Minggu, 24 Maret 2024

Agent of Wisanggeni (AoW)


Sebuah Gerakan (movement) sepatutnya harus memastikan semua orang di dalamnya memiliki semangat yang sama. Semangat itu bisa saja berwujud idealisme, visi, dan mindset. Hal yang akan menjadikan para anggota pergerakan memiliki sense of belonging, rasa saling memiliki, memiliki anggota, memiliki program, memiliki gerakan itu sendiri. Mengutip pepatah, "Jika ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri, tetapi apabila ingin berjalan jauh, maka berjalanlah bersama-sama," yang harusnya menjadi kesadaran bersama oleh semua anggota sebuah gerakan untuk mencapai tujuan secara kontinu.

Di dalam praktiknya, gerakan yang berwujud komunitas, organisasi, perkumpulan, baik swadaya maupun korporasi, mempunyai satu-dua leadership (pemimpin). Kondisi untuk memiliki kesadaran dan pemahaman seperti yang dituliskan di atas, tidak otomatis dimiliki oleh semua anggota. Inilah peran dari para pemimpin gerakan, untuk menyuntikkan values yang dapat menyatukan gerakan. Apapun tujuan dari gerakan itu dibentuk, rasa persatuan, kebersamaan, bahkan kekeluargaan harus menjadi fokus utama, bagi siapapun yang memiliki dominasi. Entah dominasi secara formal (adanya Surat Keputusan, untuk menjabat) maupun dominasi yang didapatkan dari kepercayaan orang lain (people choice).

Para pemimpin di dalam sebuah gerakan juga semestinya dapat memastikan: pertama, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Nilai ini akan membawa semangat rela berkorban ke dalam sebuah gerakan. Sebab, masing-masing anggota merasa bahwa status mereka sama, apabila terdapat hak dan kewajiban, pun berasa seimbang. Khususnya bagi sebuah gerakan non profit, yang dapat dibilang sebagai ekstrakurikuler di dalam suatu perusahaan.

Apa sih memangnya yang dicari, selain goal yang ingin dicapai bersama? Sehingga tidak muncul 'sekat' antara kelompok elit dan non-elit. Semua orang merasakan berada di posisi yang sama. Implementasi dari semangat ini adalah suara, gagasan, dan pendapat semua anggota didengar dan menjadi sangat penting. Tidak didominasi oleh arahan top-down (dari para pemimpin) yang membuat para anggota pergerakan tidak nyaman. Semakin banyak ide yang berasal dari anggota (bottom-up), menunjukkan bahwa perasaan saling memiliki (sense of belonging) dan semangat perbaikan (improvement) sudah tertanam atau terbentuk di dalam tim.

Kedua, eksekutor program seharusnya orang yang punya ide. Ide merupakan manifestasi dari kreativitas manusia. Selama manusia masih memiliki pemikiran jernih, ide akan terus diproduksi. Menurut David O'Hara, profesor Universitas Augustana, ide didefinisikan sebagai pemikiran atau opini yang terbentuk sepenuhnya, alhasil tidak akan pernah habis. Namun, apabila bicara tentang ide-ide yang berguna, ide-ide besar atau penemuan baru, David menjawab hal itu mungkin saja habis ataupun hilang. Sehingga, di dalam suatu gerakan, ide itu harus diperlakukan dengan baik dan benar.

Ide akan menjadi senjata makan tuan bila tidak didukung oleh tools yang baik. Contohnya saat orang-orang yang membahas ide itu tidak menyiapkan langkah-langkah bagaimana merealisasikannya. Ide-ide yang tercipta hanya akan menjadi batu pengganjal dari keberlangsungan suatu gerakan, komunitas, perkumpulan. Mirip seperti sebuah angan-angan kosong. Tak tahu cara mewujudkannya. Apalagi jika ide itu hanya akan menjadi tumpukan daftar pekerjaan rumah sebuah gerakan atau komunitas. Maka dari itu, untuk mencegah hal tersebut terjadi, dalam konteks organisasi yang berbentuk gerakan bersama, sebaiknya orang yang membahas ide adalah yang akan mengeksekusi program.

Program yang muncul dari ide-ide yang dibahas bersama, katakanlah saat Focus Group Discussion (FGD), akan menjadi lebih baik jika dirumuskan oleh para eksekutor. Sebab, akan didapatkan hasil dengan tingkat feasibility dan possibility lebih tinggi. Karena memahami kondisi-kondisi untuk merealisasikannya. Mungkin bisa menganalisa dengan pendekatan SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat).

Ketiga, lebih baik kalah saat latihan tetapi menang ketika perang. Kalah bisa menjadi kondisi sementara maupun permanen. Tergantung dari apa-apa saja yang termasuk ke dalam status kalah. Pun di dalam realitas kehidupan, kalah tidak selalu menjadi sebuah konsekuensi. Ia juga menjadi opsi, menjadi pilihan aksi. Contohnya adalah mengalah. Di dalam sebuah gerakan, hal paling sulit tentunya menyatukan banyak kepala. Jadi ketika terjadi perbedaan pendapat di dalam sebuah diskusi, bagi anggota yang bijak, ia akan lebih memilih untuk mengalah, mundur dan tidak meneruskan kemelut dan perdebatan. Meskipun ia tahu ia benar.

Ketika semua anggota sudah merasa memiliki gerakan, mereka juga yang akan mengeksekusi ide-idenya, sekarang waktunya memiliki kesadaran bahwa hal terpenting adalah eksistensi, keberlangsungan, keberlanjutan gerakan tersebut. Tidak ada yang lebih utama daripada itu. Apalagi gerakan yang memiliki visi mulia, semangat perubahan misalnya. Jadi, kembali ke case perbedaan pendapat, sudah cukup bagus bagi siapa saja yang lebih mementingkan nilai-nilai bersama, alih-alih menuruti ego. 

Namun, terkadang, bagi sebagian orang, aksi mengalahnya tidak hanya sebatas pasrah dan rida, tetapi memilih tidak terlibat sama sekali dalam proses eksekusi ide. Alasan paling utama adalah tak lagi menemukan kecocokan idealisme dan semangat dengan pimpinan sebuah gerakan atau yang memiliki dominasi. Sikap ksatria untuk mundur dari pusaran arus dan mesin penggerak komunitas. Seperti Bung Hatta yang memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden. Karena kecintaan kepada Indonesia yang tak ingin terpecah lagi pasca kemerdekaan.

Keempat, keabadian tidak bisa bergantung kepada kesementaraan. Pemerintah itu sementara, tetapi rakyat itu abadi. Bentuk gerakan itu sementara, sedangkan nilai-nilai yang diperjuangkan itu abadi. Menyadari adanya dikotomi ini akan sangat berguna bagi para anggota sebuah gerakan. Mana yang termasuk ke dalam keabadian, mana yang termasuk kesementaraan. Rakyat akan tetap menjadi rakyat, siapapun presidennya, pemerintahnya. Sehingga tidak mungkin rakyat yang bergantung kepada pemerintah. Pemerintah-lah yang 'butuh' kepada rakyat.

Nilai-nilai luhur tidak tergantung oleh siapa yang memperjuangkannya. Contohnya nilai kejujuran, tak peduli siapa yang akan membawa misi, bahkan jika tidak ada orang jujur sekalipun di dunia ini, nilai kejujuran tetap akan ada, tidak akan hilang. Korelasinya di dalam sebuah gerakan, semua anggota harus menyadari bahwa kita bersifat replaceable, dapat digantikan oleh siapa saja. Sehingga menjadi sebuah kebanggaan jika kita yang 'terpilih' untuk dapat berikhtiar dan menyurihkan jalan atas gagasan-gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai. Sebuah pemahaman yang dapat membakar semangat bersama. Kita juga harus berupaya supaya generasi penerus dapat membawa tongkat estafet perjuangan tersebut.

