Sabtu, 08 Juni 2024

Belajar dari Gibran



"Anakmu bukanlah anakmu.

Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri."

(Kahlil Gibran)

...

Sore itu, selepas menyelesaikan pekerjaan, di meja kantor departemen, yang hanya ada saya dan rekan kerja saya, sebuah pikiran tiba-tiba muncul di dalam kepala. Sebuah gagasan untuk berdiskusi ringan sembari merapikan barang-barang kami, untuk persiapan pulang ke rumah masing-masing.

"Menurutku, kalau dia bisa melawan Bapaknya dengan tidak meneruskan kebobrokan ini, pasti akan keren sekali!" ucap saya mengawali diskusi.

"Gimana maksudnya?" tanya rekan sefungsi saya itu.

"Ingat kisah tentang Nabi Ibrahim dan ayahnya, kan? Beliau berani 'melawan' sang ayah yang seorang pembuat patung berhala. Juga beliaulah yang menghancurkan berhala-berhala, kecuali yang terbesar, untuk memberikan sebuah pelajaran dan hikmah, supaya ayah dan kaumnya berubah. Emang itu contoh yang ekstrim, sih. Tapi coba bayangkan jika semangat perbaikan itu juga ada di dalam diri setiap anak!"

Seperti yang kita ketahui bersama, kisah tentang dialog Nabi Ibrahim alaihissalam dengan ayahnya itu tercatat di dalam Al-Quran. Ialah di dalam surat Maryam (19) ayat 43, yang terjemahannya "Wahai Ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?" sampai pada ayat 47, "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku."

Juga pada surat Al-Anbiyah (21), mulai dari ayat 52 ketika Nabi Ibrahim alaihissalam bertanya, "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?" hingga kejadian penghancuran patung berhala-berhala di ayat 58-65, juga peristiwa pembakaran nabi yang tertulis sampai ayat 70 itu. Ah, tentu saja para pembaca yang budiman sudah hafal betul kisah ini.

Hikmah dari kisah Nabi Ibrahim alaihissalam yang akan dibahas pada tulisan ini, selain karena spontanitas diskusi dengan rekan kerja saya, juga sepertinya cocok sebagai pelengkap dalam menyambut bulan Zulhijah, bulan yang di dalamnya sering dibahas kisah pengorbanan Nabi Ismail alaihissalam, anak Nabi Ibrahim.

Dalam kisah abulanbiya itu, beliau mendapatkan wahyu dari Allah subhanahuwataala padahal sang ayah adalah seorang penyembah berhala. Dakwah sang nabi kepada ayahnya itu, yang mana membawa perubahan yang cukup besar, tidaklah kasar dan tetap lemah lembut. Betapapun 'berbeda'-nya orang tua kita dengan pandangan kita, tak boleh ada sedikitpun hardikan, celaan, hinaan, atau ucapan-ucapan kasar kepada mereka berdua.

Peristiwa dialog sang nabi dengan ayah terkasih itu memberikan hikmah bahwa anak bisa saja tidak selalu sepemahaman dengan orang tuanya, apalagi jika perbuatan ayah atau ibunya tidak sesuai dengan norma, hukum, adat, etika, atau prinsip keadilan sosial. Sang anak bisa berbeda 180 derajat dari orang tuanya.

Kisah tentang anak yang berbeda sama sekali dengan ayahnya juga dapat kita temui pada jaman Rasulullah Muhammad shalallahualaihiwassalam. Tersebutlah Amr ibn Al-Ash, seorang panglima perang Islam yang diberi julukan "Sang Pembebas Mesir". Dia lahir dari seorang musuh Rasul, si pencela kehidupan akhirat dari kalangan elite Quraisy, Al-Ash ibn Wa'il. Tak dikira dari orang tua yang jauh dari hidayah itu lahirlah seorang muslim yang taat, seorang pejuang.

Selanjutnya ada Abdurrahman dan Khalidah, dua orang beriman dan pengikut Rasul, yang merupakan anak dari Al-Aswad ibn Abd Yaghuts. Al-Aswad adalah seorang perundung Rasul dari kalangan Bani Zuhrah. Meskipun masih berkerabat dengan Rasul, kebencian membuatnya selalu berusaha untuk menghentikan langkah dakwah Islam. Berbeda dengan sang ayah, Abdurrahman dikenal banyak meriwayatkan hadis dari para sahabat Rasulullah. Sementara Khalidah hidup bersama sahabat lainnya di Madinah, menjadi wanita salihah.

Al-Harits ibn Qais Al-Sahmi, termasuk ke dalam kelompok tukang olok yang juga sering menyakiti kekasih Allah subhanahuwataala. Al-Harits adalah seburuk-buruk musuh Rasul, tetapi merupakan ayah dari para syuhada, seperti Abu Qais, Al-Harits ibn Al-Harits, Abdullah, dan Al-Hajjaj. Begitulah, dari para kafir Quraisy dapat lahir orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Sehingga, memang benar, anak selalu rindu akan jati dirinya sendiri. Juga atas Hidayah dari Allah subhanahuwata'ala. Wawasan dan hikmah tentang anak dan ayah ini saya dapatkan ketika membaca buku "Para Penentang Muhammad SAW" karya Misran dan Armansyah (terbitan tahun 2018).

