Minggu, 10 Maret 2024

Rahasia di Balik Nama Soi

Soi


Judul dan konten ini pernah saya tulis dan publikasikan di blog pribadi pada Februari 2012, tepat 12 tahun yang lalu. Karena ternyata nama 'Soi' masih digunakan sampai sekarang, tidak ada salahnya saya sunting ulang dan tambahkan beberapa informasi sebagai pelengkap kisah yang menyertai nama panggilan saya ini. Juga sebagai kado bagi diri yang baru saja memasuki usia 30 tahun. Selamat membaca!

SOI. Nama yang terdiri dari 3 huruf ini menjadi saksi perjalanan hidup saya. Setiap orang yang bertemu dan mengetahui nama populer ini selalu bertanya, apa hubungannya nama "Safrizal Ariyandi" dengan "Soi". Apakah itu nama orang tua? Apakah nama itu berasa dari bahasa jawa, inggris, atau yang lain? Bagaimanapun nama Soi atau yang sekarang bisa menjadi Soimin, Somen, atau Sombe, memiliki perjalanan panjang dalam penciptaan nama tersebut. Tulisan ini akan mengungkapkan rahasia di balik nama yang melegenda itu.

Berawal saat Kelas 6 SD

Saat itu, sekitar tahun 2005-2006, acara WWE SmackDown sedang marak dan menjadi hiburan menarik di televisi. Seperti halnya anak-anak pada umumnya, yang masih memiliki pemikiran labil dan suka meniru hal-hal yang dirasa keren, efek tontonan SmackDown membuat teman-teman di kelas meniru adegan, gaya, dan tokoh dalam acara tersebut. Bahkan sampai membuat sebuah nama dan karakter imajinatif untuk menggambarkan sosok diri, dengan referensi dari tokoh-tokoh gulat asal Amerika itu. Ada yang menamai diri mereka "Triple X", "Kingz", "Javier", dan banyak lagi. Wujud kreativitas anak SD.

Saya pun tidak mau kalah. Nama Rex Stone atau Son "Isol" Tol, yang saya pilih menjadi nama dan karakter pegulat saya. Sebuah karakter yang condong ke personalia Rey Mysteryo (kalau saya tak salah ingat). Dengan berbekal branding diri dan seringnya disebut-sebut, akhirnya nama "Son Isol" yang bertahan dan mulai populer di kelas. Nama itu saya bawa terus sampai tiba masa kelulusan. Sebab satu-dua hal, saya tak lagi akrab dengan teman-teman sesama 'pegulat cilik' di kelas saya. Malah di akhir kelas 6 SD, saya mulai akrab dengan Adit, anak kelas sebelah. Sebagai bentuk keakraban baru, saya memanggilnya "So'odet". Dan dia memanggil nama populer saya, Son Isol.

Nama Son Isol juga pernah saya gunakan sebagai branding nama game studio untuk dimasukkan ke dalam splash screen game buatan saya di tahun 2009-2012. Nama itu juga untuk pendaftaran akun di Yoyogames, tempat mengunggah beberapa game karya saya itu. Cerita lebih detail tentang Son Isol Production dapat dibaca pada tulisan ini, Son Isol Production: Game Studio Pertama dan Fun Theory.

Memasuki kelas 7 SMP. Secara kebetulan, saya dan Adit diterima di SMP yang sama, satu kelas pula, kelas 7B. Dialah yang membawa nama Son Isol itu ke SMP. Adit yang memperkenalkan nama Son Isol kepada teman-teman di kelas. Nama itu menjadi terkenal karena ternyata saat kelas 7, teman-teman satu kelas juga masih membicarakan acara SmackDown. Tak ayal nama Son Isol saya pakai sebagai bahan obrolan era gulat masa SD.

