Sabtu, 17 Agustus 2024

Lomba Makan Kerupuk

 Pak Yusuf, wali kelas 4 SD saya suatu ketika di bulan Agustus pernah berkata di depan kelas. "Saya heran dengan lomba makan kerupuk. Mengapa masih terus dilakukan?" begitu ucap Pak Yusuf. "Padahal hanya mengajarkan keserakahan!" lanjut beliau. Kata-kata yang begitu mengena ke dalam hati dan pikiran saya, menjadi core memory hidup saya. Selalu saya ingat kembali (recall) ketika memasuki bulan kemerdekaan. Hingga tak terasa sudah 20 tahun sejak momen itu terjadi. Doa terbaik untuk Pak Yusuf!

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Tujuh puluh sembilan. Sebuah angka yang tidak sedikit. Juga belum tua-tua amat. Masih banyak hal yang bisa diperbaiki di negeri ini. Meskipun seharusnya perbaikan-perbaikan itu sudah dilakukan jauh sebelumnya. Kekurangan-kekurangan yang selalu menjadi topik pembahasan di tiap perayaan kemerdekaan. Munculnya berbagai retorika kenegaraan. Contoh pertanyaan yang sering muncul adalah "Apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka?"

Apakah sudah ada jaminan sila kelima Pancasila dijalankan di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara? Saya sedikit tersenyum ketika menuliskan ini. Bukan atas tragedi yang akan dituliskan. Tentu saja bukan. Karena itu harus menjadikan kita menunduk untuk muhasabah diri. Saya tersenyum sebab saking banyaknya materi ketidakadilan sosial yang ada. Sehingga saya tidak perlu memutar otak terlalu keras. Indonesia menampilkan banyak sekali. Banyak sekali. 

Tak habis-habisnya kita melihat dan membaca berita melalui layar smartphone, di linimasa media sosial, aplikasi-aplikasi percakapan, tentang bagaimana ketimpangan terjadi di negeri tercinta ini. Ketimpangan yang seperti mencoreng ideologi negara. Bagaimana bisa di negara Pancasila ini, masih ada yang mati kelaparan sedangkan di ibukota baru diadakan pesta pora? Kendati katanya untuk perayaan kemerdekaan tidak ada kata mahal.

Bangsa Indonesia memang diciptakan menjadi salah satu bangsa yang kuat. Manusia-manusia yang didesain oleh Tuhan untuk memiliki hati yang tegar dan prasangka baik sedalam samudera. Pagi ini di beranda X saya membaca postingan (yang dilengkapi foto), seseorang yang membagikan pengalamannya berbelanja di pasar tradisional.

Ada seorang penjual sayur di pasar yang sederhana, dengan TV tabungnya menonton kegiatan upacara yang disiarkan langsung dari ibukota baru, yang memakan biaya miliaran tersebut. Saya yakin, sang penjual sayur menaruh harapan besar bagi kemajuan Indonesia kepada para petinggi yang berkumpul di dalam kegiatan upacara itu. Meskipun tentu saja hati orang tidak ada yang tahu. Apalagi isi hati mereka-mereka itu.

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Berarti 2045 tinggal 21 tahun lagi. Indonesia Emas. Itulah yang dijual oleh para penabur asa. Seratus tahun pasca kemerdekaan, Indonesia sudah mampu bersaing dengan negara-negara maju. Maka dari sekarang manusia-manusia Indonesia mesti "disiapkan" dengan baik. Mulai dari karakter, kompetensi, mental, kecintaan kepada negeri, dan yang terpenting adalah seberapa Pancasila mereka. Tentu saja Pancasila yang benar, bukan gimmick.

Menyiapkan 2045. Dua puluh satu tahun dari sekarang, berarti saya akan berusia 50-an. Tim saya (usia 20-an tahun) akan berumur 40-an. Para mahasiswa akan berumur 30-40. Pemuda-pemudi yang sekarang produktiflah yang akan menjadi pemimpin masa depan. Menjadi bagian dari masyarakat. Menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Pengalaman, pengetahuan, bahkan kekayaan, ketenteraman hidup, kemandirian finansial perlu disiapkan.

Namun, mereka saat ini masih harus berjuang karena susahnya mencari pekerjaan (dan mempertahankannya). Data BPS yang dilansir menunjukkan kenaikan signifikan jumlah PHK di negeri Pancasila ini daripada tahun lalu. Mereka harus mati-matian berjuang dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tak banyak. Juga batasan usia rekrutmen yang dipersyaratkan terlalu kecil. Belum lagi harus bersaing dengan entitas bukan manusia. Robot & mesin. Kecerdasan buatan. Atau apalah itu produk dari kapitalisme.

