Minggu, 24 Maret 2024

Agent of Wisanggeni (AoW)


Sebuah Gerakan (movement) sepatutnya harus memastikan semua orang di dalamnya memiliki semangat yang sama. Semangat itu bisa saja berwujud idealisme, visi, dan mindset. Hal yang akan menjadikan para anggota pergerakan memiliki sense of belonging, rasa saling memiliki, memiliki anggota, memiliki program, memiliki gerakan itu sendiri. Mengutip pepatah, "Jika ingin berjalan cepat, berjalanlah sendiri, tetapi apabila ingin berjalan jauh, maka berjalanlah bersama-sama," yang harusnya menjadi kesadaran bersama oleh semua anggota sebuah gerakan untuk mencapai tujuan secara kontinu.

Di dalam praktiknya, gerakan yang berwujud komunitas, organisasi, perkumpulan, baik swadaya maupun korporasi, mempunyai satu-dua leadership (pemimpin). Kondisi untuk memiliki kesadaran dan pemahaman seperti yang dituliskan di atas, tidak otomatis dimiliki oleh semua anggota. Inilah peran dari para pemimpin gerakan, untuk menyuntikkan values yang dapat menyatukan gerakan. Apapun tujuan dari gerakan itu dibentuk, rasa persatuan, kebersamaan, bahkan kekeluargaan harus menjadi fokus utama, bagi siapapun yang memiliki dominasi. Entah dominasi secara formal (adanya Surat Keputusan, untuk menjabat) maupun dominasi yang didapatkan dari kepercayaan orang lain (people choice).

Para pemimpin di dalam sebuah gerakan juga semestinya dapat memastikan: pertama, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Nilai ini akan membawa semangat rela berkorban ke dalam sebuah gerakan. Sebab, masing-masing anggota merasa bahwa status mereka sama, apabila terdapat hak dan kewajiban, pun berasa seimbang. Khususnya bagi sebuah gerakan non profit, yang dapat dibilang sebagai ekstrakurikuler di dalam suatu perusahaan.

Apa sih memangnya yang dicari, selain goal yang ingin dicapai bersama? Sehingga tidak muncul 'sekat' antara kelompok elit dan non-elit. Semua orang merasakan berada di posisi yang sama. Implementasi dari semangat ini adalah suara, gagasan, dan pendapat semua anggota didengar dan menjadi sangat penting. Tidak didominasi oleh arahan top-down (dari para pemimpin) yang membuat para anggota pergerakan tidak nyaman. Semakin banyak ide yang berasal dari anggota (bottom-up), menunjukkan bahwa perasaan saling memiliki (sense of belonging) dan semangat perbaikan (improvement) sudah tertanam atau terbentuk di dalam tim.

Kedua, eksekutor program seharusnya orang yang punya ide. Ide merupakan manifestasi dari kreativitas manusia. Selama manusia masih memiliki pemikiran jernih, ide akan terus diproduksi. Menurut David O'Hara, profesor Universitas Augustana, ide didefinisikan sebagai pemikiran atau opini yang terbentuk sepenuhnya, alhasil tidak akan pernah habis. Namun, apabila bicara tentang ide-ide yang berguna, ide-ide besar atau penemuan baru, David menjawab hal itu mungkin saja habis ataupun hilang. Sehingga, di dalam suatu gerakan, ide itu harus diperlakukan dengan baik dan benar.

Ide akan menjadi senjata makan tuan bila tidak didukung oleh tools yang baik. Contohnya saat orang-orang yang membahas ide itu tidak menyiapkan langkah-langkah bagaimana merealisasikannya. Ide-ide yang tercipta hanya akan menjadi batu pengganjal dari keberlangsungan suatu gerakan, komunitas, perkumpulan. Mirip seperti sebuah angan-angan kosong. Tak tahu cara mewujudkannya. Apalagi jika ide itu hanya akan menjadi tumpukan daftar pekerjaan rumah sebuah gerakan atau komunitas. Maka dari itu, untuk mencegah hal tersebut terjadi, dalam konteks organisasi yang berbentuk gerakan bersama, sebaiknya orang yang membahas ide adalah yang akan mengeksekusi program.