Saya juga teringat ucapan dari Gus Baha di salah satu kajian, bahwa tidak semua penjahat akan melahirkan anak yang akan menjadi penjahat juga, bisa jadi darinya lahir anak-anak yang akan menjadi manfaat bagi agama, bangsa, dan negara. Selanjutnya, meminjam kalimat Leila S. Chudori pada novel Namaku Alam:

"Pada saat setiap bayi lahir, para malaikat turun di suatu pagi dan mencium ubun-ubun sang bayi... Aku percaya, seorang bayi yang baru saja lahir adalah makhluk suci tanpa dosa yang meluncur ke dunia dengan bekal ciuman malaikat pada ubun-ubunnya serta harum bunga mawar dan untaian doa para orang tua."

Setiap anak yang lahir, terlahir suci. Dalam keyakinan seorang muslim, setiap anak memiliki fitrah dan yang menjadikan mereka yahudi, nasrani, atau majusi adalah orang tuanya. Terlepas dari kuatnya peran orang tua dalam menumbuhkembangkan anak, setiap anak memiliki pemikirannya sendiri tentang kehidupan.

Para orang tua tidak bisa berambisi untuk memaksakan pahamnya kepada anak, misalnya tentang dinasti politik atau tirani. Para orang tua memang berkewajiban untuk memberi pelajaran kepada anak, seperti dalam hal akidah dan syariat. Selain itu, tentang hal-hal duniawi, biarlah anak dapat memilih 'jalan' sendiri sesuai dengan panggilan hatinya. Selama itu tidak bertentangan dengan hukum positif, tentunya. Bagi para orang tua, ada ucapan dari Ali ibn Abi Thalib RA yang patut kita renungkan, "Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian."

Di dalam sejarah Indonesia, anak-anak korban perang dan konflik di masa lalu memilih untuk saling memaafkan dan melakukan rekonsiliasi. Tidak terus menerus membawa dendam atas apa yang diperbuat ayah dan ibu mereka. Mereka membentuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), sebagai benih dan wajah perdamaian di negeri ini. Kisah lengkapnya dapat dibaca pada buku The Children of War.

Seorang anak selalu membawa harapan bagi orang tua. Sebuah generasi baru akan menawarkan semangat perubahan dan perbaikan untuk sebuah bangsa. Maka dari itu, pendidikan menjadi sangat krusial. Bagaimana pendidikan yang berkualitas akan membentuk anak dengan karakter yang baik, calon pemimpin masa depan, yang adil dan berintegritas.

Karena memang seyogianya, ilmu pengetahuan mengantar kita kepada kebijaksanaan. Sehingga apabila melihat orang tua yang korup, culas, dan tamak, lebih-lebih diktator, anak yang memiliki kejernihan hati dan akal akan berupaya untuk meluruskan. Tidak melanjutkan keburukan dan kebatilan tersebut. Menghentikan tongkat estafet tercela itu. Bukan malah dengan senang hati membawa semangat keberlanjutan, apalagi mengendarai nepotisme, misalnya.

Walaupun di dalam realita kehidupan, tidak semua anak tumbuh dalam kondisi dan lingkungan yang ideal. Masih ada beberapa keluarga yang kurang beruntung sehingga mendapatkan cobaan yang lebih berat daripada kebanyakan orang. Contohnya seperti keluarga yang memiliki rumah di bantaran sungai yang berada di utara terminal, yang ketika SD, rumahnya itu harus digusur, sewaktu ia bersama ketiga saudara perempuan dan orang tuanya.

Namun, bagaimanapun, jangan sampai seperti Sengkuni, salah satu tokoh di dalam dunia pewayangan yang berada di barisan Kurawa. Tokoh yang suka adu domba itu memiliki masa lalu yang pahit. Ia adalah satu-satunya anak yang bertahan hidup, atau dibiarkan hidup, setelah memakan semua kerabat keluarganya. Sengkuni menjadi perwujudan dari keburukan dan kejelekan.

Seperti yang pernah ditulis dalam bukunya "Ngawur Karena Benar", Sujiwo Tedjo pernah mengusulkan untuk memasang wayang Sengkuni sebagai pajangan, alih-alih Pandawa. Sebagai iling-ilingan, pengingat bahwa ada potensi kejelekan dari dalam diri manusia yang harus senantiasa dilawan. Sebagai simbol bahwa jangan sampai kita menjadi seperti Sengkuni. Jangan sampai menjadi orang yang suka memfitnah, menghasut, dan mencelakakan orang lain.