Menuju 2045 berarti harus mempersiapkan manusia yang utuh. Bagaimana caranya? Menurut hemat saya, kita harus menyepakati lagi, sebenarnya apa idelogi negara ini. Lalu menginternalisasi ideologi tersebut ke dalam diri. Ke dalam pikiran, hati, perbuatan, perkataan. Dan sebetulnya Pancasila salah satu ideologi yang bisa membawa Indonesia menjadi negara utopia. Asalkan benar-benar dijalankan sebagai penerang jalan, bukan tongkat pemukul sesama.

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Ketimpangan sosial, ekonomi, pendidikan, dan semuanya itu. Juga susahnya mendapatkan pekerjaan karena mulai berkurangnya padat karya. Apakah berhulu pada keserakahan manusia? Orang-orang pemilik modal (dan kesempatan dan privilege) semakin ke sini semakin berfokus pada keuntungan yang didapatkan, alih-alih pada kesempatan anak bangsa mendapatkan pekerjaan yang layak. Demi efisiensi dan peningkatan revenue, manusia semakin digantikan oleh robot, mesin, dan kecerdasan buatan.

Apakah juga keserakahan manusia yang mengakibatkan para pejabat tidak segan-segan untuk melakukan tindakan korupsi? Yang menyebabkan anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi ketimpangan tersebut secara struktural, malah masuk ke dalam dompet pribadi. Yang menyebabkan pendidikan seperti jalan di tempat, tidak menghasilkan outcome apapun selain hanya manusia yang terbiasa untuk berlaku curang. Yang menyebabkan pemuda-pemudi usia produktif kalah bersaing sebab kompetensi mereka kurang terasah.

Apakah juga karena keserakahan yang tumbuh di dalam setiap manusia, yang menyebabkan kita lupa untuk berbagi? Bahkan sampai harus mengambil hak orang lain? Hak warga adat, hak wong cilik, hak lingkungan, hak mereka yang kalah (sejak dari kesempatan), hak orang-orang yang belum tahu besok apakah bisa makan, hak bangsa, hak anak-cucu kita.

Apakah kemerdekaan yang telah kita capai inilah yang membuat orang-orang merasa bebas untuk menggerogoti segala apa yang ada? Termasuk menggerogoti kemerdekaan bangsa sendiri? Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Retorika-retorika tersebut haruslah menjadi pekerjaan rumah kita. Menjadi bahan perenungan di menit-menit sebelum tidur, di sepertiga malam, di waktu subuh kita, di antara adzan dan iqamah.

Pak, tahun ini Indonesia memperingati HUT ke 79.

Apakah memang benar kalau lomba makan kerupuk yang kita lakukan setiap tahun itu, yang menyebabkan kita menjadi begitu serakah? Tentunya perlu ada penelitian khusus terkait ini. (Jangan-jangan sudah ada?). Tapi sepertinya para peneliti lebih menyukai penelitian bagaimana caranya supaya tanah lahan gambut bisa subur ditanami singkong dan jagung.

Coba kita bersama-sama preteli lomba makan kerupuk, kita detailkan agenda wajib setahun sekali tersebut.

Teknis lomba makan kerupuk yaitu sebuah kerupuk yang digantung dengan tali setinggi mulut peserta lomba. Siapa yang bisa makan dan menghabiskan kerupuk tercepat yang akan menjadi pemenang. Makan hanya bisa menggunakan mulut dengan bantuan tali gantung. Kedua tangan tidak boleh menyentuh kerupuk ataupun tali. Sangat sederhana.

Mungkin karena kesederhanaan tersebut yang menjadikan lomba ini selalu ada di setiap pergelaran tujuh belasan. Para panitia tidak perlu repot-repot memikirkan lomba lainnya. Karena memang kita tidak terbiasa untuk berpikir keras. Apalagi mempertanyakan hal-hal yang sudah kita wajarkan di masyarakat.

Lalu, bagian mana dari kesederhanaan lomba makan kerupuk ini yang mendorong kita untuk menjadi serakah? Apakah karena proses makannya yang harus buru-buru? Kan namanya juga berkompetisi. Apakah karena proses makannya yang tanpa menggunakan tangan? Sehingga makan seperti (maaf) binatang? Sudah buru-buru, makan tanpa tangan pula. Tanpa etika. Apakah sisi kebinatangan yang rakus, yang serakah, yang tidak manusiawi tersebut penyebabnya? Seperti yang saya sebutkan di atas, pertanyaan retorik ini juga harus kita temukan jawabannya.