Saya pribadi punya kesan tersendiri terkait konsep kesementaraan dan keabadian ini, yang menyangkut komunitas yang selama 2 tahun ini saya ikuti. Yaitu tentang stream yang ada di dalam komunitas tersebut. Stream lama yang harus dibubarkan. Organisasi di dalam komunitas harus dirombak kembali, menyesuaikan dengan petunjuk teknis (juknis) dari fungsi SDM. Bagi saya stream yang sebelumnya terbentuk merupakan hal yang 'abadi', merupakan ciri khas dari fungsi tempat saya bekerja. Sedangkan juknis dari fungsi SDM bersifat sementara, hanya berlaku satu tahun. Tahun depan pasti juknis itu akan diperbarui lagi. Lantas, apakah stream baru, yang telah dibentuk dengan mengorbankan stream lama itu, harus dibubarkan lagi di tahun depan? Menyesuaikan dengan juknis baru. Menurut saya itu hanya akan menguras tenaga dan pikiran anggota komunitas. Kapan semuanya dapat berjalan auto-pilot karena proses yang sudah mature? Ibaratnya, seharusnya sudah berlari lebih kencang, tetapi malah harus belajar merangkak lagi.

Begitulah kira-kira apa-apa saja yang seharusnya dipastikan oleh para pemimpin supaya dapat dimiliki oleh anggota-anggota pergerakan. Kendati demikian, fleksibilitas dan art of leadership tetap diperlukan. Tulisan di atas hanyalah bertujuan sebagai penambah kiat-kiat dan usulan-usulan. Mau dilakukan atau tidak, balik lagi kepada pribadi masing-masing. Tentu pemahaman ini saya dapatkan berdasarkan pengalaman saat menjadi pemimpin di beberapa organisasi, sejak SMA, sampai kuliah, bahkan di masyarakat. Apa yang saya sebut sebagai harta karun waktu. Hikmah yang tersembunyi dari banyak pengalaman.

Namun, tulisan ini belum berhenti sampai di sini. Di dalam perjalanan manusia, selain memunculkan nilai-nilai, semangat gerakan, hubungan sosial kemasyarakatan juga menelurkan banyak budaya. Bibit-bibit globalisasi, pasca ditemukannya berbagai alat transportasi darat, laut, udara, juga menyumbang penyebaran budaya. Salah satunya yang berkembang di Indonesia. Yaitu persebaran agama Hindu. Dan produk yang dihasilkan adalah munculnya pewayangan jawa. 

Pewayangan jawa, yang mengambil cerita dari Kitab Ramayana dan Mahabharata itu, telah menjadi bagian dari masyarakat jawa. Sedikit banyak mempengaruhi dialektika, filosofi, kerangka berpikir orang-orang, yang tentunya berimbas pada ragam bentuk sebuah pergerakan. Sehingga hal inilah yang mendasari pembahasan pewayangan jawa untuk dapat dimasukkan menjadi bagian dari tulisan Agent of Wisanggeni (AoW) ini.


Pewayangan Jawa

Nilai filosofis Pewayangan Jawa seharusnya sudah diajarkan kepada peserta didik, mulai dari SD, SMP, SMA, sampai masa kuliah. Tidak seperti selama ini. Hanya terbatas pada pemberian informasi tentang nama-nama negeri berikut siapa tokoh-tokoh wayang yang menjadi pemimpinnya. Seperti yang sekarang tertulis di dalam buku-buku Pepak Jawa. Contohnya seperti Gatotkaca yang memimpin Pringgodani. Atau negeri asal Pandawa, Astina. Hafalan-hafalan yang dilakukan peserta didik selama ini hanya menciptakan kekosongan nilai-nilai yang ditawarkan cerita pewayangan. Padahal cerita pewayangan jawa kaya akan nilai-nilai filosofis ke-jawa-an yang terkenal luhur. "Wong Jawa sing ilang jawa-ne, Orang Jawa yang kehilangan jawa-nya" sebuah fenomena yang muncul dewasa ini, salah satunya, mau tidak mau adalah konsekuensi dari kurangnya pendidikan wayang.

Tapi perlu dicatat, meskipun ia mengangkat budaya jawa, tidak menutup kemungkinan dapat diajarkan kepada anak-anak dari daerah di luar jawa. Atau kepada siapapun, tanpa ada batasan. Fokus utamanya adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diajarkan bersifat universal. Hal yang sama seperti pendidikan filosofi (filsafat). Filsafat barat maupun filsafat timur yang bukan produk asli Indonesia saja bisa dipelajari, apalagi filosofi yang terkandung pada cerita pewayangan jawa. Kisah yang sudah diasimilasi ke dalam budaya Indonesia, terdapat penyesuaian dari cerita asli Mahabharata atau Ramayana. Melalui budaya carangan, misalnya.

Sehingga, menurut hemat saya, pewayangan jawa, sudah sepatutnya mulai harus dibumikan dan dipagi-siangkan dengan cara-cara yang lebih baru. Dan yang terpenting, lebih sering. Seperti yang pernah dilakukan oleh Raden Ahmad Kosasih melalui pembuatan komik-komik Mahabharata. Atau pembuatan novel bercerita wayang, seperti karya Ardian Kresna dan Seno Gumira Ajidarma. Apalagi bila mengacu kepada nilai-nilai yang akan ditawarkan. Kaya sekali. Manfaat sekali. Tulisan ini pun diharapkan dapat menjadi alternatif, sebuah cara sederhana untuk mempromosikan pewayangan jawa sebagai sumber nilai-nilai dan kreativitas berpikir, yang mana didapatkan dari kisah-kisah wayang yang ada.

Misalnya, kisah tentang Abimanyu yang mati muda di dalam peperangan, dapat menjadi sumber inspirasi patriotik. Kisah tentang kesetiaan Karna kepada sang guru, bisa menumbuhkan rasa hormat siswa kepada para pendidik. Cerita tentang Ekalaya yang dibunuh oleh Sri Kresna memberikan hikmah untuk selalu waspada dan tidak 'mengendurkan pertahanan'. Pun juga kisah tentang Wisanggeni putra Arjuna, yang menjadi topik tulisan ini. Spirit Wisanggeni membara, sesuai namanya 'geni', menjadi inspirasi bagi sesiapa yang saat ini diamanahi sebagai anggota sebuah gerakan. Agen-agen perubahan. Pionir-pionir pengorbanan. Iron stock bagi negeri.

Sebelum membahas lebih detail tentang Wisanggeni dan pesan moral pada tulisan ini, kalau boleh ijinkanlah saya sedikit bernostalgia. Perkenalan saya dengan dunia wayang, tentunya juga berasal dari pelajaran Bahasa Jawa saat SD, tetapi ketertarikan untuk mendalami 'cerita' Mahabharata, Ramayana, dan produk carangan, tumbuh pasca lulus SMA, tepatnya masa-masa menunggu kuliah (tahun 2012). Saya sangat terkesan dengan semua tokoh atau karakter wayang. Waktu itu terdapat daftar nama-nama wayang di dalam suatu halaman Wikipedia, secara sabar saya baca satu persatu melalui hyperlink yang ada pada daftar tersebut.

Entah karena memang masa-masa menuju kedewasaan itulah yang membuat saya haus akan 'kebijaksanaan' atau sesederhana suka membaca rubrik Wayang Durangpo di koran Jawa Pos. Hal yang pasti, manfaat wayang, selain yang sudah saya jelaskan pada paragraf sebelumnya, ialah wayang dapat digunakan untuk menangkap gejala dan kondisi yang ada di masyarakat. Apa yang sudah ditangkap itu lalu diturunkan menjadi bentuk-bentuk kritik, pendidikan moral, bagi bernegara dan berbangsa. Karena wayang, apalagi dengan adanya carangan, menawarkan sebuah paket penokohan dan karateristik yang dapat dipasangkan dengan kehidupan kita. Sehingga bisa related dengan pengalaman, kisah, romansa, sosial-politik, apapun. Tokoh-tokoh baru, yang tidak ada di dalam kitab asli Mahabharata, seperti Semar dan anak-anaknya pun menambah kekayaan potensi wayang untuk dapat menggambarkan kondisi rakyat Indonesia.