Waktu itu, di awal-awal kelas 7, saya selalu pulang bersama Adit, Wahyudi, dan Diko. Selain karena kami satu almamater SD, rumah kami berdekatan. Wahyudi inilah mungkin yang pertama kali mencetuskan nama "Soi". Ia selalu memanggil saya dengan nama "Soy", sebuah plesetan dari kata Son Isol. Mulai dari sinilah, Adit dan teman-teman di kelas ikut-ikutan memanggil saya dengan nama Soy, nama yang sangat mudah untuk dilafalkan. 

Lama kelamaan nama Soy menjadi Soi, yang mulanya terdiri dari satu suku kata (Soy) menjadi dua suku kata (So dan I). Lalu, salah seorang teman akrab yang lain, Udin, karena tahu dulu Adit saya panggil "So'odet", ia mulai mempopulerkan panggilan So'o untuk memanggil teman-teman sepermainan kami. Seperti yang kita tahu sebelumnya Adit menjadi "So'odet", selanjutnya Udin menjadi "So'oden", Dimas menjadi "So'omas", dan seterusnya. Munculnya nama-nama panggilan baru ini juga yang menurut saya secara tidak langsung berperan dalam melanggengkan nama Soi.


Mengenang Sahabat

Hanya saya dan Dimas, siswa laki-laki dari kelas 7B yang masuk ke kelas 8C. Jadi saat itu saya bingung harus duduk sebangku dengan siapa. Untungnya, Roy Aditya (alm.) anak yang saya kenal di tempat game online, juga masuk di kelas 8C. Saya langsung mengajaknya untuk duduk dengan saya, dan ia mau. Tak terasa satu tahun kami tak terpisahkan. Roy dan saya adalah sahabat. Kami sering bertengkar tapi juga saling mengisi. Soy dan Roy. Lambat laun saya memanggil Roy dengan nama "Roimin", dia memanggil saya dengan nama "Soimin". Inilah awal dari terciptanya nama Soimin. Nama Soi ataupun Soimin menjadi nama unik yang melekat pada diri saya. Menjadi gampang terkenal karena pelafalannya yang lebih mudah daripada nama asli, Safrizal. 

Setelah naik ke kelas 9, anggota kelas diacak kembali, alhasil saya dengan Roy tidak satu kelas lagi. Saya pun duduk dengan Yos Surya, teman sebangku di kelas 7B dulu. Sama seperti dengan Roy, Surya juga memiliki nama panggilan khusus. Ia saya panggil dengan nama "Sui". 

Di kelas ini pula saya mengenal teman baru seperti Dwi, Badruz, Rahman, Farid, dan yang lainnya. Mereka akhirnya menjadi teman akrab dan setelah lulus SMP pun kami masih sering reuni untuk bermain sepak bola bersama. Karena kedekatan itulah, Dwi dan Rahman berinisiatif menghilangkan huruf "I" pada nama Soimin menjadi "Somin". Apabila dilafalkan dalam logat medok Surabaya, bisa menjadi Somen. Inilah awal terciptanya nama "Somen". Nama yang terkadang saya gunakan sebagai username atau ID di internet.

Kisah berlanjut ke masa SMA. Hari terakhir MOS (Masa Orientasi Sekolah), Adit berkunjung ke rumah saya. Tidak seperti biasanya. Dia bercerita mengenai Roy, yang juga diterima di SMA yang sama dengan Adit. Kami mengobrol panjang lebar, bagaimana Roy mengikuti kegiatan orientasi, bagaimana Adit dipanggil ke kepolisian, bagaimana kisah-kisah itu seperti sekelebat cerita yang saya abaikan, waktu itu saya sama sekali tidak mengerti maksud dari cerita Adit. Lalu tiba-tiba dia mengajak takziah ke rumah Roy. Saya kaget. Saya menganggap Adit bercanda atau hanya salah bicara. Dan ternyata, malam itu saya diberitahu bahwa Roy, sahabatku, telah berpulang ke Rahmatullah. Saya kehilangan orang yang pertama kali memanggil Soimin. Dada seperti tertimpa batu besar.

