Sabtu, 10 Februari 2024

Memenangkan Indonesia

Sang Pendidik


Ingatan saya melambung ke momen 13 tahun yang lalu, pada tahun 2011, di sebuah taman di Surabaya, saat sesi Forum Group Discussion bersama para "guru" dan "murid" Sekolah Peradaban (SP) BEM ITS. Salah satu guru SP, (maaf, Mbak, saya lupa nama Mbak) berpendapat bahwa pemimpin terbaik adalah seorang wanita (ibu). Di usia itu, saya meragukan pendapatnya.

Sehingga pernyataan Mbak BEM ITS itu menjadi oleh-oleh untuk dibawa pulang, untuk saya renungkan di hari-hari berikutnya. Lalu akhir-akhir ini, ketika kenangan itu muncul lagi, saya mendapatkan hikmah dari kata-kata tersebut. Terlepas apa maksud asli dari kalimat Mbak BEM, menurut saya: wanita tidak boleh hanya dipandang sebagai seorang makmum yang tidak mungkin bisa menjadi imam, melainkan harus dilihat juga sebagai madrasah pertama bagi anaknya. Al ummu madrasatul ula. Jadi, wanita dapat menjadi pemimpin terbaik, sebab bakat alaminya dalam mendidik. Ini adalah penghargaan tertinggi bagi seorang wanita.

Lalu, mengutip ucapan salah seorang yang bijak, "Seorang pemimpin itu nature-nya adalah pendidik. Dan seorang pendidik itu nature-nya adalah pemimpin." Kita tahu Ir. Sukarno, Ki Hajar Dewantara, Jenderal Sudirman, dan para pemimpin negeri ini adalah seorang pendidik. Jadi, memang benar bahwa pemimpin terbaik ialah yang mendedikasikan hidupnya untuk mendidik. Atau seperti yang disampaikan oleh Mbak di atas, pemimpin terbaik adalah seorang yang selembut, penyayang, welas asih, seperti seorang ibu. Maka kemampuan mendidik tidak bisa disepelekan dalam hal kepemimpinan.

Tentu saja kita bisa mengamini pernyataan tersebut, kita bisa melihat orang-orang yang selama ini kita jadikan panutan, mungkin bapak-ibu manager di kantor, ketua organisasi kampus, atau bahkan ketua RW di kampung, mereka semua menjadi pemimpin terbaik bagi kita, karena juga dapat memberikan pelajaran dan hikmah. Baik melalui lisan maupun perbuatan, teladan. Apabila terdapat seorang pemimpin, yang tutur katanya baik, mengayomi, mengedepankan keadilan-kesetaraan, apalagi berorientasi kepada pendidikan, maka otomatis kita akan memberikannya nilai 100. Semua itu (lagi-lagi) karena seorang pendidik, adalah orang yang bertindak menggunakan hati. Hati satu dengan yang lainnya akan mudah terhubung. Hakikatnya seperti itu.

Sehingga, dalam skala yang lebih luas, tingkat nasional misalnya, kita memerlukan seorang pemimpin yang juga menjadi kompas, mercusuar, membawa kemana bangsa ini akan menuju. Kalau saya pribadi, akan menjadikan parameter siapa yang bisa menjadikan negara "a learning nation" dan membawa pendidikan menjadi perhatian utama untuk memajukan bangsa. Tentu hal ini juga akan menjadi pertimbangan bagi siapa saja, bagi ayah, bagi ibu, yang ingin melihat anak-cucunya mempunyai pemimpin yang shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan amanah), dan fathonah (cerdas). Bangga dengan para pemimpin yang fotonya dipajang di ruang-ruang kelas sekolah.

Lalu, selain harapan yang kita sandarkan kepada para pemimpin, kita juga bisa terus menyuarakan gagasan tentang pentingnya pendidikan. Mungkin dengan hal-hal sederhana, seperti berkontribusi pada donasi buku-buku bacaan. Mengapa buku? Ya karena, meskipun dengan terbuka-lebarnya informasi di internet, kita tidak bisa memungkiri bahwa buku masih menjadi sarana utama pendidikan. Apalagi faktanya bahwa tidak semua anak Indonesia mendapatkan akses buku yang sama. Fasilitas perpustakan dan taman baca di desa-desa tidak selengkap yang ada di kota. Harga buku di jawa dan di luar jawa juga memiliki perbedaan yang sangat besar.

Matano Membaca

Berbicara terkait donasi buku, pada tahun 2016, kami, BPM Brotherhood berkesempatan untuk dapat berkontribusi bagi negeri. Bekerjasama dengan Patriot Energi di daerah Matano, kami menggagas program "Matano Membaca". Sebuah program untuk menyalurkan buku-buku bagi anak-anak di desa sekitar Danau Matano, Sorowako, Sulawesi Selatan. Tentunya pengalaman berharga tersebut menjadikan saya dan teman-teman di BPM Brotherhood menjadi semakin aware kepada pendidikan. Bahkan, jujur, ketika lulus kuliah, saya sempat berpikiran untuk mendaftar sebagai seorang Pengajar Muda (PM), istilah para guru yang dikirimkan ke pelosok-pelosok negeri, di desa-desa terpencil, pada program Gerakan Indonesia Mengajar (GIM). Tapi sayangnya tidak kesampaian.