Dalam kisah saya, perjumpaan dengan Bambang Wisanggeni, anak dari Arjuna dan Dewi Dresnala, merupakan sebuah momen berharga. Dan apabila ditanya, siapa tokoh pewayangan favorit saya, tentu jawabannya adalah Wisanggeni. Gambarnya saya gunakan untuk foto profil beberapa akun media sosial. Semata-mata sebagai bentuk kekaguman saya terhadap para pujangga yang sudah 'menciptakan' tokoh ini. Wisanggeni seperti halnya, para ponokawan, adalah tokoh asli Indonesia. Tak akan ditemui di dalam cerita asli Mahabharata, karya Krishna Dwaipayana Byasa dari India itu.

Kelahiran Wisanggeni tidak pernah diharapkan karena ia adalah anak dari seorang manusia, Arjuna, dengan bidadari kahyangan, Dewi Dresnala. Terdapat juga versi Wisanggeni kecil yang menjadi korban kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga. Sehingga ketika ia lahir, masih jabang bayi, ia dibuang oleh sang kakek, Batara Brama. Ada juga yang menceritakan bahwa sang kakek lah yang memaksa Dewi Dresnala untuk menggugurkan kandungannya. Jadi Wisanggeni kecil belum 'utuh'. Karena bayi itu dianggap sebagai sebuah aib, ia lalu dibuang ke dalam Kawah Candradimuka di Gunung Jamurdipa. Api yang membakar tersebut, bukannya membunuh Wisanggeni, malah menghidupkannya, menjadikannya ksatria yang kuat. Sakti mandraguna.

Wisanggeni memiliki karakter yang kuat, jujur, ringan tangan, rela berkorban, mungkin disebabkan ia mewarisi gen Pandawa. Namun Wisanggeni adalah sosok yang angkuh. Seperti yang digambarkan pada bentuk wayangnya, kepalanya tidak menunduk seperti wayang protagonis yang lain. Menurut saya ini menggambarkan ungkapan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sebuah simbol dari perjuangan dan semangat pergerakan, yang mengusung nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Hal yang juga telah kita bahas bersama di paragraf awal tulisan ini.

Selain itu, Wisanggeni juga dikisahkan sebagai seorang yang urakan, apa adanya, selalu menggunakan bahasa jawa ngoko, tidak pernah berbicara dengan bahasa jawa krama, kecuali kepada Sanghyang Wenang. Ini mengingatkan saya kepada salah satu gerakan underrated yang mungkin baru pertama kali didengar. Gerakan Djawa Dipa. 

Sebuah gerakan yang lahir di Surabaya, 11 Maret 1917, dengan gagasan yang dicetuskan oleh Tjokrosoedarmo. Gagasannya yaitu menghilangkan feodalisme-kolonialisme yang terdapat pada bahasa jawa. Para anggota gerakan itu beranggapan bahwa penggunaan bahasa jawa krama kepada para priayi, bangsawan, bahkan kepada pemerintah kolonial Belanda, hanya akan terus menerus mengawetkan penjajahan dan sikap tidak adil oleh para raja. Sehingga ide mereka adalah menghilangkan bahasa jawa krama dan diganti dengan jawa ngoko untuk pembicaraan sehari-hari kepada semua orang. Mereka beralasan bahwa bahasa jawa ngoko lebih banyak digunakan oleh masyarakat umum, seperti para petani, buruh, sipil. Lewat gagasan 'penyetaraan' bahasa itu, Djawa Dipa memiliki slogan "Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa".

Apa yang menjadi inti perjuangan Gerakan Djawa Dipa tercermin pada tingkah laku Wisanggeni. Sang putra Arjuna itu merupakan lambang perjuangan atas kesetaraan-keadilan, bentuk lugu yang tidak memiliki kepentingan apapun, selain memang berkorban bagi kepentingan bersama. Filosofi itulah yang tentunya harus diajarkan kepada orang-orang, anggota-anggota pergerakan, agen-agen perubahan. Juga keputusan sadar untuk menerapkan perasaan ikhlas tanpa pamrih. Itulah sebaik-baik gerakan.

Orang-Orang Kalah

Kita berpindah dari satu kekalahan, menuju kekalahan berikutnya. Kekalahan adalah makanan kita sehari-hari. Satu kemenangan hanyalah jeda dari kekalahan selanjutnya. Kalah berarti tidak menang, kehilangan, merugi, tidak lulus, kekurangan, tidak besar, tidak kuat, atau semua kondisi, yang menyebabkan kita harus menerima tidak tercapainya ekspektasi-ekspektasi kita, tidak terwujudnya harapan-harapan kita, tidak terpenuhinya semua rencana, yang sudah disusun dengan baik. Kalah, tentu saja, juga bisa berarti posisi belum melakukan apapun. Hanya sebuah kondisi yang kita pilih, untuk kemenangan yang lebih besar di kemudian hari, seperti yang sudah saya jelaskan pada bab sebelumnya.

Kenyataan pahit yang mengiringi sebuah kekalahan, tentunya akan menguatkan kita. Satu per satu hikmah akan bermunculan. Dalam konteks sebuah gerakan, kekalahan itu bisa berupa tak lagi adanya semangat berjuang di dalam internal komunitas. Bila bercerita tentang Gerakan Djawa Dipa, gerakan tersebut hanya bertahan selama 5 tahun. Digagas pada tahun 1917, dan harus 'mati' di tahun 1922, ditandai dengan tak lagi menerbitkan buletin gerakan. 

Djawa Dipa, yang hanya bertahan sampai tahun kelima, mengingatkan kita tentang kisah Abimanyu yang kalah di medan perang Batarayudha. Tentara Kurawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai pemuda itu jatuh dari kudanya dan terjerembap ke tanah, lukanya arang kranjang (banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata menancap di tubuhnya. Ia tak mampu lagi bergerak. Dan mati muda di tengah formasi perang Kurawa. Begitulah wayang yang related dengan gerakan Djawa Dipa.

Apa yang terjadi pada Djawa Dipa tidak menutup kemungkinan akan dirasakan oleh gerakan-gerakan lain, apalagi jika semua yang sudah dituliskan di atas, atau langkah-langkah yang lain, tidak dilakukan oleh para pemimpin gerakan. Ya, memang, waktu yang akan menjawab. Waktu juga seperti pedang, akan menebas siapa pun yang tidak dapat bertahan. Tetapi juga dapat menyatukan lebih lekat orang-orang yang telah mengerti hakikat sebuah gerakan.

Kekalahan pun juga dapat kita lihat dalam skala nasional, lewat pesta demokrasi yang telah kita lalui di bulan februari lalu. Demokrasi dan budi pekerti yang telah kalah oleh berbagai macam kecurangan dan tipu muslihat. Namun kondisi ini menciptakan dua kutub, persimpangan jalan, yang sangat bertolak belakang. Bagi pihak yang kalah secara terhormat, ia telah memenangkan keadilan, demokrasi, akal sehat, nilai-nilai luhur. Bagi pihak yang menang dengan cara-cara yang tak bermartabat dan tak beretika, sejatinya ia telah mengalahkan dan mematikan keadilan, demokrasi, akal sehat, dan nilai-nilai luhur.

Lalu muncul pertanyaan, apakah kekalahan dan kemenangan itu telah disiapkan, by design? Seperti kisah Bambang Ekalaya, seorang ksatria yang harus mati akibat skenario dunia pewayangan.

Alkisah, Bambang Ekalaya mendatangi Astinapura untuk menantang Arjuna. Ada asap, ada api. Tantangan hidup atau mati itu disebabkan oleh kelancangan Arjuna kepada istri Ekalaya. Sebagai seorang suami, tentu saja ia tidak akan rela jika istrinya dilecehkan dan digoda oleh pria lain. Bahkan jika dia seorang Pandawa sekalipun. Bambang Ekalaya adalah seorang ksatria yang sangat kuat dan terlatih sehingga ia percaya diri untuk menantang Arjuna.

