal sebelum-sebelumnya BSO saya tidak pernah melakukannya. Hal ini karena kami saling mengenal, bahkan dengan para ketua himpunan. Para kadep PSDM (dan ketua himpunan serta staf ahli lainnya) mayoritas adalah mantan panitia pengaderan, yang saya kenal sewaktu masih jadi staf muda (atau tahun kedua di kampus). Kami tahu rasanya berjuang bersama saat mempersiapkan ospek kampus. Mereka mau saya ajak untuk berdiskusi membahas mentoring, karena mengetahui bagaimana saya saat ikut dalam kepanitiaan ospek. Pertemanan yang dibangun oleh para panitia ospek tidak bisa dianggap remeh, karena kami sudah diminta menginap bersama selama 2 minggu sebagai persiapannya. Sehingga tidak hanya pertemanan, tetapi juga rasa saling memiliki (sense of belonging) demi integralistik mahasiswa kampus. Pertemanan itulah yang ternyata membawa banyak manfaat bagi saya dalam memimpin BSO pembinaan selama satu tahun. Menyebabkan banyak perubahan yang bisa saya lakukan.

Selain dengan para pengurus ormawa, saat saya menjabat sebagai direktur, saya berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga hubungan dengan para stakeholder. Berusaha untuk mengenal semua mentor yang dibawahi BSO. Sering mengajak mantan direktur BSO sebelum-sebelumnya untuk melakukan sharing session (sehingga kenal 5-6 direktur BSO di atas saya). Juga sering menghadap ke dosen pembina dan Wakil Direktur Kampus untuk membahas masalah mentoring. Dan banyak lagi. Intinya perubahan yang kami capai semuanya berkat dukungan dari para stakeholder.

Sehingga, bagi siapa saja yang menjadi agent of change, baiknya networking dapat dijadikan prioritas untuk dapat dilaksanakan. Misalkan bagi AoC di suatu perusahaan, networking itu bisa dibangun bersama antar fungsi atau direktorat. Contohnya dengan mengadakan kegiatan bersama, forum diskusi membahas masa depan perusahaan. Lalu di dalam change management juga networking bisa menjadi katalisator perubahan. Orang-orang yang kita kenal tentu saja dapat membantu untuk dapat menyebarkan nilai-nilai budaya yang sedang dikampanyekan.

Lalu berkaitan dengan teknologi informasi (IT), jika kita mencoba mengambil hikmah dari networking atau teknologi jaringan, perubahan itu dapat dianalogikan sebagai sebuah data. Data itu bisa ditransmisikan dari satu komputer ke komputer lain, bahkan yang berbeda benua sekalipun, melalui jaringan internet. Bagaimana data itu bisa terkirim, tentunya tidak lepas dari layer-layer yang dilewatinya. Mulai dari layer network access, internet, transport, sampai application. Sama seperti perubahan yang kita lakukan, untuk bisa sampai ke tujuan, kita harus melewati banyak layer. Layer di sini dapat berupa birokrasi, publikasi, prosedur, apapun. Intinya perubahan itu harus terencana dengan baik. Sama seperti saat mengirimkan data, harus tahu alamat IP (internet protocol) yang dituju, saat melakukan perubahan pun harus mengetahui apa yang menjadi tujuan.

Di dalam ilmu jaringan komputer kita mengetahui bahwa terdapat infrastruktur jaringan yang harus selalu dijaga. Seperti router, switch, load balancer, firewall, IDS, access point, dan banyak lagi. Semuanya saling terkoneksi supaya pengguna dapat mengakses data yang dibutuhkan. Analogi tersebut sangat related dengan perubahan, seperti yang dibahas tadi, bahwa hubungan dengan stakeholder harus selalu kita jaga. Mungkin sama seperti topologi jaringan, siapa saja stakeholder kita harus didefinisikan di awal, relasi antar stakeholder seperti apa, seberapa berkualitas dan berpengaruhnya dengan perubahan yang akan kita usung. Analogi-analogi lain juga dapat kita temukan di dalam jaringan komputer untuk meningkatkan sense of change.

Jadi, baik networking dalam definisi jejaring pertemanan maupun jaringan komputer, keduanya sangat penting bagi perubahan. Dan semoga ini dapat kita jadikan catatan penting, bagi sesiapa yang menjadi agent of change

Tumbuh dan Berkembang

Butterfly Effect

Kepakan sayap kupu-kupu di hutan Jawa secara ajaib dapat menyebabkan badai di hutan Amazon. Tiupan angin di gurun Sahara entah bagaimana caranya dapat menyebabkan hujan lebat di benua Amerika. Hal-hal yang terjadi, secara acak ternyata mampu menyebabkan efek yang besar. Para ahli menyebutnya dengan istilah Butterfly Effect. Mengacu kepada OxfordLanguage, (in chaos theory) the phenomenon whereby a minute localized change in a complex system can have large effects elsewhere. Di dalam teori kekacauan, butterfly effect merupakan fenomena saat perubahan kecil yang terlokalisasi dalam suatu sistem yang kompleks dapat mempunyai dampak yang besar di tempat lain.

Butterfly effect berbeda dengan domino effect. Perbedaannya terdapat pada proses mendapatkan dampak. Kalau domino effect, dapat dijelaskan proses sebab-akibatnya, sedangkan butterfly effect tidak. Ini dikarenakan sifatnya yang acak dan kompleks. Contohnya ketika kita menjadi seorang pegawai di suatu perusahaan multinasional, kita sangat tekun dan berdedikasi sehingga hasilnya kita dapat mencapai karir yang tinggi. Ini merupakan contoh dari domino effect. Tapi karena kita merasa bahwa kita ingin menginspirasi banyak orang, kita sering membagikan kegiatan-kegiatan kita di LinkedIn. Tiba-tiba saja, karena asyiknya bersosialmedia, kita memberikan satu komentar yang tidak pas. Komentar tersebut seperti bola salju dan meledak, menjadikan karir kita pupus di tengah jalan. Inilah contoh dari butterfly effect.

Meskipun terminologi butterfly effect muncul di dalam teori kekacauan, tetapi banyak orang yang mengiyakan bahwa fenomena ini dapat digunakan untuk efek yang positif. Sehingga saya masukkan fenomena ini ke dalam tulisan tentang perubahan.

Setelah mengetahui bahwa perubahan itu adalah suatu hal yang tak bisa dihindari. Maka kita harus mulai memikirkan kira-kira apa yang harus diubah dalam diri kita. Tidak perlu yang besar, cukup yang kecil. Karena perubahan sekecil apapun, tetaplah perubahan. Kita tidak pernah tahu dampak besar apa yang akan kita dapatkan di masa depan. Ya, semoga saja hasil yang baik. Hal terpenting, niat untuk berubah itu adalah niat yang baik dan tulus. Misalkan ketika memutuskan untuk menulis ini, saya ingin memulai untuk terus menulis sepanjang tahun, minimal satu bulan sekali. Dengan begitu, siapa tahu dapat memberikan inspirasi dan hikmah bagi kita semua. Namun, tidak perlu sebesar itu, dengan aksi kecil saya ini, saya hanya ingin menitipkan pesan kepada saya di masa depan. Untuk selalu tetap berjuang. Bersabar dan bersyukur.

Jadi, untuk menyambut tahun baru ini. Apa yang ingin kita ubah?