Program yang muncul dari ide-ide yang dibahas bersama, katakanlah saat Focus Group Discussion (FGD), akan menjadi lebih baik jika dirumuskan oleh para eksekutor. Sebab, akan didapatkan hasil dengan tingkat feasibility dan possibility lebih tinggi. Karena memahami kondisi-kondisi untuk merealisasikannya. Mungkin bisa menganalisa dengan pendekatan SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat).

Ketiga, lebih baik kalah saat latihan tetapi menang ketika perang. Kalah bisa menjadi kondisi sementara maupun permanen. Tergantung dari apa-apa saja yang termasuk ke dalam status kalah. Pun di dalam realitas kehidupan, kalah tidak selalu menjadi sebuah konsekuensi. Ia juga menjadi opsi, menjadi pilihan aksi. Contohnya adalah mengalah. Di dalam sebuah gerakan, hal paling sulit tentunya menyatukan banyak kepala. Jadi ketika terjadi perbedaan pendapat di dalam sebuah diskusi, bagi anggota yang bijak, ia akan lebih memilih untuk mengalah, mundur dan tidak meneruskan kemelut dan perdebatan. Meskipun ia tahu ia benar.

Ketika semua anggota sudah merasa memiliki gerakan, mereka juga yang akan mengeksekusi ide-idenya, sekarang waktunya memiliki kesadaran bahwa hal terpenting adalah eksistensi, keberlangsungan, keberlanjutan gerakan tersebut. Tidak ada yang lebih utama daripada itu. Apalagi gerakan yang memiliki visi mulia, semangat perubahan misalnya. Jadi, kembali ke case perbedaan pendapat, sudah cukup bagus bagi siapa saja yang lebih mementingkan nilai-nilai bersama, alih-alih menuruti ego. 

Namun, terkadang, bagi sebagian orang, aksi mengalahnya tidak hanya sebatas pasrah dan rida, tetapi memilih tidak terlibat sama sekali dalam proses eksekusi ide. Alasan paling utama adalah tak lagi menemukan kecocokan idealisme dan semangat dengan pimpinan sebuah gerakan atau yang memiliki dominasi. Sikap ksatria untuk mundur dari pusaran arus dan mesin penggerak komunitas. Seperti Bung Hatta yang memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden. Karena kecintaan kepada Indonesia yang tak ingin terpecah lagi pasca kemerdekaan.

Keempat, keabadian tidak bisa bergantung kepada kesementaraan. Pemerintah itu sementara, tetapi rakyat itu abadi. Bentuk gerakan itu sementara, sedangkan nilai-nilai yang diperjuangkan itu abadi. Menyadari adanya dikotomi ini akan sangat berguna bagi para anggota sebuah gerakan. Mana yang termasuk ke dalam keabadian, mana yang termasuk kesementaraan. Rakyat akan tetap menjadi rakyat, siapapun presidennya, pemerintahnya. Sehingga tidak mungkin rakyat yang bergantung kepada pemerintah. Pemerintah-lah yang 'butuh' kepada rakyat.

Nilai-nilai luhur tidak tergantung oleh siapa yang memperjuangkannya. Contohnya nilai kejujuran, tak peduli siapa yang akan membawa misi, bahkan jika tidak ada orang jujur sekalipun di dunia ini, nilai kejujuran tetap akan ada, tidak akan hilang. Korelasinya di dalam sebuah gerakan, semua anggota harus menyadari bahwa kita bersifat replaceable, dapat digantikan oleh siapa saja. Sehingga menjadi sebuah kebanggaan jika kita yang 'terpilih' untuk dapat berikhtiar dan menyurihkan jalan atas gagasan-gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai. Sebuah pemahaman yang dapat membakar semangat bersama. Kita juga harus berupaya supaya generasi penerus dapat membawa tongkat estafet perjuangan tersebut.