Kacap kacarita, duel itu berlangsung sengit dan Arjuna mati di tangan Ekalaya. Sri Kresna yang tahu kejadian itu, tidak tinggal diam. Arjuna adalah salah satu prajurit yang akan berperang di pertempuran hebat Batarayudha, sehingga ia tak boleh mati terlebih dahulu sebelum perang itu dimulai. Maka Sri Kresna menghidupkan Arjuna alias Janaka tersebut. Ditambah, Sri Kresna berniat membunuh Ekalaya, supaya ia tak lagi dapat mengancam Arjuna. Sang jelmaan dewa itu mengetahui bahwa Bambang Ekalaya selama ini berguru kepada patung Durna yang ia buat sendiri. Sehingga Sri Kresna membuat tipu muslihat, dengan menyamar sebagai patung sang guru. Hingga ia dapat membunuh Bambang Ekalaya.

Petaka yang terjadi kepada Bambang Ekalaya, sehingga ia harus mati demi skenario Batarayudha, sedikit banyak menjadi lamunan saya. Apakah memang di dalam kehidupan ini, yang namanya konspirasi itu memang ada? Terdapat tangan-tangan yang tak terlihat, yang menjalankan segala cara, bahkan yang tercela sekalipun, supaya tujuannya dapat tercapai. Mengorbankan banyak hal. Termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Entahlah. 

Kekalahan Bambang Ekalaya, tidak bisa hanya menjadi angin lalu, tetapi harus menjadi sebuah pengingat bahwa integritas, harga diri, dedikasi itu harus dibawa sampai mati. Serta konsekuensinya juga, kita tidak bisa menghalang gerakan-gerakan perubahan yang muncul akibat kecurangan dan ketidakadilan yang diperlihatkan secara gamblang itu.

Setelah 'pengorbanan' Bambang Ekalaya, lalu kita berpindah kepada wayang yang menjadi topik tulisan ini, yaitu Wisanggeni. Ia pun kalah di dalam kehidupannya. Berdasarkan skenario wayang, meskipun ia sangat kuat dan sakti, sampai-sampai pernah mengobrak-abrik kahyangan, ia tidak diperbolehkan mengikuti perang Batarayudha. Diramalkan apabila ia ikut perang, kubu Pandawa malah akan mengalami kekalahan. Sehingga ia berkorban dengan melaksanakan moksa. Hilang dari bumi nuswantoro, demi kemenangan tentara Pandawa. Ia memilih untuk kalah, demi kemenangan yang lebih besar. Sebuah kebebasan dan kemerdekaan yang mengantarkan kepada perubahan dunia pewayangan.


Kemerdekaan Agen-Agen Perubahan

“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri,” ujar Pramoedya Ananta Toer. 

Saya membayangkan bagaimana jadinya jika seorang agen perubahan tidak memiliki kemerdekaan atas pemikirannya sendiri, tidak memiliki kebebasan bersikap, malah lebih memilih untuk tunduk kepada arahan-arahan atasan. Apa yang dapat diubah apabila memiliki mental seperti itu? Seorang agen perubahan harus memiliki kesadaran utuh bahwa perannya yang amat sangat penting itu, harus dimulai dari kemerdekaan diri sendiri, sehingga dapat melahirkan banyak action yang memiliki dampak, mempunyai pengaruh.

Apabila agen perubahan berada di dalam sebuah komunitas, saran saya, seperti yang telah kita bahas bersama, alangkah baiknya memiliki 4 kesadaran berikut:

  1. duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,
  2. eksekutor program seharusnya orang yang punya ide,
  3. lebih baik kalah saat latihan tetapi menang ketika perang,
  4. keabadian tidak bisa bergantung kepada kesementaraan.

Dengan begitu, selain merdeka, agen-agen perubahan juga memiliki value compass yang akan mengantarkan kepada tercapainya tujuan-tujuan. Karena sekali lagi, sebuah gerakan itu berbeda dengan organisasi lainnya, sebuah gerakan menekankan kepada rasa saling memiliki antar anggota dan nilai-nilai yang diusung.

Agen-agen perubahan juga dapat belajar dari kisah-kisah pewayangan jawa. Dengan mencari nilai-nilai filosofis yang memiliki korelasi dengan berjalannya roda organisasi. Menyambungkannya dengan nilai-nilai (core value) yang dibawa. Dalam hal ini, agen-agen perubahan dapat memilih siapa tokoh wayang yang memiliki kesamaan pandangan, sifat, dan gagasan. Apakah Abimanyu, Ekalaya, Karna, Sengkuni, atau yang lainnya. Tidak ada batasan. Pilihan-pilihan itu menggambarkan kebebasan yang telah direbut. Kemerdekaan berpikir dan bertindak yang telah diraih.

Sebagai kesimpulan, tulisan ini menawarkan kepada semua agen perubahan untuk dapat menjadi Agent of Wisanggeni (AoW), yang ringan tangan, apa adanya, rela berkorban, dan yang terpenting siap kalah untuk kemenangan yang lebih besar. Bersedia menjadi "bahan bakar" supaya semangat perubahan itu tetap menyala seperti api.

Minggu, 10 Maret 2024

Rahasia di Balik Nama Soi

Soi


Judul dan konten ini pernah saya tulis dan publikasikan di blog pribadi pada Februari 2012, tepat 12 tahun yang lalu. Karena ternyata nama 'Soi' masih digunakan sampai sekarang, tidak ada salahnya saya sunting ulang dan tambahkan beberapa informasi sebagai pelengkap kisah yang menyertai nama panggilan saya ini. Juga sebagai kado bagi diri yang baru saja memasuki usia 30 tahun. Selamat membaca!

SOI. Nama yang terdiri dari 3 huruf ini menjadi saksi perjalanan hidup saya. Setiap orang yang bertemu dan mengetahui nama populer ini selalu bertanya, apa hubungannya nama "Safrizal Ariyandi" dengan "Soi". Apakah itu nama orang tua? Apakah nama itu berasa dari bahasa jawa, inggris, atau yang lain? Bagaimanapun nama Soi atau yang sekarang bisa menjadi Soimin, Somen, atau Sombe, memiliki perjalanan panjang dalam penciptaan nama tersebut. Tulisan ini akan mengungkapkan rahasia di balik nama yang melegenda itu.

Berawal saat Kelas 6 SD

Saat itu, sekitar tahun 2005-2006, acara WWE SmackDown sedang marak dan menjadi hiburan menarik di televisi. Seperti halnya anak-anak pada umumnya, yang masih memiliki pemikiran labil dan suka meniru hal-hal yang dirasa keren, efek tontonan SmackDown membuat teman-teman di kelas meniru adegan, gaya, dan tokoh dalam acara tersebut. Bahkan sampai membuat sebuah nama dan karakter imajinatif untuk menggambarkan sosok diri, dengan referensi dari tokoh-tokoh gulat asal Amerika itu. Ada yang menamai diri mereka "Triple X", "Kingz", "Javier", dan banyak lagi. Wujud kreativitas anak SD.

Saya pun tidak mau kalah. Nama Rex Stone atau Son "Isol" Tol, yang saya pilih menjadi nama dan karakter pegulat saya. Sebuah karakter yang condong ke personalia Rey Mysteryo (kalau saya tak salah ingat). Dengan berbekal branding diri dan seringnya disebut-sebut, akhirnya nama "Son Isol" yang bertahan dan mulai populer di kelas. Nama itu saya bawa terus sampai tiba masa kelulusan. Sebab satu-dua hal, saya tak lagi akrab dengan teman-teman sesama 'pegulat cilik' di kelas saya. Malah di akhir kelas 6 SD, saya mulai akrab dengan Adit, anak kelas sebelah. Sebagai bentuk keakraban baru, saya memanggilnya "So'odet". Dan dia memanggil nama populer saya, Son Isol.