Atau apakah sebenarnya bukan lomba makan kerupuk yang mengajarkan keserakahan kepada kita, melainkan lomba tersebutlah yang "mengakomodir" keserakahan yang sejak awal sudah ada dalam diri kita? Baik, ini PR kita bersama.

Kalau saya pribadi melihat filosofi dari lomba makan kerupuk ini berdasarkan hakikatnya. Kerupuk, yang menjadi bintang dari lomba ini. Sebuah makanan pelengkap yang tidak ada "dagingnya", hanya berisi "angin". Sedangkan kita berkompetisi, hanya untuk menghabiskan makanan yang tidak memberi manfaat sedikit pun (selain karena hadiah lomba). Lalu kita geser pemikiran ini ke dalam spektrum yang lebih luas di dalam kehidupan.

Seringkali kita gagal untuk memahami apa yang paling esensial dalam hidup. Apa yang menjadi tujuan kita dilahirkan di dunia ini. (Hal itulah yang menjadi kajian filsafat eksistensialisme.) Bagi kita yang memiliki framework pemikiran seorang muslim, kita geleng-geleng kepala saat melihat banyak dari kita yang tidak bisa menemukan hakikat tujuan hidup. Terlalu menghabiskan banyak energi, berlomba-lomba mengejar segala hal yang tidak bermanfaat. Memburu uang, uang, uang. Sampai-sampai harus menabrak aturan sana-sini. Padahal yang dikejar tidak akan dibawa ke dalam kuburan. 

Walaupun bukan berarti uang itu tidak ada manfaatnya. Melainkan bagaimana uang dan kekayaan itu dipandang. Apakah ia adalah kerupuk, ataukah daging. Pun, apabila ia adalah kerupuk, lalu apa dagingnya? Apakah daging bagi negeri ini adalah ketuhanan? Apakah kemanusiaan? Apakah persatuan? Apakah kerakyatan? Apakah keadilan? Itulah yang harus segera disadari.

Pada bab sebelumnya, saya mengusulkan untuk kita kembali melakukan refleksi seberapa Pancasila kita. Sehingga kita dapat memaknai lomba makan kerupuk sebagai ajang untuk mengamalkan kelima sila. 

Bersyukur atas nikmat yang diberikan karena masih bisa merasakan gurihnya kerupuk, implementasi sila pertama. Tepa selira dan menjunjung tinggi kejujuran dalam berkompetisi, sesuai sila kedua. Menjaga kerukunan dan solidaritas antar peserta lomba, makna sila ketiga. Legawa atas hasil yang diputuskan oleh panitia lomba, buah dari sila keempat. Semua peserta lomba memiliki kesempatan yang sama, perwujudan dari sila kelima. Alangkah indahnya lomba makan kerupuk apabila dipandang dengan kacamata kebijaksanaan.

Sehingga, apa yang kita takutkan dari lomba makan kerupuk sebagai penyebab keserakahan tidak akan terwujud. Karena kita sudah memahami apa yang esensial di dalam diri ini. Bagi bangsa dan negara ini. Ketimpangan ekonomi, sosial, pendidikan dan lain sebagainya itu tidak akan terjadi. Banyak perusahaan dan bisnis memilih untuk memberi kesempatan kepada anak bangsa untuk bisa bekerja dan berkarya lebih baik lagi serta mendapatkan gaji yang layak.

Harapan itulah yang ingin coba saya sampaikan di hari kemerdekaan ini. Lalu, sebagai pelengkap, mungkin segala macam hiruk pikuk merah putih ini hanyalah kerupuk saja. Upacara yang diadakan secara seremonial dan menghabiskan biaya tak sedikit itu pun cuman sebatas kerupuk. Kemerdekaan yang kita gemborkan tak lebih dari sebuah kerupuk yang terombang-ambing di atas tali, bukanlah daging. Jiwa, raga, pikiran, diri kita belum benar-benar merdeka.

Kalau memang seperti itu, saya tawarkan daging dan sayur mayur. Yaitu kutipun dari Rib’i bin ‘Amir Ats-Tsaqafi, tentang kemerdekaan hakiki ialah mengeluarkan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia, menuju penyembahan kepada Yang Maha Menguasai manusia. .. dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat.

Syahdan, dirgahayu Indonesia. Negeri tempat kita bisa beribadah dengan perasaan aman dan tenteram.