Saya pribadi punya kesan tersendiri terkait konsep kesementaraan dan keabadian ini, yang menyangkut komunitas yang selama 2 tahun ini saya ikuti. Yaitu tentang stream yang ada di dalam komunitas tersebut. Stream lama yang harus dibubarkan. Organisasi di dalam komunitas harus dirombak kembali, menyesuaikan dengan petunjuk teknis (juknis) dari fungsi SDM. Bagi saya stream yang sebelumnya terbentuk merupakan hal yang 'abadi', merupakan ciri khas dari fungsi tempat saya bekerja. Sedangkan juknis dari fungsi SDM bersifat sementara, hanya berlaku satu tahun. Tahun depan pasti juknis itu akan diperbarui lagi. Lantas, apakah stream baru, yang telah dibentuk dengan mengorbankan stream lama itu, harus dibubarkan lagi di tahun depan? Menyesuaikan dengan juknis baru. Menurut saya itu hanya akan menguras tenaga dan pikiran anggota komunitas. Kapan semuanya dapat berjalan auto-pilot karena proses yang sudah mature? Ibaratnya, seharusnya sudah berlari lebih kencang, tetapi malah harus belajar merangkak lagi.

Begitulah kira-kira apa-apa saja yang seharusnya dipastikan oleh para pemimpin supaya dapat dimiliki oleh anggota-anggota pergerakan. Kendati demikian, fleksibilitas dan art of leadership tetap diperlukan. Tulisan di atas hanyalah bertujuan sebagai penambah kiat-kiat dan usulan-usulan. Mau dilakukan atau tidak, balik lagi kepada pribadi masing-masing. Tentu pemahaman ini saya dapatkan berdasarkan pengalaman saat menjadi pemimpin di beberapa organisasi, sejak SMA, sampai kuliah, bahkan di masyarakat. Apa yang saya sebut sebagai harta karun waktu. Hikmah yang tersembunyi dari banyak pengalaman.

Namun, tulisan ini belum berhenti sampai di sini. Di dalam perjalanan manusia, selain memunculkan nilai-nilai, semangat gerakan, hubungan sosial kemasyarakatan juga menelurkan banyak budaya. Bibit-bibit globalisasi, pasca ditemukannya berbagai alat transportasi darat, laut, udara, juga menyumbang penyebaran budaya. Salah satunya yang berkembang di Indonesia. Yaitu persebaran agama Hindu. Dan produk yang dihasilkan adalah munculnya pewayangan jawa. 

Pewayangan jawa, yang mengambil cerita dari Kitab Ramayana dan Mahabharata itu, telah menjadi bagian dari masyarakat jawa. Sedikit banyak mempengaruhi dialektika, filosofi, kerangka berpikir orang-orang, yang tentunya berimbas pada ragam bentuk sebuah pergerakan. Sehingga hal inilah yang mendasari pembahasan pewayangan jawa untuk dapat dimasukkan menjadi bagian dari tulisan Agent of Wisanggeni (AoW) ini.


Pewayangan Jawa

Nilai filosofis Pewayangan Jawa seharusnya sudah diajarkan kepada peserta didik, mulai dari SD, SMP, SMA, sampai masa kuliah. Tidak seperti selama ini. Hanya terbatas pada pemberian informasi tentang nama-nama negeri berikut siapa tokoh-tokoh wayang yang menjadi pemimpinnya. Seperti yang sekarang tertulis di dalam buku-buku Pepak Jawa. Contohnya seperti Gatotkaca yang memimpin Pringgodani. Atau negeri asal Pandawa, Astina. Hafalan-hafalan yang dilakukan peserta didik selama ini hanya menciptakan kekosongan nilai-nilai yang ditawarkan cerita pewayangan. Padahal cerita pewayangan jawa kaya akan nilai-nilai filosofis ke-jawa-an yang terkenal luhur. "Wong Jawa sing ilang jawa-ne, Orang Jawa yang kehilangan jawa-nya" sebuah fenomena yang muncul dewasa ini, salah satunya, mau tidak mau adalah konsekuensi dari kurangnya pendidikan wayang.

Tapi perlu dicatat, meskipun ia mengangkat budaya jawa, tidak menutup kemungkinan dapat diajarkan kepada anak-anak dari daerah di luar jawa. Atau kepada siapapun, tanpa ada batasan. Fokus utamanya adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diajarkan bersifat universal. Hal yang sama seperti pendidikan filosofi (filsafat). Filsafat barat maupun filsafat timur yang bukan produk asli Indonesia saja bisa dipelajari, apalagi filosofi yang terkandung pada cerita pewayangan jawa. Kisah yang sudah diasimilasi ke dalam budaya Indonesia, terdapat penyesuaian dari cerita asli Mahabharata atau Ramayana. Melalui budaya carangan, misalnya.