Nama Son Isol juga pernah saya gunakan sebagai branding nama game studio untuk dimasukkan ke dalam splash screen game buatan saya di tahun 2009-2012. Nama itu juga untuk pendaftaran akun di Yoyogames, tempat mengunggah beberapa game karya saya itu. Cerita lebih detail tentang Son Isol Production dapat dibaca pada tulisan ini, Son Isol Production: Game Studio Pertama dan Fun Theory.

Memasuki kelas 7 SMP. Secara kebetulan, saya dan Adit diterima di SMP yang sama, satu kelas pula, kelas 7B. Dialah yang membawa nama Son Isol itu ke SMP. Adit yang memperkenalkan nama Son Isol kepada teman-teman di kelas. Nama itu menjadi terkenal karena ternyata saat kelas 7, teman-teman satu kelas juga masih membicarakan acara SmackDown. Tak ayal nama Son Isol saya pakai sebagai bahan obrolan era gulat masa SD.

Waktu itu, di awal-awal kelas 7, saya selalu pulang bersama Adit, Wahyudi, dan Diko. Selain karena kami satu almamater SD, rumah kami berdekatan. Wahyudi inilah mungkin yang pertama kali mencetuskan nama "Soi". Ia selalu memanggil saya dengan nama "Soy", sebuah plesetan dari kata Son Isol. Mulai dari sinilah, Adit dan teman-teman di kelas ikut-ikutan memanggil saya dengan nama Soy, nama yang sangat mudah untuk dilafalkan. 

Lama kelamaan nama Soy menjadi Soi, yang mulanya terdiri dari satu suku kata (Soy) menjadi dua suku kata (So dan I). Lalu, salah seorang teman akrab yang lain, Udin, karena tahu dulu Adit saya panggil "So'odet", ia mulai mempopulerkan panggilan So'o untuk memanggil teman-teman sepermainan kami. Seperti yang kita tahu sebelumnya Adit menjadi "So'odet", selanjutnya Udin menjadi "So'oden", Dimas menjadi "So'omas", dan seterusnya. Munculnya nama-nama panggilan baru ini juga yang menurut saya secara tidak langsung berperan dalam melanggengkan nama Soi.


Mengenang Sahabat

Hanya saya dan Dimas, siswa laki-laki dari kelas 7B yang masuk ke kelas 8C. Jadi saat itu saya bingung harus duduk sebangku dengan siapa. Untungnya, Roy Aditya (alm.) anak yang saya kenal di tempat game online, juga masuk di kelas 8C. Saya langsung mengajaknya untuk duduk dengan saya, dan ia mau. Tak terasa satu tahun kami tak terpisahkan. Roy dan saya adalah sahabat. Kami sering bertengkar tapi juga saling mengisi. Soy dan Roy. Lambat laun saya memanggil Roy dengan nama "Roimin", dia memanggil saya dengan nama "Soimin". Inilah awal dari terciptanya nama Soimin. Nama Soi ataupun Soimin menjadi nama unik yang melekat pada diri saya. Menjadi gampang terkenal karena pelafalannya yang lebih mudah daripada nama asli, Safrizal. 

Setelah naik ke kelas 9, anggota kelas diacak kembali, alhasil saya dengan Roy tidak satu kelas lagi. Saya pun duduk dengan Yos Surya, teman sebangku di kelas 7B dulu. Sama seperti dengan Roy, Surya juga memiliki nama panggilan khusus. Ia saya panggil dengan nama "Sui". 

Di kelas ini pula saya mengenal teman baru seperti Dwi, Badruz, Rahman, Farid, dan yang lainnya. Mereka akhirnya menjadi teman akrab dan setelah lulus SMP pun kami masih sering reuni untuk bermain sepak bola bersama. Karena kedekatan itulah, Dwi dan Rahman berinisiatif menghilangkan huruf "I" pada nama Soimin menjadi "Somin". Apabila dilafalkan dalam logat medok Surabaya, bisa menjadi Somen. Inilah awal terciptanya nama "Somen". Nama yang terkadang saya gunakan sebagai username atau ID di internet.

Kisah berlanjut ke masa SMA. Hari terakhir MOS (Masa Orientasi Sekolah), Adit berkunjung ke rumah saya. Tidak seperti biasanya. Dia bercerita mengenai Roy, yang juga diterima di SMA yang sama dengan Adit. Kami mengobrol panjang lebar, bagaimana Roy mengikuti kegiatan orientasi, bagaimana Adit dipanggil ke kepolisian, bagaimana kisah-kisah itu seperti sekelebat cerita yang saya abaikan, waktu itu saya sama sekali tidak mengerti maksud dari cerita Adit. Lalu tiba-tiba dia mengajak takziah ke rumah Roy. Saya kaget. Saya menganggap Adit bercanda atau hanya salah bicara. Dan ternyata, malam itu saya diberitahu bahwa Roy, sahabatku, telah berpulang ke Rahmatullah. Saya kehilangan orang yang pertama kali memanggil Soimin. Dada seperti tertimpa batu besar.

Cerita terkait kematian Roy akhirnya saya lihat di televisi, di dalam berita. Orang yang selama kelas 8C itu duduk sebangku dengan saya, menjadi guru matematika saya, tempat curhat dan berkelahi. Orang yang masih belum saya kenal sepenuhnya, ternyata mati di usia muda. Nama 'Soimin' tetap saya gunakan semata-mata sebagai iling-ilingan bahwa saya pernah memiliki sahabat jaman SMP.

Memasuki Kedewasaan

Di sekolah SMA yang baru, yang membawa nama Soi adalah Farid, teman satu kelas di 9C. Pola yang sama seperti dengan Adit dulu jaman SMP. Farid dan saya juga bertemu di kelas yang sama, kelas 10-7. Dia yang mempromosikan nama Soi kepada teman-teman di 10-7. Di kelas tersebut saya mengenal Candra, Fikri, Rishal, dan yang lainnya. Candra dan Rishal yang mencetuskan nama panggilan Sombe, alias Soi Lambe. "Lambe" yang berarti bibir dalam Bahasa Jawa, mungkin karena bibir saya saat itu mereka nilai seksi. Inilah awal muasal nama "Sombe" lahir.

Dari kelas 10 SMA itu sampai lulus tidak ada perubahan dalam penamaan Soi. Teman-teman SMA ada yang memanggil saya dengan nama Soi, Soimen, Somen, Sombe, atau yang lainnya, tidak ada masalah. Guru-guru SMA, seperti Bu Emi, Pak Rudi, Pak Ajid juga mulai memanggil saya dengan nama Soi. Nama yang sangat populer (memang), bahkan melebihi nama asli. Bahkan, ada yang mengenal saya hanya dengan nama Soi dan tidak mengerti siapa nama asli saya. Seperti para alumni, anggota rohis (kerohanian islam) yang saya pimpin, anggota OSIS dan MPK, anggota ekstrakulikuler, banyak yang cuman kenal nama Soi. Begitulah, sampai masa SMA, nama Soi telah mengalami perjalanan panjang, dan menjadi saksi bisu akan cerita-cerita saya. (Kisah awal tentang Soi, versi tahun 2012, berakhir di paragraf ini, sedangkan mulai alinea bawah ini merupakan kisah tambahan versi 2024, yang baru ditambahkan di tulisan ini untuk kelengkapan cerita dan hikmah)

Selepas lulus SMA dan memasuki dunia mahasiswa, saya sendiri yang berinisiatif untuk meneruskan nama Soi. Mengapa demikian? Ketika menjadi mahasiswa baru, saya membawa ilmu yang diajarkan oleh alumni rohis SMA. Sebuah ilmu untuk bisa kenal banyak orang dan melebarkan networking. Yaitu ketika berjabat tangan dengan orang baru, kita sebut nama kita. Orang yang kita ajak jabat tangan, mau tidak mau juga pasti akan menyebutkan nama dia. Jadi jabat tangan tersebut menjadi sebuah cara perkenalan, tanpa harus basa-basi bertanya siapa nama dia.