Cerita terkait kematian Roy akhirnya saya lihat di televisi, di dalam berita. Orang yang selama kelas 8C itu duduk sebangku dengan saya, menjadi guru matematika saya, tempat curhat dan berkelahi. Orang yang masih belum saya kenal sepenuhnya, ternyata mati di usia muda. Nama 'Soimin' tetap saya gunakan semata-mata sebagai iling-ilingan bahwa saya pernah memiliki sahabat jaman SMP.

Memasuki Kedewasaan

Di sekolah SMA yang baru, yang membawa nama Soi adalah Farid, teman satu kelas di 9C. Pola yang sama seperti dengan Adit dulu jaman SMP. Farid dan saya juga bertemu di kelas yang sama, kelas 10-7. Dia yang mempromosikan nama Soi kepada teman-teman di 10-7. Di kelas tersebut saya mengenal Candra, Fikri, Rishal, dan yang lainnya. Candra dan Rishal yang mencetuskan nama panggilan Sombe, alias Soi Lambe. "Lambe" yang berarti bibir dalam Bahasa Jawa, mungkin karena bibir saya saat itu mereka nilai seksi. Inilah awal muasal nama "Sombe" lahir.

Dari kelas 10 SMA itu sampai lulus tidak ada perubahan dalam penamaan Soi. Teman-teman SMA ada yang memanggil saya dengan nama Soi, Soimen, Somen, Sombe, atau yang lainnya, tidak ada masalah. Guru-guru SMA, seperti Bu Emi, Pak Rudi, Pak Ajid juga mulai memanggil saya dengan nama Soi. Nama yang sangat populer (memang), bahkan melebihi nama asli. Bahkan, ada yang mengenal saya hanya dengan nama Soi dan tidak mengerti siapa nama asli saya. Seperti para alumni, anggota rohis (kerohanian islam) yang saya pimpin, anggota OSIS dan MPK, anggota ekstrakulikuler, banyak yang cuman kenal nama Soi. Begitulah, sampai masa SMA, nama Soi telah mengalami perjalanan panjang, dan menjadi saksi bisu akan cerita-cerita saya. (Kisah awal tentang Soi, versi tahun 2012, berakhir di paragraf ini, sedangkan mulai alinea bawah ini merupakan kisah tambahan versi 2024, yang baru ditambahkan di tulisan ini untuk kelengkapan cerita dan hikmah)

Selepas lulus SMA dan memasuki dunia mahasiswa, saya sendiri yang berinisiatif untuk meneruskan nama Soi. Mengapa demikian? Ketika menjadi mahasiswa baru, saya membawa ilmu yang diajarkan oleh alumni rohis SMA. Sebuah ilmu untuk bisa kenal banyak orang dan melebarkan networking. Yaitu ketika berjabat tangan dengan orang baru, kita sebut nama kita. Orang yang kita ajak jabat tangan, mau tidak mau juga pasti akan menyebutkan nama dia. Jadi jabat tangan tersebut menjadi sebuah cara perkenalan, tanpa harus basa-basi bertanya siapa nama dia.

Cara inilah yang saya terapkan juga ketika masa ospek kampus. Ketika berkenalan (dengan jabat tangan) dengan orang-orang baru, awalnya saya menggunakan nama "Safrizal", tapi karena saya melihat ini bukan cara yang efektif, akhirnya saya putuskan memakai nama "Soi". Nama yang telah terbukti menjadi lebih mudah diingat. Seperti itulah nama Soi menjadi populer di kampus. Pun ketika saya aktif di berbagai organisasi kampus, seperti organisasi keagamaan dan himpunan mahasiswa, serta berbagai kepanitiaan, nama Soi yang saya 'jual'. Konsekuensinya, banyak yang tidak kenal nama asli saya. Tentu saja tidak masalah. Apalagi prinsip saya, bekerjalah seperti jantung, yang tidak terlihat tapi eksistensinya sangat dibutuhkan. Nama Soi seakan menjadi topeng atas diri saya yang sesungguhnya.