Sehingga, menurut hemat saya, pewayangan jawa, sudah sepatutnya mulai harus dibumikan dan dipagi-siangkan dengan cara-cara yang lebih baru. Dan yang terpenting, lebih sering. Seperti yang pernah dilakukan oleh Raden Ahmad Kosasih melalui pembuatan komik-komik Mahabharata. Atau pembuatan novel bercerita wayang, seperti karya Ardian Kresna dan Seno Gumira Ajidarma. Apalagi bila mengacu kepada nilai-nilai yang akan ditawarkan. Kaya sekali. Manfaat sekali. Tulisan ini pun diharapkan dapat menjadi alternatif, sebuah cara sederhana untuk mempromosikan pewayangan jawa sebagai sumber nilai-nilai dan kreativitas berpikir, yang mana didapatkan dari kisah-kisah wayang yang ada.

Misalnya, kisah tentang Abimanyu yang mati muda di dalam peperangan, dapat menjadi sumber inspirasi patriotik. Kisah tentang kesetiaan Karna kepada sang guru, bisa menumbuhkan rasa hormat siswa kepada para pendidik. Cerita tentang Ekalaya yang dibunuh oleh Sri Kresna memberikan hikmah untuk selalu waspada dan tidak 'mengendurkan pertahanan'. Pun juga kisah tentang Wisanggeni putra Arjuna, yang menjadi topik tulisan ini. Spirit Wisanggeni membara, sesuai namanya 'geni', menjadi inspirasi bagi sesiapa yang saat ini diamanahi sebagai anggota sebuah gerakan. Agen-agen perubahan. Pionir-pionir pengorbanan. Iron stock bagi negeri.

Sebelum membahas lebih detail tentang Wisanggeni dan pesan moral pada tulisan ini, kalau boleh ijinkanlah saya sedikit bernostalgia. Perkenalan saya dengan dunia wayang, tentunya juga berasal dari pelajaran Bahasa Jawa saat SD, tetapi ketertarikan untuk mendalami 'cerita' Mahabharata, Ramayana, dan produk carangan, tumbuh pasca lulus SMA, tepatnya masa-masa menunggu kuliah (tahun 2012). Saya sangat terkesan dengan semua tokoh atau karakter wayang. Waktu itu terdapat daftar nama-nama wayang di dalam suatu halaman Wikipedia, secara sabar saya baca satu persatu melalui hyperlink yang ada pada daftar tersebut.

Entah karena memang masa-masa menuju kedewasaan itulah yang membuat saya haus akan 'kebijaksanaan' atau sesederhana suka membaca rubrik Wayang Durangpo di koran Jawa Pos. Hal yang pasti, manfaat wayang, selain yang sudah saya jelaskan pada paragraf sebelumnya, ialah wayang dapat digunakan untuk menangkap gejala dan kondisi yang ada di masyarakat. Apa yang sudah ditangkap itu lalu diturunkan menjadi bentuk-bentuk kritik, pendidikan moral, bagi bernegara dan berbangsa. Karena wayang, apalagi dengan adanya carangan, menawarkan sebuah paket penokohan dan karateristik yang dapat dipasangkan dengan kehidupan kita. Sehingga bisa related dengan pengalaman, kisah, romansa, sosial-politik, apapun. Tokoh-tokoh baru, yang tidak ada di dalam kitab asli Mahabharata, seperti Semar dan anak-anaknya pun menambah kekayaan potensi wayang untuk dapat menggambarkan kondisi rakyat Indonesia.

Dalam kisah saya, perjumpaan dengan Bambang Wisanggeni, anak dari Arjuna dan Dewi Dresnala, merupakan sebuah momen berharga. Dan apabila ditanya, siapa tokoh pewayangan favorit saya, tentu jawabannya adalah Wisanggeni. Gambarnya saya gunakan untuk foto profil beberapa akun media sosial. Semata-mata sebagai bentuk kekaguman saya terhadap para pujangga yang sudah 'menciptakan' tokoh ini. Wisanggeni seperti halnya, para ponokawan, adalah tokoh asli Indonesia. Tak akan ditemui di dalam cerita asli Mahabharata, karya Krishna Dwaipayana Byasa dari India itu.