Cara inilah yang saya terapkan juga ketika masa ospek kampus. Ketika berkenalan (dengan jabat tangan) dengan orang-orang baru, awalnya saya menggunakan nama "Safrizal", tapi karena saya melihat ini bukan cara yang efektif, akhirnya saya putuskan memakai nama "Soi". Nama yang telah terbukti menjadi lebih mudah diingat. Seperti itulah nama Soi menjadi populer di kampus. Pun ketika saya aktif di berbagai organisasi kampus, seperti organisasi keagamaan dan himpunan mahasiswa, serta berbagai kepanitiaan, nama Soi yang saya 'jual'. Konsekuensinya, banyak yang tidak kenal nama asli saya. Tentu saja tidak masalah. Apalagi prinsip saya, bekerjalah seperti jantung, yang tidak terlihat tapi eksistensinya sangat dibutuhkan. Nama Soi seakan menjadi topeng atas diri saya yang sesungguhnya.

Sama juga ketika saya diterima di pekerjaan yang sekarang, di masa-masa pendidikan dan kewiraan, ketika mengenalkan diri kepada teman-teman baru, saya lebih memilih untuk menyebut diri sebagai "Soi" sebagai nama panggilan. Walaupun jujur kadang saya termenung bertanya kepada diri sendiri, mengapa saya mau dipanggil Soi, mengapa mau menoleh ketika nama itu disebut, mengapa sangat setia dengan nama itu. Sepertinya karena pada akhirnya saya menemukan banyak hikmah dan filosofi yang tersimpan pada nama tersebut.


Hikmah dan Filosofi Soi

Berkorelasi dengan inti sari buku karangan Pak Fahruddin Faiz, "Menghilang, Menemukan Diri Sejati", nama "Soi" merupakan wujud eksistensi diri yang sekaligus sebagai lubang hitam yang menyeret masuk egoisme. Semakin nama Soi populer, semakin redup nama Safrizal Ariyandi. Di momen kehilangan tersebut, akhirnya saya bisa lebih memahami diri sendiri, memahami Sang Pencipta, dan eksistensi-Nya. Kondisi dimana, seperti yang sudah saya rasakan sejak SMA, kebermanfaat diri itu selayaknya jantung, tidak terlihat tapi bisa dirasakan ada-nya, keberadaannya.

Dalam praktiknya, saya selalu menuliskan signature "Soi!" di semua karya visual saya, baik yang pixel art, cat air, atau desain grafis yang lain. Karya-karya yang saya pajang di akun-akun media sosial, yang bukan memamerkan foto diri, apalagi prestasi-prestasi. Signature "Soi!" juga menjadi sebuah bukti bahwa membuat karya itu untuk, dari, dan oleh saya sendiri. Sebagai informasi, kata "soi" dalam bahasa Perancis berarti "diri sendiri". Kata "soi" juga muncul di dalam teori filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre, yaitu etre-en-soi (being-in-itself: Ada pada dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself: Ada bagi dirinya).

Lalu, dalam perspektif religius, nama "soi", atau lebih tepatnya "soimin" mirip dengan kata "shoimin", yang memiliki arti "orang yang berpuasa". Puasa berarti menahan hawa nafsu, pun juga egoisme, egosentrisme. Sehingga, bagi saya, ketika ingat nama Soimin, saya selalu mengingat hakikat puasa yang seperti tameng. Tameng bagi seorang jomblo. Tameng untuk merasakan laparnya saudara yang kesusahan. Juga sebagai penyemangat untuk bisa terus berpuasa, baik dalam arti sebenarnya maupun kiasan. Kalau dalam arti sebenarnya, sebagai motivasi untuk bisa menggapai surga Ar-Royyan. Dalam arti kiasan, untuk memotivasi diri supaya bisa lebih bijaksana (arif), seperti analogi Imam Al-Ghazali, hati ibarat pemimpinnya pasukan ragawi, yang mana puasa adalah salah satu cara untuk mengomandonya. Apalagi di hari lahir saya, bulan Maret 1994, bertepatan dengan Bulan Ramadhan, bulannya puasa (syahrul syiam). Seperti sudah 'takdir' memiliki nama panggilan Soimin.

Demikianlah, sekelumit kisah tentang nama "Soi". Nama yang sudah 17 tahun menyertai diri ini. Saya yakin di masa mendatang, hikmah dan filosofi nama tersebut akan bertambah satu per satu, seiring dengan bertambahnya usia saya. Ketika menuliskan ini, tanggal 10 Maret 2024, saya memasuki fase baru, memasuki usia kepala tiga. Apakah di masa mendatang, saya akan bisa menjadi pribadi yang lebih bijak dan sederhana dan arif dan tidak terlalu perfeksionis? Kita lihat saja. Hal terpenting adalah, jangan lupa bersyukur atas semua nikmat yang sudah didapatkan selama ini. Bagi saya di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan: semangat terus!

Jumat, 08 Maret 2024

Hakikat Rapat Satu Jam

Rapat Satu Jam


Standardisasi rapat satu jam bukan semata-mata tentang pembatasan durasi, tentu saja bukan, melainkan bagaimana sebuat rapat dapat berjalan dengan efektif dan efisien serta mendapatkan hasil sesuai tujuan diadakannya rapat tersebut. Ketika pertama kali mendapatkan informasi via broadcast e-mail perusahaan di akhir bulan Desember 2023 tentang anjuran "rapat satu jam", dengan mengernyitkan dahi, saya mengirimkan screenshoot-nya ke WA Group rekan-rekan angkatan dan menambahkan tulisan "kalo bisa". Kernyitan dahi yang muncul bukanlah sebuah sikap skeptis atau penolakan atas anjuran tersebut, malahan sebuah bentuk persetujuan. Apalagi tulisan "kalo bisa" itu, yang lebih mengarah kepada nada dan kesan positif, alih-alih sindiran.

Respon saya tersebut lebih kepada pertanyaan, mengapa hal yang sangat 'sepele' tersebut sampai harus dianjurkan secara level korporat. Bahkan pada akhirnya program tersebut menjadi salah satu program yang wajib ada, menjadi bagian, dan dibudayakan oleh Agent of Change (AoC). Meskipun kata 'sepele' seakan-akan berkonotasi negatif, tetapi saya punya penjelasan atas kata tersebut, sebagai bentuk pembelaan. Yaitu sesederhana ketidakpercayaan mengapa anjuran tersebut sampai harus 'ada', yang merupakan konsekuensi bahwa semangat rapat yang efisien dan efektif ternyata belum menjadi kesadaran bersama, apalagi di era yang menuntut kecepatan ini.

Lalu, mengapa saya menilai anjuran rapat satu jam adalah hal yang 'sepele'. Mungkin karena apa yang menjadi semangat program itu sudah saya terapkan selama ini. Saya bersyukur telah lama mendapatkan kesadaran bahwa rapat adalah waktu bagi peserta rapat dalam membuat dan menyepakati keputusan-keputusan, bukan tempat untuk melakukan brainstorming, yang mana kegiatan berpikir keras itulah yang menjadikan durasi rapat menjadi lama, lebih dari satu jam. Kesadaran ini merupakan sebuah kristal dari ribuan kali rapat yang saya ikuti sejak jaman SMA.

Keterlibatan dalam organisasi di waktu SMA dan masa kuliah serta saat berada di kampung (karang taruna dan remaja masjid), belum lagi kepanitiaan-kepanitiaan yang diikuti, menjadikan rapat, meeting, syuro, gumbul, atau istilah lainnya tentang "berkumpul bersama untuk membahas sesuatu", menjadi makanan sehari-hari. Setiap rapat selalu memberikan satu pelajaran berharga. Setiap pelajaran tersebut dijadikan kliping hingga menjadi buku panduan hidup. Buku panduan yang Alhamdulillah amat sangat relevan untuk dijadikan how-to dalam mengadakan rapat selama di dalam dunia profesional.