Sama juga ketika saya diterima di pekerjaan yang sekarang, di masa-masa pendidikan dan kewiraan, ketika mengenalkan diri kepada teman-teman baru, saya lebih memilih untuk menyebut diri sebagai "Soi" sebagai nama panggilan. Walaupun jujur kadang saya termenung bertanya kepada diri sendiri, mengapa saya mau dipanggil Soi, mengapa mau menoleh ketika nama itu disebut, mengapa sangat setia dengan nama itu. Sepertinya karena pada akhirnya saya menemukan banyak hikmah dan filosofi yang tersimpan pada nama tersebut.


Hikmah dan Filosofi Soi

Berkorelasi dengan inti sari buku karangan Pak Fahruddin Faiz, "Menghilang, Menemukan Diri Sejati", nama "Soi" merupakan wujud eksistensi diri yang sekaligus sebagai lubang hitam yang menyeret masuk egoisme. Semakin nama Soi populer, semakin redup nama Safrizal Ariyandi. Di momen kehilangan tersebut, akhirnya saya bisa lebih memahami diri sendiri, memahami Sang Pencipta, dan eksistensi-Nya. Kondisi dimana, seperti yang sudah saya rasakan sejak SMA, kebermanfaat diri itu selayaknya jantung, tidak terlihat tapi bisa dirasakan ada-nya, keberadaannya.

Dalam praktiknya, saya selalu menuliskan signature "Soi!" di semua karya visual saya, baik yang pixel art, cat air, atau desain grafis yang lain. Karya-karya yang saya pajang di akun-akun media sosial, yang bukan memamerkan foto diri, apalagi prestasi-prestasi. Signature "Soi!" juga menjadi sebuah bukti bahwa membuat karya itu untuk, dari, dan oleh saya sendiri. Sebagai informasi, kata "soi" dalam bahasa Perancis berarti "diri sendiri". Kata "soi" juga muncul di dalam teori filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre, yaitu etre-en-soi (being-in-itself: Ada pada dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself: Ada bagi dirinya).

Lalu, dalam perspektif religius, nama "soi", atau lebih tepatnya "soimin" mirip dengan kata "shoimin", yang memiliki arti "orang yang berpuasa". Puasa berarti menahan hawa nafsu, pun juga egoisme, egosentrisme. Sehingga, bagi saya, ketika ingat nama Soimin, saya selalu mengingat hakikat puasa yang seperti tameng. Tameng bagi seorang jomblo. Tameng untuk merasakan laparnya saudara yang kesusahan. Juga sebagai penyemangat untuk bisa terus berpuasa, baik dalam arti sebenarnya maupun kiasan. Kalau dalam arti sebenarnya, sebagai motivasi untuk bisa menggapai surga Ar-Royyan. Dalam arti kiasan, untuk memotivasi diri supaya bisa lebih bijaksana (arif), seperti analogi Imam Al-Ghazali, hati ibarat pemimpinnya pasukan ragawi, yang mana puasa adalah salah satu cara untuk mengomandonya. Apalagi di hari lahir saya, bulan Maret 1994, bertepatan dengan Bulan Ramadhan, bulannya puasa (syahrul syiam). Seperti sudah 'takdir' memiliki nama panggilan Soimin.

Demikianlah, sekelumit kisah tentang nama "Soi". Nama yang sudah 17 tahun menyertai diri ini. Saya yakin di masa mendatang, hikmah dan filosofi nama tersebut akan bertambah satu per satu, seiring dengan bertambahnya usia saya. Ketika menuliskan ini, tanggal 10 Maret 2024, saya memasuki fase baru, memasuki usia kepala tiga. Apakah di masa mendatang, saya akan bisa menjadi pribadi yang lebih bijak dan sederhana dan arif dan tidak terlalu perfeksionis? Kita lihat saja. Hal terpenting adalah, jangan lupa bersyukur atas semua nikmat yang sudah didapatkan selama ini. Bagi saya di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan: semangat terus!

0 comments:

Posting Komentar