Kelahiran Wisanggeni tidak pernah diharapkan karena ia adalah anak dari seorang manusia, Arjuna, dengan bidadari kahyangan, Dewi Dresnala. Terdapat juga versi Wisanggeni kecil yang menjadi korban kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga. Sehingga ketika ia lahir, masih jabang bayi, ia dibuang oleh sang kakek, Batara Brama. Ada juga yang menceritakan bahwa sang kakek lah yang memaksa Dewi Dresnala untuk menggugurkan kandungannya. Jadi Wisanggeni kecil belum 'utuh'. Karena bayi itu dianggap sebagai sebuah aib, ia lalu dibuang ke dalam Kawah Candradimuka di Gunung Jamurdipa. Api yang membakar tersebut, bukannya membunuh Wisanggeni, malah menghidupkannya, menjadikannya ksatria yang kuat. Sakti mandraguna.

Wisanggeni memiliki karakter yang kuat, jujur, ringan tangan, rela berkorban, mungkin disebabkan ia mewarisi gen Pandawa. Namun Wisanggeni adalah sosok yang angkuh. Seperti yang digambarkan pada bentuk wayangnya, kepalanya tidak menunduk seperti wayang protagonis yang lain. Menurut saya ini menggambarkan ungkapan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sebuah simbol dari perjuangan dan semangat pergerakan, yang mengusung nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Hal yang juga telah kita bahas bersama di paragraf awal tulisan ini.

Selain itu, Wisanggeni juga dikisahkan sebagai seorang yang urakan, apa adanya, selalu menggunakan bahasa jawa ngoko, tidak pernah berbicara dengan bahasa jawa krama, kecuali kepada Sanghyang Wenang. Ini mengingatkan saya kepada salah satu gerakan underrated yang mungkin baru pertama kali didengar. Gerakan Djawa Dipa. 

Sebuah gerakan yang lahir di Surabaya, 11 Maret 1917, dengan gagasan yang dicetuskan oleh Tjokrosoedarmo. Gagasannya yaitu menghilangkan feodalisme-kolonialisme yang terdapat pada bahasa jawa. Para anggota gerakan itu beranggapan bahwa penggunaan bahasa jawa krama kepada para priayi, bangsawan, bahkan kepada pemerintah kolonial Belanda, hanya akan terus menerus mengawetkan penjajahan dan sikap tidak adil oleh para raja. Sehingga ide mereka adalah menghilangkan bahasa jawa krama dan diganti dengan jawa ngoko untuk pembicaraan sehari-hari kepada semua orang. Mereka beralasan bahwa bahasa jawa ngoko lebih banyak digunakan oleh masyarakat umum, seperti para petani, buruh, sipil. Lewat gagasan 'penyetaraan' bahasa itu, Djawa Dipa memiliki slogan "Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa".

Apa yang menjadi inti perjuangan Gerakan Djawa Dipa tercermin pada tingkah laku Wisanggeni. Sang putra Arjuna itu merupakan lambang perjuangan atas kesetaraan-keadilan, bentuk lugu yang tidak memiliki kepentingan apapun, selain memang berkorban bagi kepentingan bersama. Filosofi itulah yang tentunya harus diajarkan kepada orang-orang, anggota-anggota pergerakan, agen-agen perubahan. Juga keputusan sadar untuk menerapkan perasaan ikhlas tanpa pamrih. Itulah sebaik-baik gerakan.

Orang-Orang Kalah

Kita berpindah dari satu kekalahan, menuju kekalahan berikutnya. Kekalahan adalah makanan kita sehari-hari. Satu kemenangan hanyalah jeda dari kekalahan selanjutnya. Kalah berarti tidak menang, kehilangan, merugi, tidak lulus, kekurangan, tidak besar, tidak kuat, atau semua kondisi, yang menyebabkan kita harus menerima tidak tercapainya ekspektasi-ekspektasi kita, tidak terwujudnya harapan-harapan kita, tidak terpenuhinya semua rencana, yang sudah disusun dengan baik. Kalah, tentu saja, juga bisa berarti posisi belum melakukan apapun. Hanya sebuah kondisi yang kita pilih, untuk kemenangan yang lebih besar di kemudian hari, seperti yang sudah saya jelaskan pada bab sebelumnya.

