Kepala Tiga
Pada bulan Maret tahun lalu, ketika memasuki umur 29, saya ingat pernah menuliskan tweet, yang kurang lebih intinya seperti ini: satu tahun sebelum menginjak usia 30, saya harus melakukan berbagai kegiatan seru yang tak terlupakan.
Lalu apakah harapan saya itu tercapai? Tentu saja!
Berbagai aktivitas berkesan saya lakukan di tahun lalu, mulai dari keikutsertaan dalam komunitas digital perusahaan, tergabung dalam banyak kepanitiaan (yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan akan saya ikuti), lalu mewujudkan ide-ide bersama tim Accerelate Your Competence (AYC), juga berkesempatan untuk (pertama kalinya) ke Pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera! Apalagi setelah belasan tahun berkeinginan, akhirnya bisa mengunjungi saudara yang tinggal di Batam.
Dari banyak pengalaman berharga itu, pada kesempatan ini, saya ingin memfokuskan pada 2 hal, sebagai hikmah, topik yang mendasari tulisan, bagaimana wujud dari jatuh cinta kedua kepada kehidupan. Tema pertama yaitu tentang kekeluargaan.
Mungkin bagi kebanyakan orang, memasuki usia tiga puluh tetapi masih berstatus lajang, adalah sebuah 'kesalahan'. Atau bisa dibilang seperti aib yang harus disembunyikan. Ditutup rapat-rapat. Karena terlambat untuk segera menikah dan berkeluarga. Tapi toh hidup tidak melulu menyoal pernikahan. Tentu saja, meski begitu, poinnya adalah, memasuki umur tiga puluh merupakan sebuah awal untuk berkarya lebih hebat dari sebelumnya. Bukan untuk menyesali ini dan itu. Termasuk tulisan ini yang membahas tentang keluarga. Semoga tidak dinafikan.
Baik, kita teruskan.
Saya, saat tulisan ini dibuat, masih tinggal sendiri di sebuah indekos. Kesibukan di dalam kepanitiaan dan komunitas yang ada di kantor, merupakan sebuah kesenangan luar biasa. Sebagai penyaluran untuk bisa berinteraksi, bekerja sama, dan berkomunikasi, di luar pembahasan tentang pekerjaan. Hal yang menjadikan hidup saya lebih bersemangat. Untuk bisa berkontribusi, menggunakan value diri yang amat sangat minimalis ini. Contohnya dalam hal desain grafis dan leadership. (Tentu tidak ada apa-apanya ketimbang orang-orang yang mengorbankan jiwa dan raga mereka.)
Dari interaksi, kerja sama, dan komunikasi dengan banyak orang di dalam kepanitiaan dan komunitas, dalam proses menuntaskan amanah-amanah, menyelesaikan banyak permasalahan bersama itulah, muncul beberapa orang yang saya nilai istimewa, kurang kalau hanya disebut sebagai kenalan atau rekan kerja. Mereka yang akhirnya bisa menemani kesendirian dan mengisi kekosongan hidup selama di Jakarta. Hal inilah yang menjadikan saya sangat bersyukur atas kekeluargaan yang terjalin.
Sehingga, meskipun saya belum memiliki keluarga baru atas dasar pernikahan, memiliki keluarga-keluarga kecil yang terbentuk karena surat perintah (SP), nota dinas, atau kesamaan hobi, adalah kenikmatan sosial yang harus disyukuri. Apalagi yang bisa tetap menjaga api idealisme saya. Hari-hari yang dilalui bersama orang-orang terkasih itulah yang menjadikan jatuh cinta kedua kepada kehidupan.
Topik kedua ialah kebijaksanaan. Tak henti-hentinya saya menjadikan tema ini sebagai pembahasan di semua tulisan saya. Mengapa demikian? Karena saya meyakini apabila semua orang dapat hidup lebih bijak, melihat segala sesuatu dengan lebih arif, dunia ini akan menjadi lebih baik. Kebijaksanaan komunal akan menciptakan dunia yang lebih baik.
Kebijaksanaan itu dapat diteguk dari berbagai sumber air. Dari kekeluargaan (seperti yang saya tuliskan pada paragraf sebelumnya); dari segala permasalahan, tantangan, hambatan yang dapat kita selesaikan; dari kesendirian atau keramaian; dan hal terpenting dan utama, menurut saya, kita tidak perlu harus selalu mengalami sendiri asam-garam-pahit pengalaman untuk mendapatkan hikmah --kebijaksanaan. Kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dari kisah orang lain. Kisah-kisah yang dapat digali dari pemikiran dan tulisan mereka, yang diikat dalam berbagai tema, topik, judul buku.
Buku, bagi saya ibarat sebuah jendela, untuk melihat ke dalam, rumah hakikat diri dan melihat ke luar, luasnya kebijaksanaan. Keduanya adalah sarana untuk lebih mengenal Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhanahu wa ta'ala. Apapun buku yang dibaca, baik fiksi maupun non-fiksi. Baik yang secara eksplisit mengajarkan kepada 'jalan' untuk mendekat pada-Nya, maupun yang implisit atau sama sekali tak membahas tema itu, yang mengharuskan kita untuk mencari 'jalan' sendiri melalui tiap kata yang dibaca.
Berbagai pembahasan yang ada di dalam buku, apabila kita melihatnya dengan lebih jernih, pasti terselip hikmah-hikmah yang mengantarkan kita kepada kehambaan. Minimal, memunculkan kesadaran bahwa diri ini papa, alpa, lemah, dan masih belum mengetahui apa-apa. Kesadaran itu akan mengantarkan rasa haus dan rasa penasaran atas ilmu Allah yang tersebar di alam semesta. Menjadikan kita lebih bijaksana. Arif. Sehingga, mau tidak mau, kita tidak bisa lepas dari buku. Termasuk Al Quran, tentunya.
Tahun lalu (2023), karena disibukkan dengan berbagai kegiatan, yang membawa saya pada pemahaman tentang betapa berharganya kekeluargaan, seperti yang saya tuliskan di awal. (Apalagi ketika mengunjungi saudara yang tinggal di Batam. Sampai saat ini saya masih bisa merasakan bagaimana tenang dan syahdunya di sana.) Hal tersebut menjadikan buku-buku yang saya baca tidak sebanyak tahun sebelumnya. Sebab, saya hanya berfokus pada menyelesaikan banyak aktivitas, mengunjungi tempat-tempat yang baru, tanpa peduli dengan berapa banyak buku yang harus diselesaikan.
Namun, di tahun 2024 ini sebagai gantinya saya sudah membaca lebih dari 50 buku! Tepatnya 85 buku! Sebuah pencapaian yang akhirnya bisa saya rasakan. Bagaimana bisa? Bagaimana waktu luang itu bisa dikonversi menjadi kemesraan dengan buku-novel, berbagai tema dan topik? Mungkin akan saya uraikan di tulisan terpisah.
Intinya, memasuki usia tiga puluh saya merasakan kembali jatuh cinta kedua, melalui banyak kisah dan pengalaman (yang pertama kali saya alami di 2 tahun ini).
Semoga di tahun-tahun mendatang, saya bisa berkesempatan, secara resmi, untuk bisa menerbitkan buku dengan judul serupa. Jatuh Cinta Kedua kepada Kehidupan!
0 comments:
Posting Komentar