Masih related dengan buku, saya mempunyai novel-novel rekomendasi kepada para pembaca budiman. Novel pertama, yaitu novel karya Andrea Hirata, berjudul "Guru Aini". Sebuah kisah yang akan menginspirasi, tentang seorang guru yang tidak berputus asa dalam mengajar seorang anak didik supaya bisa ahli dalam pelajaran matematika. Selanjutnya ada novel terjemahan dari Jepang, "Dua Belas Pasang Mata" karya Sakae Tsuboi. Menceritakan seorang guru yang harus bersepeda puluhan kilo untuk sampai ke sekolah, tidak diterima oleh para orangtua murid, dan rintangan lainnya. Novel ketiga, yaitu "The Rent Collector" atau "Sang Penagih Sewa", ditulis oleh Camron Wright. Novel yang mengisahkan sebuah keluarga kecil yang tinggal di dalam tempat pembuangan sampah. Sang ibu memiliki kesadaran bahwa harus belajar baca-tulis supaya dapat mendidik anaknya agar menjadi orang yang sukses.

Kesimpulannya, inti dari pembahasan perihal pendidikan ini adalah untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Meritokrasi

n. sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya

Bagi insan-insan terdidik yang diberikan akal dan kecerdasan, ada baiknya kita memiliki critical thinking. Berinteraksi di media sosial tidak dengan lugu, tak menelan mentah-mentah semua konten yang muncul di timeline, di beranda, di FYP, di Reels kita. Jangan disetir oleh algoritma. Kita harus bisa memilih dan memilah informasi dengan baik. Tak melulu harus setuju dengan apa yang menjadi fanatisme kita. Mungkin saja dari berbagai gimmick yang muncul, terdapat banyak kemudharatan di belakangnya. Tentu kita akan merugi apabila ternyata hasilnya tidak sebaik yang kita bayangkan.

Algoritma tidak akan pilih kasih kepada siapa ia berjalan. Algoritma tetap algoritma. Bukankah jika kita berinteraksi dengan satu postingan, entah itu memberikan like atau komentar, atau reply, atau repost, maka media sosial kita akan dipenuhi rekomendasi postingan sejenis? Apa jadinya apabila yang muncul adalah informasi-informasi yang tidak benar dan bahkan penggiringan opini?

Berbicara terkait gimmick, sekarang kita banyak melihat bungkusnya saja yang menarik, tetapi secara substansi kosong. Padahal seharusnya kita mencari mana yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan bangsa dan negara. Ini seperti peribahasa jepang, 花より団子(Hana yori dango) yang memiliki makna "lebih baik sesuatu yang bermanfaat daripada yang indah dan enak dilihat."

Sehingga, usulannya adalah kita berpikir secara rasional dalam bermedia sosial. Apalagi jika kita menggunakan aplikasi itu untuk menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin kita, menjadi pemimpin bagi bangsa ini. Arti kata "rasional" versi KBBI: menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal. Dan bila kita preteli kata rasio, akan lebih mudah karena rasio berarti "hubungan taraf atau bilangan antara dua hal yang mirip; perbandingan antara berbagai gejala yang dapat dinyatakan dengan angka".

Ya, intinya berpikir rasional adalah melakukan perbandingan. Apa yang dibandingkan? Kompetensinya, prestasinya, rekam jejaknya, gagasan yang dibawa, cara berpikir, cara membuat keputusan, bagaimana menerima kritikan, bagaimana mengatasi permasalahan. Dan kita harus adil sejak dalam pikiran. Tak boleh melakukan cherry picking. Tapi, kembali lagi, ini hanyalah sebatas usulan.

Para pembaca yang budiman tentu memiliki pertimbangan sendiri dalam memilih pemimpin. Itu adalah hak setiap orang. Hal terpenting kita tidak menyesal, sebab penyesalan itu selalu ada di akhir.

Indonesia di Tanganmu!

Kita, para pemuda seharusnya membaca buku tulisan Prof. Dr. Subroto yang berjudul "Indonesia di Tanganmu!". Buku setebal 140-an halaman itu seakan-akan seperti wejangan seorang kakek kepada cucu-cucunya untuk menyambut Indonesia Raya 2045. Prof. Subroto menyampaikan pesan-pesan positif agar kita bisa memberikan sumbangsih terbaik bagi bangsa ini. Para pemuda, yang benar-benar memiliki sikap sebagai kalangan muda, yang kritis, visioner, membawa semangat perubahan, tidak hanya branding pemuda yang digaungkan, tetapi mendukung ketidakadilan dan kepentingan kelompok.

Di bagian epilog, Prof. Subroto menuliskan, "Ketika terompet kemerdekaan didengungkan, dan suaranya bergema ke seluruh negeri, kita sepenuhnya percaya, seperti yang dinyatakan dalam pembukaan UUD '45, bahwa perjuangan akan mengantar kita menuju ke pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Hingga sekarang, kita terus belajar dan berusaha. Berdoa dan bergandengan tangan agar terus bersatu, bekerja, dan berusaha agar bisa berdaulat, serta berpikir dan berjuang untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila."

Pesan di atas, menurut hemat saya, sudah cukup untuk dapat kita jadikan pegangan untuk memilih pemimpin di masa depan. Khususnya dalam pesta demokrasi pemilu tahun ini.

Jadi semoga kita dapat memilih dengan bijak, saya doakan. Juga kepada para panitia pemilu, semoga tetap semangat dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Siapapun yang akan menjadi pemimpin negeri tercinta ini, semoga terpilih dengan cara-cara yang bermartabat dan beretika. Sebab, betapapun berbedanya pilihan kita, saling berseberangannya pendapat kita, kita harus ingat bahwa yang terpenting, seperti mengutip istilah Gus Mus, adalah Memenangkan Indonesia.

Indonesia di Tanganmu