Kenyataan pahit yang mengiringi sebuah kekalahan, tentunya akan menguatkan kita. Satu per satu hikmah akan bermunculan. Dalam konteks sebuah gerakan, kekalahan itu bisa berupa tak lagi adanya semangat berjuang di dalam internal komunitas. Bila bercerita tentang Gerakan Djawa Dipa, gerakan tersebut hanya bertahan selama 5 tahun. Digagas pada tahun 1917, dan harus 'mati' di tahun 1922, ditandai dengan tak lagi menerbitkan buletin gerakan. 

Djawa Dipa, yang hanya bertahan sampai tahun kelima, mengingatkan kita tentang kisah Abimanyu yang kalah di medan perang Batarayudha. Tentara Kurawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai pemuda itu jatuh dari kudanya dan terjerembap ke tanah, lukanya arang kranjang (banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata menancap di tubuhnya. Ia tak mampu lagi bergerak. Dan mati muda di tengah formasi perang Kurawa. Begitulah wayang yang related dengan gerakan Djawa Dipa.

Apa yang terjadi pada Djawa Dipa tidak menutup kemungkinan akan dirasakan oleh gerakan-gerakan lain, apalagi jika semua yang sudah dituliskan di atas, atau langkah-langkah yang lain, tidak dilakukan oleh para pemimpin gerakan. Ya, memang, waktu yang akan menjawab. Waktu juga seperti pedang, akan menebas siapa pun yang tidak dapat bertahan. Tetapi juga dapat menyatukan lebih lekat orang-orang yang telah mengerti hakikat sebuah gerakan.

Kekalahan pun juga dapat kita lihat dalam skala nasional, lewat pesta demokrasi yang telah kita lalui di bulan februari lalu. Demokrasi dan budi pekerti yang telah kalah oleh berbagai macam kecurangan dan tipu muslihat. Namun kondisi ini menciptakan dua kutub, persimpangan jalan, yang sangat bertolak belakang. Bagi pihak yang kalah secara terhormat, ia telah memenangkan keadilan, demokrasi, akal sehat, nilai-nilai luhur. Bagi pihak yang menang dengan cara-cara yang tak bermartabat dan tak beretika, sejatinya ia telah mengalahkan dan mematikan keadilan, demokrasi, akal sehat, dan nilai-nilai luhur.

Lalu muncul pertanyaan, apakah kekalahan dan kemenangan itu telah disiapkan, by design? Seperti kisah Bambang Ekalaya, seorang ksatria yang harus mati akibat skenario dunia pewayangan.

Alkisah, Bambang Ekalaya mendatangi Astinapura untuk menantang Arjuna. Ada asap, ada api. Tantangan hidup atau mati itu disebabkan oleh kelancangan Arjuna kepada istri Ekalaya. Sebagai seorang suami, tentu saja ia tidak akan rela jika istrinya dilecehkan dan digoda oleh pria lain. Bahkan jika dia seorang Pandawa sekalipun. Bambang Ekalaya adalah seorang ksatria yang sangat kuat dan terlatih sehingga ia percaya diri untuk menantang Arjuna.

Kacap kacarita, duel itu berlangsung sengit dan Arjuna mati di tangan Ekalaya. Sri Kresna yang tahu kejadian itu, tidak tinggal diam. Arjuna adalah salah satu prajurit yang akan berperang di pertempuran hebat Batarayudha, sehingga ia tak boleh mati terlebih dahulu sebelum perang itu dimulai. Maka Sri Kresna menghidupkan Arjuna alias Janaka tersebut. Ditambah, Sri Kresna berniat membunuh Ekalaya, supaya ia tak lagi dapat mengancam Arjuna. Sang jelmaan dewa itu mengetahui bahwa Bambang Ekalaya selama ini berguru kepada patung Durna yang ia buat sendiri. Sehingga Sri Kresna membuat tipu muslihat, dengan menyamar sebagai patung sang guru. Hingga ia dapat membunuh Bambang Ekalaya.