Akhirnya mengapa saya menjadi begitu 'pede' untuk membahasnya? Apa yang ditawarkan kepada para pembaca yang budiman? Tidak ada yang lebih dari sekadar hikmah. Seperti tagline blog ini, yang merupakan inti sari dari banyak kata-kata bijak. Bahwa hikmah ibarat barang hilang, yang sesiapa harus mengambilnya seketika itu juga. Hikmah juga adalah harta karun, yang harus dicari dan ditemukan. Sehingga, guna menyukseskan program rapat satu jam, berikut ini hal-hal yang harus dibiasakan untuk menjadi kesadaran kolektif. Dengan harapan produktivitas kita dapat meningkat.

Pra Meeting

Rapat itu tidak hanya terdiri dari satu kegiatan. Tidak hanya tentang rapat itu sendiri. Sebelum rapat harus ada persiapan. Setelah rapat harus ada tindak lanjut. Sehingga rapat dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pra-meeting, meeting, dan pasca-meeting.

Pemahaman ini sudah saya miliki sejak menjadi Direktur BPM (Badan Pelaksana Mentoring) saat mahasiswa. Bagaimana saya harus menyiapkan apa saja yang akan dibahas saat rapat. Hal ini karena rapat organisasi mahasiswa biasanya diadakan selepas jam kuliah, setelah ashar, sekitar pukul 4 sore, terkadang juga dilanjutkan setelah sholat maghrib. Sehingga, bagi staf-staf kami, yang sudah kuliah seharian, rapat menjadi hal yang sangat menjenuhkan dan membosankan. Maka dari itu, perlu adanya persiapan materi rapat: outline pembahasan, usulan, dan target tindak lanjut, untuk menjamin bahwa rapat tidak ngelantur, ngomong ngalur-ngidul.

Persiapan dilakukan juga semata-mata agar rapat tak banyak menghabiskan waktu untuk berpikir (brainstorming) hal tak perlu. Diskusi dan perdebatan langsung membahas substansi dari apa yang telah disiapkan. Kegiatan menyiapkan materi rapat juga dibiasakan kepada seluruh anggota BPM, sehingga rapat menjadi ajang memutuskan materi siapa yang akan digunakan dan ditindaklanjuti. Persiapan materi juga dapat mengantisipasi apabila staf-staf sudah begitu lelah sampai-sampai tak punya semangat untuk berpikir, sehingga bisa langsung menyetujui materi yang sudah saya siapkan. Rapat menjadi ajang untuk menyepakati bersama-sama, bukan sepihak.

Karena sudah menjadi kebiasaan saat mahasiswa dan berkomunitas di kampung, kegiatan mempersiapkan rapat akhirnya saya lakukan juga di dalam pekerjaan keprofesian. Tak hanya saat ini, ketika berada di kantor pusat, bahkan sejak awal saat pertama kali memimpin rapat dengan vendor, ketika masih ditempatkan di kantor Surabaya. Caranya yaitu membuat draf notulen rapat (NR), yang berisi hal-hal yang dibahas, pertanyaan yang perlu dikonfirmasi, dan informasi-informasi berkaitan tentang rapat tersebut. Syukurnya template draf NR yang digunakan juga masih sama sampai sekarang. Notulen rapat yang memuat kolom pembahasan, tindak lanjut, penanggung jawab, dan target waktu.

Momen yang lucu yaitu ketika beberapa kali saya mendapatkan sindiran "belum meeting koq sudah ada NR-nya". Malah menurut saya, draft NR itu harus sudah dibuat, sehingga ketika rapat selesai, NR sudah siap untuk didistribusikan, syukur-syukur sudah disahkan saat itu juga. Selain itu, NR yang sudah berisi poin-poin pembahasan rapat akan menjadi semacam guideline bagaimana rapat berjalan. Sehingga pembahasan tidak melebar ke topik lain di luar tujuan rapat. Rapat menjadi lebih efektif dan efisien, tepat sasaran.

Selain menyiapkan draf NR, hal yang saya biasakan untuk dilakukan sebelum memimpin sebuah rapat adalah membuat file presentasi, sebagai materi briefing. File presentasi disampaikan di awal, sebagai pembukaan rapat, yang memuat informasi-informasi penting, yang bertujuan untuk memberitahu peserta rapat, apa yang sebenarnya ingin dibahas, apa yang ingin dituju, mungkin kendala-kendala, latar belakang, dan usulan (target rapat). File presentasi juga berisi peran dari masing-masing peserta rapat. Intinya, file presentasi untuk menyamakan sudut padang, ruang pandang, volume pandang peserta rapat. Idealnya, file presentasi ini saya lampirkan saat mengirimkan undangan rapat ke para peserta, tetapi terkadang file baru selesai dibuat sebelum rapat dimulai.

Hal-hal di atas dilakukan apabila saya yang kebetulan mengundang dan memimpin rapat. Namun, jika hanya menjadi peserta. Biasanya yang dilakukan adalah menghubungi orang yang mengundang, guna menanyakan kira-kira apa yang akan dibahas, tujuan yang ingin dicapai, dan dokumen atau data yang perlu disiapkan. Semua persiapan guna menjamin proses rapat menjadi lebih hidup.

Setelah persiapan yang baik (well-prepared), kualitas rapat insya Allah menjadi meningkat. Sebab semua orang tahu apa yang benar-benar dibahas. Peran masing-masing juga semakin ada. Bagi siapa yang sepertinya tidak akan memberikan kontribusi kepada jalannya rapat, dapat undur diri dan mengerjakan hal-hal yang lebih penting. Bukankah ini bentuk rapat para profesional?

Rapat Satu Jam


Proses Meeting

Entah mengapa saya masih ingat salah satu momen syuro (rapat) kerja kerohanian islam (rohis) dulu, saat salah seorang ketua departemen menyampaikan materi departemen yang ia pimpin. Apa yang disampaikan begitu progresif. Ketika saya dan ketua departemen lainnya menyampaikan materi rapat dengan struktur SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) untuk pemaparan analisa yang dibuat. Teman saya yang satu ini menyampaikan materinya menggunakan pendekatan kendala-solusi.

Pemaparan SWOT 'tidak' akan mendapatkan apapun sebagai hasil rapat, selain hanya merupakan penyampaian awal apa yang telah ditemukan (found). Padahal yang terpenting, setelah menemukan, adalah menyelesaikan permasalahan tersebut (solving). Maka dari itu, bagi saya yang semester 5 ketika memimpin BPM, dibuat sangat terkesan dengan pendekatan kendala (problem) dan solusi (solution). Pelajaran berharga tersebut tak lupa saya kliping di dalam memori. Dan ternyata di pekerjaan saat ini pun, framework yang digunakan saat rapat berorientasi kepada tindak lanjut (follow up) atas solusi pembahasan, yang terdiri apa tindak lanjutnya (what), siapa yang bertanggung jawab (who), dan kapan targetnya (when). Semua itu tertuang dalam notulen rapat.

Framework di atas tampak sangat baik dan rapi. Namun tidak akan berarti apapun bila proses rapat tidak berkualitas. Selain pentingnya mempersiapkan rapat, memastikan rapat berjalan dengan baik, juga menjadi tantangan tersendiri. Pemimpin rapat harus bisa mengarahkan pembahasan ke arah tujuan. Tak boleh membiarkan diskusi menjadi tidak produktif dan di luar agenda rapat. Salah satu pegangan bagi pemimpin rapat dalam mengampu ialah draf NR atau file presentasi yang sudah dibuat. Apabila tak ada, minimal sudah memiliki poin-poin yang akan dibahas, di buku catatan. Hal ini yang juga sering saya lakukan. Menyiapkan buku catatan untuk dicorat-coret, yang sebelumnya sudah berisi outline pembahasan.