Mungkin inilah saatnya, ketika di masa lalu, negeri ini memasang foto-foto Puntadewa, Werkudara, atau Arjuna, pihak Pandawa, mulai tahun ini kita akan memasang foto-foto Sengkuni, Duryudana, Dursasena, dan lainnya dari pihak Kurawa. Perwujudan dari anak Pandu Dewanata yang memilih jalan kelicikan dan kemudaratan.

Kembali kepada pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim alaihissalam, yang menghancurkan berhala-berhala yang menjadi sesembahan ayah dan kaumnya. Di jaman sekarang, yang modern ini, berhala-berhala itu telah berupa wujud, bukan lagi sekadar patung-patung dan ukiran-ukiran, melainkan sudah berbentuk kekuasaan, jabatan, harta, feodalisme, dan lainnya (yang membutakan nurani). Orang-orang banyak menyembah apapun perwujudan 'raja', yang dulu bertindak sebagai penerjemah makrokosmos kepada mikrokosmos.

Sehingga, penulis mengajak semua pembaca yang budiman untuk dapat berperan sebagai sang nabi, untuk menghancurkan berhala-berhala negara, yang menghambat terwujudnya janji kemerdekaan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan dalam momen Idul Adha, kita juga seharusnya menjalankan ibadah qurban. Sebagai pengingat kisah ketakwaan dan kesalehan hidup Ibrahim dan anaknya, Ismail.

Salah satu insight menarik dari qurban adalah kata 'qurban' memiliki akar kata yang sama dengan 'qarib' yang berarti dekat. Memang, kalau kita renungkan, semua yang kita jadikan qurban atau kita korbankan adalah sesuatu yang dekat dengan kita. Uang untuk membeli kambing, harta yang didapatkan dari kerja keras, waktu berharga, dan semua yang kita dekat dengannya. Tidak mungkin kita mengorbankan sesuatu yang bukan milik kita. Kalau itu namanya bukan qurban, toh?

Nabi Ibrahim alaihissalam sewaktu mendapatkan wahyu untuk menyembelih Nabi Ismail alaihissalam, orang yang sangat dekat dengan beliau, merupakan suatu ujian apakah bisa merelakan anak yang dicintainya. Bagi kita saat ini, tentu saja ujian semacam itu tidak ada lagi, tetapi pengorbanan yang sama masih mungkin terjadi. Apakah kita siap untuk mengorbankan anak kita untuk bisa memilih hidupnya sendiri?

Pun dari sudut pandang anak, apakah kita siap untuk merelakan ambisi orang tua kita? Dengan memilih jalan perjuangan sendiri. Tidak membawa nama orang tua. Tidak memanfaatkan privilege orang tua. Tentu saja ini terasa berat, apalagi bagi anak yang sedari kecil sudah terbiasa mendapatkan banyak kemudahan-kemudahan berkat orang tuanya yang orang besar atau kaya.

Memang dibutuhkan sebuah kecerdasan dan kebijaksanaan.

Atau secara umum, kita harus membawa semangat Ibrahim dalam diri kita. Seperti ucapan Maulana Jalaluddin Rumi, jika kita belum mampu menyembelih hewan qurban tahun ini, maka sembelihlah sifat sombong dan angkuh dalam diri kita yang selalu merasa benar, selalu merasa pandai dan alim. 

Apa yang saya paparkan pada tulisan ini, sejatinya semua orang yang disebutkan di atas adalah para gibran atau jibran, sebuah nama yang berarti orang yang paling pandai. Nabi Ibrahim alaihissalam adalah orang yang pandai yang dapat menemukan ketuhanan, menghancurkan berhala-berhala, mampu merelakan anak tersayangnya;  Amr ibn Al-Ash juga cerdas karena bisa membawa pasukannya dalam membebaskan Mesir; Abdurrahman ibn Al-Aswad yang banyak meriwayatkan hadis nabi; serta para syuhada putra Al-Harits ibn Qais Al-Sahmi. 

Orang-orang yang pandai, cerdas, pintar yang sesungguhnya adalah siapa saja yang bisa menjadikan ilmunya bermanfaat dan berkah bagi orang lain (lebih-lebih bagi bangsa dan negara), bukan yang dengan kelicikan dan tipu muslihat mengatur siasat demi keserakahan sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Maka kita harus belajar dari para gibran yang sesungguhnya, yaitu orang-orang yang memang pandai.

Sebagai kesimpulan, kembali kepada potongan puisi di awal tulisan ini. Puisi dari Gibran Kahlil Gibran yang saya baca pertama kali tahun 2012 (melalui buku Kisah Lainnya, biografi band NOAH atau Peterpan). Apa yang dapat kita pelajari dari puisi tersebut? Pesan yang menjadi inti dari tulisan ini. Baiknya, para pembaca yang budiman dapat membaca sendiri puisi tersebut. Juga dapat menyimpulkan sendiri maksudnya (apakah related dengan negeri ini?)

Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.
Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.
Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.
Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.
Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.
Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.
Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.
Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang kuat.