Petaka yang terjadi kepada Bambang Ekalaya, sehingga ia harus mati demi skenario Batarayudha, sedikit banyak menjadi lamunan saya. Apakah memang di dalam kehidupan ini, yang namanya konspirasi itu memang ada? Terdapat tangan-tangan yang tak terlihat, yang menjalankan segala cara, bahkan yang tercela sekalipun, supaya tujuannya dapat tercapai. Mengorbankan banyak hal. Termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Entahlah. 

Kekalahan Bambang Ekalaya, tidak bisa hanya menjadi angin lalu, tetapi harus menjadi sebuah pengingat bahwa integritas, harga diri, dedikasi itu harus dibawa sampai mati. Serta konsekuensinya juga, kita tidak bisa menghalang gerakan-gerakan perubahan yang muncul akibat kecurangan dan ketidakadilan yang diperlihatkan secara gamblang itu.

Setelah 'pengorbanan' Bambang Ekalaya, lalu kita berpindah kepada wayang yang menjadi topik tulisan ini, yaitu Wisanggeni. Ia pun kalah di dalam kehidupannya. Berdasarkan skenario wayang, meskipun ia sangat kuat dan sakti, sampai-sampai pernah mengobrak-abrik kahyangan, ia tidak diperbolehkan mengikuti perang Batarayudha. Diramalkan apabila ia ikut perang, kubu Pandawa malah akan mengalami kekalahan. Sehingga ia berkorban dengan melaksanakan moksa. Hilang dari bumi nuswantoro, demi kemenangan tentara Pandawa. Ia memilih untuk kalah, demi kemenangan yang lebih besar. Sebuah kebebasan dan kemerdekaan yang mengantarkan kepada perubahan dunia pewayangan.


Kemerdekaan Agen-Agen Perubahan

“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri,” ujar Pramoedya Ananta Toer. 

Saya membayangkan bagaimana jadinya jika seorang agen perubahan tidak memiliki kemerdekaan atas pemikirannya sendiri, tidak memiliki kebebasan bersikap, malah lebih memilih untuk tunduk kepada arahan-arahan atasan. Apa yang dapat diubah apabila memiliki mental seperti itu? Seorang agen perubahan harus memiliki kesadaran utuh bahwa perannya yang amat sangat penting itu, harus dimulai dari kemerdekaan diri sendiri, sehingga dapat melahirkan banyak action yang memiliki dampak, mempunyai pengaruh.

Apabila agen perubahan berada di dalam sebuah komunitas, saran saya, seperti yang telah kita bahas bersama, alangkah baiknya memiliki 4 kesadaran berikut:

  1. duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,
  2. eksekutor program seharusnya orang yang punya ide,
  3. lebih baik kalah saat latihan tetapi menang ketika perang,
  4. keabadian tidak bisa bergantung kepada kesementaraan.

Dengan begitu, selain merdeka, agen-agen perubahan juga memiliki value compass yang akan mengantarkan kepada tercapainya tujuan-tujuan. Karena sekali lagi, sebuah gerakan itu berbeda dengan organisasi lainnya, sebuah gerakan menekankan kepada rasa saling memiliki antar anggota dan nilai-nilai yang diusung.

Agen-agen perubahan juga dapat belajar dari kisah-kisah pewayangan jawa. Dengan mencari nilai-nilai filosofis yang memiliki korelasi dengan berjalannya roda organisasi. Menyambungkannya dengan nilai-nilai (core value) yang dibawa. Dalam hal ini, agen-agen perubahan dapat memilih siapa tokoh wayang yang memiliki kesamaan pandangan, sifat, dan gagasan. Apakah Abimanyu, Ekalaya, Karna, Sengkuni, atau yang lainnya. Tidak ada batasan. Pilihan-pilihan itu menggambarkan kebebasan yang telah direbut. Kemerdekaan berpikir dan bertindak yang telah diraih.

Sebagai kesimpulan, tulisan ini menawarkan kepada semua agen perubahan untuk dapat menjadi Agent of Wisanggeni (AoW), yang ringan tangan, apa adanya, rela berkorban, dan yang terpenting siap kalah untuk kemenangan yang lebih besar. Bersedia menjadi "bahan bakar" supaya semangat perubahan itu tetap menyala seperti api.

0 comments:

Posting Komentar