Proses moderasi rapat yang sudah lama tidak saya lakukan, apalagi memasuki era online meeting adalah membuat mind-map. Ketika memimpin rapat BPM, salah satu inovasi yang saya lakukan ialah membuat catatan-catatan pembahasan rapat dengan mind-map yang ditulis di papan tulis. Setiap lingkaran/bulatan berisi poin-poin pembahasan, korelasi garis merupakan penanda rincian atau subtopik pembahasan. Mind-map ini sangat bermanfaat untuk melihat mana topik yang perlu didetailkan, mana item yang harus diperinci. Selain itu mind-map yang berbentuk gambar memudahkan pemahaman oleh peserta rapat. Inovasi-inovasi seperti itulah yang harus dipersiapkan oleh siapapun yang memimpin rapat. Khususnya setelah diterapkannya program rapat satu jam.

Pemahaman bahwa peran pemimpin rapat sangatlah penting, seyogianya menjadikan kita untuk terus melakukan improvement. Rapat hari ini harus lebih baik daripada rapat kemarin. Hal-hal dasar yang perlu dilakukan oleh pemimpin rapat, sebagai bare minimum, ialah: pertama, memulai rapat tepat waktu dan menginformasikan kepada peserta berapa lama waktu menunggu apabila kuorum belum tercapai (misalkan 5 menit). Memulai rapat tepat waktu walaupun belum banyak peserta yang hadir, sebenarnya adalah bentuk penghargaan bagi orang-orang yang datang tepat waktu. Tentu saja ini yang sudah saya biasakan ketika mengikuti rapat, baik di rohis maupun di himpunan mahasiswa (hima).

Saya ingat, untuk membudayakan rapat tepat waktu ini, ketua departemen (kadep) humas hima saya waktu itu memberlakukan jam mulai rapat yang unik. Biasanya rapat dimulai di jam-jam yang genap, misalkan pukul 15.00, 16.30, dan seterusnya. Tetapi, Mbak kadep saya ini selalu memberikan waktu rapat di undangan, dengan jam-jam yang tidak biasa, contohnya mulai rapat pada 15.16, 16.04, dan seterusnya. Yang mana jam mulai rapat itu biasanya disesuaikan dengan tanggal atau angka-angka tertentu. Tentu saja ini tidak lazim, tetapi merupakan suatu inovasi untuk perubahan yang lebih baik.

Kedua, hal yang harus dilakukan pemimpin rapat, ialah meminta pendapat semua peserta rapat. Memberikan kesempatan semua orang untuk dapat berbicara, menyampaikan gagasan atau pandangannya, merupakan inti dari rapat. Mengulang apa yang sudah saya tuliskan di atas, rapat merupakan ajang untuk menyepakati bersama-sama, bukan sepihak. Sehingga semua orang berhak berbicara. Pendekatan seorang pemimpin pun dengan telinga yang siap mendengarkan, tak hanya formalitas meminta saran, tetapi sudah siap untuk mendebat. Kekurangan dari manusia Indonesia adalah kita slalu mendengarkan untuk menjawab, bukan untuk memahami.

Ketiga, memastikan bahwa semua peserta rapat memahami goal dari pembahasan. Memang ini bagian tersulit dari peran seorang pemimpin rapat. Tapi kita harus mengingat bahwa suara moderator atau pemimpin rapat biasanya menjadi rujukan bagi semua yang ikut. Sehingga kita harus percaya diri, untuk dapat menyimpulkan, mengonfirmasi pemahaman peserta, dan mengomando jalannya rapat. Terlebih-lebih pula, saat ini 90% rapat dilakukan secara daring. Sumber suara hanya akan ada satu dalam satu waktu, tidak mungkin dua orang berbicara dalam waktu bersamaan.

Sekali lagi, sebab program rapat satu jam merupakan semangat bersama, kita harus bisa melakukan adaptasi dan berinovasi dalam rapat. Tak hanya inovasi terkait substansi pembahasan, tetapi juga pembaruan cara, proses, metode dalam rapat. Pasti akan muncul sebuah kesadaran bahwa rapat satu jam dapat menjadikan produktivitas meningkat. Sehingga semuanya akan mengusahakan yang terbaik. Tentu saja saat menulis ini, semua momen rapat bersama BPM muncul di kepala, apalagi saat itu saya menaruh perasaan kepada sang sekretaris direktur (sekdir). Akibatnya setiap rapat BPM selalu saya pimpin dengan berkharisma.

Pasca Meeting

Setelah mengetahui bahwa persiapan rapat itu baik, lalu proses menjalankannya juga harus teratur dan disiplin, hal ketiga yang tak kalah penting adalah pasca meeting. Apa yang harus dilakukan setelah mendapatkan hasil rapat. Bagaimana notulen rapat yang sudah disepakati dapat terlaksana sesuai rencana. Kebanyakan rapat tidak pernah berfokus pada tindak lanjut NR, sehingga rapat menjadi kering substansi. Buat apa rapat berjam-jam, kalau tidak dilakukan followup? Oleh sebab itu, peran pemimpin rapat tidak selesai setelah rapat diakhiri, pemimpin rapat harus berkoordinasi dengan para pemimpin fungsi dan pihak terkait guna melakukan monitoring hasil rapat.

Kalau saya pribadi, biasanya setelah mendapatkan NR, akan membuat to-do list yang lebih sederhana untuk dibagikan ke penanggungjawab masing-masing item NR, melalui pesan Whatsapp. Fitur WA saat ini sangat mendukung kerja profesional, to-do list hasil rapat dapat kita masukkan ke dalam deskripsi grup atau disematkan dengan fitur pinned. Monitoring berkala adalah kunci post meeting yang bagus.

Untuk rapat-rapat rutin, contohnya yang dilakukan di fungsi saya yang sekarang, yaitu rapat bulanan koordinator customer services. Setiap awal rapat selalu dibuka dengan pengecekan notulen rapat sebelumnya, diurut dari nomor satu, bagaimana update dari item NR tersebut. Mana yang sudah dilaksanakan dengan penuh, mana yang masih parsial, atau mana yang belum terlaksana sama sekali. Pembahasan NR sebelumnya terbukti menjadikan semua peserta rapat menjadi lebih awas dalam melakukan monitoring, karena tahu bahwa rapat selanjutnya pasti akan membahas pending item. Semua peserta rapat berasa tidak enak apabila terdapat item-item yang menjadi tugasnya, yang belum terlaksana.

Inti dari semua proses ini adalah pembiasaan, mungkin awalnya harus dipaksakan dan mendapatkan natural denial, tetapi lama-lama akan menjadi kesadaran dan malah menjadi syarat wajib bagi proses rapat yang akan diikuti.

Rapat Satu Jam



Hakikat Rapat

Setelah memaparkan apa yang telah saya lakukan selama ini dalam mengagendakan rapat, bagi para pembaca yang budiman, mungkin ada yang berpikir, bahwa beberapa yang saya tuliskan, atau mungkin semuanya, adalah hal yang biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa. Merupakan kegiatan yang juga biasa dilakukan oleh orang-orang. Ya, boleh saya, toh ide itu tidak pernah bisa diklaim oleh satu orang. Ide itu magis, ia bisa hinggap di banyak orang sekaligus. Apalagi mungkin ada beberapa item yang ternyata juga muncul di tutorial program rapat satu jam. Tentu saja itu hal yang mungkin saja terjadi. Karena memang rapat efektif dan efisien sepatutnya sudah menjadi kebiasaan semua orang profesional. Tanpa harus dipaksa untuk standardisasi terlebih dahulu.

Tetapi, bagaimanapun juga, terkadang durasi rapat yang lama bukan semata-mata sebab kurang efektif, melainkan karena memang kebersamaan saat rapat yang nyaman, fun, dan seru membuat rapat harus berlama-lama. Kapan lagi bisa bercanda bersama dengan orang-orang terkasih. Sehingga, hakikat rapat itu dinamis. Dan tergantung tujuan dari rapat yang dilakukan. Bisa cepat, bisa lama. Bisa seru, bisa membosankan. Bisa fleksibel, bisa kaku.

Semoga dengan adanya standardisasi waktu rapat yang satu jam ini, kita semua menjadi lebih banyak waktu luang untuk memikirkan diri sendiri, bukan bentuk egois, melainkan untuk muhasabah diri.